“Kiai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Hancurnya kaum
muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan
kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu
‘alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang
terdapat pada keduanya.
Demikian
pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bid’ah serta
khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhnsuburkan taqlid.
Berbagai
kebid’ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang
ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para
dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang
menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal.
Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut
para imam tersebut adalah pengakuan dusta.
Kita
dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbagai kebid’ahan bahkan
khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya bermadzhab
Fulani. Innaa lillah wa Innaa ilaihi raji’un.
Begitu
hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi
wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini,
muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau
kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab
tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain,
tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan
sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.
Inilah
sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk ciptaan Allah.
Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah, tidak lain
disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur
yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan
hal ini:
“Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’raf: 12)
Definisi Taqlid
Taqlid
secara bahasa bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang
taqlid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya
untuk ditarik seakan-akan hewan ternak.
Sedangkan
menurut istilah, taqlid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau
golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas.
Dari
pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah
kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil. Dan Allah subhanahu
wa ta’ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al
Qur’an. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Atau
adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur’an
lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata:
‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan
sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti)
jejak mereka.’ Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati
bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah
pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan
mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih
(nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak
kalian menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami mengingkari
agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan
mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan itu.” (Az-Zukhruf: 21-25)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, mengatakan: “Ayat-ayat
ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena
sesungguhnya orang-orang yang taqlid ini, mengamalkan ajaran agama
mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi
secara turun temurun. Dan apabila datang seorang juru dakwah yang
mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau
menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini dan warisi dari
para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas –hanya
berdasarkan katanya dan katanya-, mereka mengatakan kalimat yang sama
dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah: ‘Sesungguhnya kami
mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami
adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna
dengan ini.”
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31)
Maksudnya,
mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai
Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu
menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka
mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu
yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut.
Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu
syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran
para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: ‘Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’.” (Al-Anbiya’: 52-53)
Dan
perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid
ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az-Zukhruf: 24)
Dan
para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai
hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi
halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini
berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan
pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi
kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama
mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang
jelas.
Demi
Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika
benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman
mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi
pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di
bawah kedaulatan muslimin. Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah
perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka
dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan
yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan
kita rasakan.
Al-‘Allamah
Al-Ma’shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya
prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu
madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil.
Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga
generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bid’ah ini tercapailah
tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dari hal itu.
Beliau
juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang
bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas
satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan
pribadi. Dan sesungguhnya madzhab yang haq dan wajib diyakini dan
diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian
para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!” (Al-Hasyr: 7)
Dan
adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang harus
diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam bish-shawab.
Daftar
bacaan 1 Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 2 Riyadhul
Jannah, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, 3 Hadiyyatus Sulthan,
Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi, 4 Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh
Al-Albani, 5 Ma’na Qaulil Imam Al-Muththalibi, As-Subki, 6 Irsyadun
Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ani, 7 Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi, 8
Al-Ihkam, Ibnu Hazm, 9 Al-Ihkam, Al-Amidi
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Idral Harits , Judul asli: Taqlid Dan Fanatisme Golongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar