Makanan Halal & Haram Dari A Sampai Z
Termasuk di antara
keluasan dan kemudahan dalam syari’at Islam, Allah -Subhanahu wa
Ta’ala- menghalalkan semua makanan [1] yang mengandung maslahat dan
manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada
individu maupun masyarakat. Demikian pula
sebaliknya Allah mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang
mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan
hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat
perkara ini sangat ditentukan -setelah hidayah dari Allah- dengan
makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah
menjadi darah dan daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya.
Karenanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda:
أَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى لَهُ
“Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas untuknya”.
Makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis:
1.
Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan
tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing,
khamar, dan selainnya.
2.
Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan
dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia
menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan
tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinahan, sesajen
perdukunan, makanan yang disuguhkan dalam acara-acara yang bid’ah, dan
lain sebagainya.
Satu hal yang sangat penting untuk diyakini oleh setiap muslim
adalah bahwa apa-apa yang Allah telah halalkan berupa makanan, maka
disitu ada kecukupan bagi mereka (manusia) untuk tidak mengkonsumsi
makanan yang haram. [Muqaddimah Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal
Ath'imah wal Masyrubat dan muqaddimah Al-Ath'imah karya Al-Fauzan]
Sebelum
kita menyebutkan satu persatu makanan dan minuman yang disebutkan dalam
Al-Qur`an dan Sunnah beserta hukumnya masing-masing, maka untuk lebih
membantu memahami pembahasan, kami dahului dengan beberapa pendahuluan.
-Pendahuluan Pertama: Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang menyatakan haramnya. Allah -Ta’ala- berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat
ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan- yang ada di
bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya
adalah halal dan boleh, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali
yang halal dan baik.
Dalam ayat yang lain:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. Al-An’am: 119)
Maka semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at berarti adalah halal [2].
Faidah:Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Hukum asal padanya (makanan) adalah
halal bagi seorang muslim yang beramal sholeh, karena Allah -Ta’ala-
tidaklah menghalalkan yang baik-baik kecuali bagi siapa yang akan
menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya, bukan dalam kemaksiatan
kepada-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَيْسَ
عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا
طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Tidak
ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang
saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila
mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh”. (QS. Al-Ma`idah: 93)
Karenanya
tidak boleh menolong dengan sesuatu yang mubah jika akan digunakan
untuk maksiat, seperti memberikan daging dan roti kepada orang yang akan
minum-minum khamar atau akan menggunakannya dalam kejelekan” [3].
-Pendahuluan Kedua: Manhaj Islam dalam penghalalan dan pengharaman makanan adalah “Islam
menghalalkan semua makanan yang halal, suci, baik, dan tidak mengandung
mudhorot, demikian pula sebaliknya Islam mengharamkan semua makanan
yang haram, najis atau ternajisi, khobits (jelek), dan yang mengandung
mudhorot”.
Manhaj ini ditunjukkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. (QS. Al-Baqarah: 168)
Dan Allah mensifatkan Nabi Muhammad dalam firman-Nya:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (QS. Al-A’raf: 157)
Allah melarang melakukan apa saja -termasuk memakan makanan- yang bisa memudhorotkan diri, dalam firman-Nya:
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah: 195)
Juga sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”.
Karenanya
diharamkan mengkonsumsi semua makanan dan minuman yang bisa
memudhorotkan diri -apalagi kalau sampai membunuh diri- baik dengan
segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan
semua jenis dan macamnya, rokok, dan yang sejenisnya.
Adapun makanan yang haram karena diperoleh dari cara yang haram, maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:
إِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan-kehormatan kalian antara sesama kalian adalah haram”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Faidah:
1. Makna makanan yang najis adalah jelas,
adapun makanan yang ternajisi, contohnya adalah mentega yang kejatuhan
tikus. Hukumnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Maimunah
-radhiallahu ‘anha- bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- ditanya
tentang lemak yang kejatuhan tikus, maka beliau bersabda:
أُلْقُوْهَا, وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوْهُ، وَكُلُوْا سَمَنَكُمْ
“Buanglah tikusnya dan buang juga lemak yang berada di sekitarnya lalu makanlah lemak kalian”. (HR. Al-Bukhary)
Jadi
jika yang kejatuhan najis adalah makanan padat, maka cara
membersihkannya adalah dengan membuang najisnya dan makanan yang ada di
sekitarnya, adapun sisanya boleh untuk dimakan. Akan tetapi jika yang
kejatuhan najis adalah makanan yang berupa cairan, maka hukumnya
dirinci; jika najis ini merubah salah satu dari tiga sifatnya (bau,
rasa, dan warna) maka makanannya dihukumi najis sehingga tidak boleh
dikonsumsi, demikian pula sebaliknya.
2. Makanan yang jelek
(arab: khobits) ada dua jenis; yang jelek karena dzatnya -seperti:
darah, bangkai, dan babi- dan yang jelek karena salah dalam
memperolehnya -seperti: hasil riba dan perjudian-. Lihat Majmu’
Al-Fatawa (20/334).
3. Adapun ukuran kapan suatu makanan dianggap thoyyib (baik) atau khobits (jelek),
maka hal ini dikembalikan kepada syari’at. Maka apa-apa yang dihalalkan
oleh syari’at maka dia adalah thoyyib dan apa-apa yang diharamkan oleh
syari’at maka dia adalah khabits, ini adalah madzhab Malikiyah dan yang
dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang akan nampak
dalam ucapan beliau.
Adapun
jumhur ulama, mereka mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam
penentuannya adalah orang-orang Arab, karena kepada merekalah asalnya
diturunkan Al-Qur`an sehingga mereka yang secara langsung diajak bicara
oleh syari’at. Lihat Hasyiyah Ibni ‘Abidin (5/194), Al-Majmu’ (9/25-26),
dan Asy-Syarhul Kabir (11/64).
Hanya
saja ini (pendapat jumhur) adalah pendapat yang kurang kuat, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam menjelaskan makna firman Allah
-Ta’ala-:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik.”. (QS. Al-Maidah: 4)
Beliau berkata, “Seandainya makna “yang baik”
di sini adalah apa yang dihalalkan, maka tentunya kalimat ini tidak ada
faidahnya4. Maka dari sini diketahuilah bahwa thoyyib dan khobits
adalah sifat yang berada pada sebuah benda, dan bukan yang diinginkan
dengannya (thoyyib) sekedar kelezatan dalam memakannya. Karena terkadang
seorang manusia menikmati (merasa lezat) dengan apa yang membahayakan
dirinya yang berupa racun [5], atau menikmati apa yang dilarang oleh
dokter [6]. Dan bukan pula yang diinginkan darinya (thoyyib) dengan
merasa nikmatnya sebagian bangsa -misalnya bangsa Arab- terhadap suatu
makanan, dan bukan pula dianggap thoyyib karena keberadaannya sebagai
makanan yang biasa dimakan (dinikmati) oleh orang-orang Arab. Hal itu
karena, keberadaan suatu makanan biasa dimakan dan disenangi oleh
sebagian bangsa atau sebaliknya mereka tidak menyukainya karena makanan
itu tidak ada di negerinya, (semua ini) tidaklah mengharuskan Allah
mengharamkan sebuah makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan
mereka (sebagian bangsa) tidak terbiasa dengannya sebagaimana tidak
mengharuskan Allah menghalalkan suatu makanan kepada segenap kaum
mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa) terbiasa dengannya.
Bagaimana tidak, padahal orang-orang Arab (dahulu) telah terbiasa
(menyukai) dengan memakan darah, bangkai, dan selainnya padahal semuanya
telah diharamkan oleh Allah -Ta’ala-. …. . Demikian halnya Quraisy,
mereka memakan yang khobits yang telah Allah haramkan dan sebaliknya
mereka tidak menyukai makanan-makanan yang Allah tidak mengharamkannya”.
-Lalu beliau membawakan hadits yang menunjukkan Nabi tidak makan
biawak, bukan karena dia haram akan tetapi karena beliau tidak biasa
memakannya [7]-. “Maka dari sini jelaslah bahwa ketidaksukaan suku
Quraisy dan selainnya (dari bangsa Arab) terhadap sebuah makanan
tidaklah mengharuskan (baca: menunjukkan) pengharaman makanan tersebut
atas segenap kaum mu`minin baik yang Arab maupun yang ajam (non-Arab).
Dan juga sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para
sahabat beliau, tidak seorangpun di antara mereka yang mengharamkan
makanan yang tidak disukai oleh orang Arab dan sebaliknya tidak pernah
membolehkan apa yang (biasa) dimakan oleh orang Arab” [8].
-Pendahuluan Ketiga: Makanan manusia secara umum ada dua jenis:
1. Selain hewan,
terdiri dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, benda-benda (roti, kue dan
sejenisnya), dan yang berupa cairan (air dengan semua bentuknya).
Ibnu
Hubairah -rahimahullah- dalam Al-Ifshoh (2/453) menukil kesepakatan
ulama akan halalnya jenis ini kecuali yang mengandung mudhorot.
2. Hewan, yang terdiri dari hewan darat dan hewan air.
Hewan darat juga terbagi menjadi dua;
1. Jinak, yaitu semua hewan yang hidup di sekitar manusia dan diberi makan oleh manusia, seperti: hewan ternak
2. Liar,
yaitu semua hewan yang tinggal jauh dari manusia dan tidak diberi makan
oleh manusia, baik dia buas maupun tidak. Seperti: singa, kelinci, ayam
hutan, dan sejenisnya.
Hukum
hewan darat dengan kedua bentuknya adalah halal kecuali yang diharamkan
oleh syari’at [9], yang rinciannya insya Allah akan datang satu
persatu.
Hewan air juga terbagi menjadi 2:
1. Hewan yang hidup di air yang jika dia keluar darinya akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya.
2. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting [10].
Hukum
hewan air bentuk yang pertama, -menurut pendapat yang paling kuat-
adalah halal untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat
Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman
dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah -Ta’ala-:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” (QS. Al-Ma`idah: 96)
Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya:
1. Jika dia mati dengan sebab yang jelas,
misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau karena air
surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para ulama.
Lihat Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/195)
2. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas,
hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya
ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam
Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal.
Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9)
[Al-Bidayah
(1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan
Al-Majmu' (9/32,33), Al-Mughny ma'a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195]
Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu
hewan yang hidup di dua alam, maka pendapat yang paling kuat adalah
pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup
di dua alam -baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai-
seluruhnya adalah halal kecuali kodok. Dikecualikan darinya kodok karena
ada hadits yang mengharamkannya [11]. Lihat Al-Majmu’ (9/32-33)
Setelah
memahami ketiga pendahuluan di atas, maka berikut penyebutan satu
persatu makanan yang dibahas oleh para ulama beserta hukumnya
masing-masing:
1. Bangkai
Bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa penyembelihan yang syar’iy dan juga bukan hasil perburuan.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan dalam firman-Nya:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ
لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا
ذَكَّيْتُمْ
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Dan juga dalam firmannya:
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah
suatu kefasikan”. (QS. Al-An’am: 121)
Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat-ayat di atas:
1. Al-Munhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik.
2. Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena pukulan keras.
3. Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.
4. An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya.
5. Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas.
6. Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya disetrum.
7. Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah.
8. Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah.
9. Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid secara marfu’:
مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ، فَهُوَ مَيْتَةٌ
“Apa-apa yang terpotong dari hewan dalam keadaan dia (hewan itu) masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy dan dishohihkan olehnya)
Diperkecualikan darinya 3 bangkai, ketiga bangkai ini halal dimakan:
1. Ikan, karena dia termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua hewan air adalah halal bangkainya kecuali kodok.
2. Belalang. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar secara marfu’:
أُحِلَّ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالسَّمَكُ
وَالْجَرَادُ, وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Dihalalkan
untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah
ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
3. Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy, bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Penyembelihan untuk janin adalah penyembelihan induknya”.
Maksudnya
jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam
perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang.
[Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat point pertama]
2. Darah.
Yakni darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-An’am ayat 145:
أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا “Atau darah yang mengalir”.
Dikecualikan
darinya hati dan limfa sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar
yang baru berlalu. Juga dikecualikan darinya darah yang berada dalam
urat-urat setelah penyembelihan.
3. Daging babi.
Telah
berlalu dalilnya dalam surah Al-Ma`idah ayat ketiga di atas. Yang
diinginkan dengan daging babi adalah mencakup seluruh bagian-bagian
tubuhnya termasuk lemaknya.
4. Khamar.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.”. (QS. Al-Ma`idah: 90
Dan dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
“Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram”.
Dikiaskan
dengannya semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan hilangnya
akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan macamnya.
5. Semua hewan buas yang bertaring.
Sahabat Abu Tsa’labah Al-Khusyany -radhiallahu ‘anhu- berkata:
أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
“Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari (mengkonsumsi) semua hewan buas yang bertaring”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Dan dalam riwayat Muslim darinya dengan lafazh, “Semua hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram”.
Yang
diinginkan di sini adalah semua hewan buas yang bertaring dan
menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan hewan
lainnya. Lihat Al-Ifshoh (1/457) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
Jumhur ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya.
[Asy-Syarhul Kabir (11/66), Mughniyul Muhtaj (4/300), dan Syarh Tanwiril Abshor ma'a Hasyiyati Ibnu 'Abidin (5/193)]
6. Semua burung yang memiliki cakar.
Yang
diinginkan dengannya adalah semua burung yang memiliki cakar yang kuat
yang dia memangsa dengannya, seperti: elang dan rajawali. Jumhur ulama
dari kalangan Imam Empat -kecuali Imam Malik- dan selainnya menyatakan
pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas -radhiallahu ‘anhuma-:
نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ ذِيْ مَخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
“Beliau (Nabi) melarang untuk memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar”. (HR. Muslim) [Al-Majmu' (9/22), Al-Muqni' (3/526,527), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499)]
7. Jallalah.
Dia adalah hewan pemakan feses (kotoran) manusia atau hewan lain,
baik berupa onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung,
seperti: garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses), dan
sebagian gagak. Lihat Nailul Author (8/128).
Hukumnya
adalah haram. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad -dalam satu riwayat-
dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafi’iyah, mereka
berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- beliau
berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari memakan al-jallalah dan dari meminum susunya”. (HR. Imam Lima kecuali An-Nasa`iy (3787))
Beberapa masalah yang berkaitan dengan jallalah:
1.
Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam kategori jallalah yang
diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah hewan yang kebanyakan
makanannya adalah feses dan jarang memakan selainnya. Dikecualikan juga
semua hewan air pemakan feses, karena telah berlalu bahwa semua hewan
air adalah halal dimakan. Lihat Hasyiyatul Al-Muqni’ (3/529).
2.
Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih
dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka
berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang
benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan
besar. Lihat Al-Majmu’ (9/28).
[Al-Muqni' (3/527,529), Mughniyul Muhtaj (4/304), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499-500)]
8. Keledai jinak (bukan yang liar).
Ini
merupakan madzhab Imam Empat kecuali Imam Malik dalam sebagian riwayat
darinya. Dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ الله ورسوله يَنْهَيَاكُمْ عَنْ لُحُوْمِ ِالْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ, فَإِنَّهَا رِجْسٌ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging-daging keledai yang jinak, karena dia adalah najis”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Diperkecualikan darinya keledai liar, karena Jabir -radhiallahu ‘anhu- berkata:
أَكَلْنَا زَمَنَ خَيْبَرٍ اَلْخَيْلَ وَحُمُرَ الْوَحْشِ ، وَنَهَانَا النبي صلى الله عليه وسلم عَنِ الْحِمَارِ الْأَهْلِيْ
“Saat
(perang) Khaibar, kami memakan kuda dan keledai liar, dan Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang kami dari keledai jinak”. (HR. Muslim)
Inilah pendapat yang paling kuat, sampai-sampai Imam Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama zaman ini tentang pengharamannya”.
Lihat Al-Mughny beserta Asy-Syarhul Kabir (11/65). [Al-Bada`i' (5/37),
Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/525), dan Al-Bidayah (1/344].
9. Kuda.
Telah
berlalu dalam hadits Jabir bahwasanya mereka memakan kuda saat perang
Khaibar. Semakna dengannya ucapan Asma` bintu Abi Bakr -radhiallahu
‘anhuma-:
نَحَرْنَا فَرَسًا عَلَى عَهْدِ رسول الله صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَاهُ
“Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu kamipun memakannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Maka ini adalah sunnah taqririyyah (persetujuan) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Ini
adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Asy-Syafi’iyyah,
Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah, serta
merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan
Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy sebagaimana
dalam Fathul Bary (9/650) dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/3440).
[Mughniyul Muhtaj (4/291-291), Al-Muqni' beserta hasyiyahnya (3/528), Al-Bada`i' (5/18), dan Asy-Syarhus Shoghir (2/185)]
10. Baghol.
Dia adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Jabir -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
حَرَّمَ رسول الله صلى الله عليه وسلم – يَعْنِي يَوْمَ خَيْبَرٍٍ – لُحُوْمَ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ، وَلُحُوْمَ الْبِغَالِ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengharamkan -yakni saat perang Khaibar- daging keledai jinak dan daging baghol. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzy)
Dan
ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan
yang halal dimakan dengan yang haram dimakan. [Al-Majmu' (9/27),
Ays-Syarhul Kabir (11/75), dan Majmu' Al-Fatawa (35/208)].
11. Anjing.
Para
ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang
menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang
bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
إِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya [12]“.
Dan
telah tsabit dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan
Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya
memperjualbelikan anjing. [Al-Luqothot point ke-12]
12. Kucing baik yang jinak maupun yang liar.
Jumhur
ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang
bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan
oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat
Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini
menunjukkan haramnya. [Al-Majmu' (9/8) dan Hasyiyah Ibni 'Abidin
(5/194)]
13. Monyet.
Ini
merupakan madzhab Syafi’iyah dan merupakan pendapat dari ‘Atho`,
‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan monyet adalah haram,
karena Allah -Ta’ala- telah merubah sekelompok manusia yang bermaksiat
(Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap
orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa
memastikan bahwa Allah -Ta’ala- tidaklah merubah bentuk (suatu kaum)
sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari hewan,
maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam hewan-hewan yang baik
sehingga secara otomatis dia tergolong hewan yang khobits (jelek)” [13]. [Al-Luqothot point ke-13]
14. Gajah.
Madzhab
jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori hewan buas
yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr,
Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-.
[Al-Luqothot point ke-14]
15. Musang (arab: tsa’lab)
Halal,
karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan
memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga
termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab
Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam
Ahmad. [Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul
Kabir (11/67)]
16. Hyena/kucing padang pasir (arab: Dhib’un)
Pendapat
yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam
Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging
hyena. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Abi
‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena
termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi,
“apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali
bertanya, “apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”,
beliau menjawab, “iya”“. Diriwayatkan oleh Imam Lima [14] dan
dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul
Khabir (4/152).
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany.
Adapun
jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang
bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus
daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga
hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain
hyena diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat
Nailul Author (8/127) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)]
17. Kelinci.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ
“Sesungguhnya
beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah
berupa potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya”.
Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari ‘Amr ibnul ‘Ash”. [Al-Luqothot point ke-16]
18. Belalang.
Telah
berlalu dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang
diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan. Hal ini juga ditunjukkan
oleh perkataan Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ
“Kami
berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 7
peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. (HR. Al-Bukhary dan
Muslim). [Al-Luqothot point ke-17]
19. Kadal padang pasir (arab: dhobbun [15]).
Pendapat
yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah
bahwa dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang biawak:
كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ
“Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)
Adapun
keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb bukanlah
makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana
yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:
لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي
“Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.
Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)]
20. Landak.
Syaikh
Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi’iyyah akan boleh dan halalnya
karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya.
Lihat Al-Majmu’ (9/10).
21. Ash-shurod, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.
Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
Dan
semua hewan yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak
mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh.
[Al-Luqothot point ke-19 s/d 23]
22. Yarbu’.
Halal.
Ini merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan
pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir,
karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun
dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan oleh
Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71). [Hasyiyatul Muqni' (3/528)
dan Mughniyul Muhtaj (4/299)]
23. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.
Karena
semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses
penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan
tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan
untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
خَمْسٌ
فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ
الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا
“Ada
lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada
di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak
yang belang, tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim)
Adapun
tokek dan -wallahu a’lam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka telah
warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran
membunuh wazag (tokek). [Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir
Asy-Syinqithy (1/273)]
24. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon).
Telah
berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga hewan
ini adalah halal dimakan. [Al-Luqothot point ke-28 s/d 30]
25. Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil, dan kelelawar.
Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak
halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari
jenis serangga, seperti: tokek (masuk juga cicak), kumbang, semut,
lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang sejenis dengan mereka,
berdasarkan firman Allah -Ta’ala-, “Diharamkan untuk kalian bangkai”,
dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan
telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang
bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’iy kecuali jika
dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak
ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk
memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan,
kecuali bangkai yang tidak disembelih” [16]. [Al-Luqothot point ke-31
s/d 34]
Inilah
secara ringkas penyebutan beberapa kaidah dalam masalah penghalalan dan
pengharaman makanan beserta contoh-contohnya semoga bisa bermanfaat.
Penyebutan makanan sampai point ke-25 di atas bukanlah dimaksudkan untuk
membatasi bahwa makanan yang haram jumlahnya hanya sekitar itu, akan
tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum
dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam
menghukumi hewan-hewan lain yang tidak sempat kami sebutkan.
Adapun
makanan selain hewan dan juga minuman, maka hukumnya telah kami
terangkan secara global dalam pendahuluan-pendahuluan di awal
pembahasan, yang mana pendahuluan-pendahuluan ini adalah semacam kaidah
untuk menghukumi semuanya, wallahul muwaffiq.
Footnote :
1.
Arab:tho’am, kata yang mencakup di dalamnya makanan dan minuman. Lihat
Tahdzibul Asma’ (2/186) 2. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/135 3.
Al-Ikhtiyarot hal 321 4. Yakni karena berarti ayatnya akan bermakna :
“dihalalkan bagi kalian yang halal”, sehingga kalimatnya tidak memiliki
faidah tambahan 5. Seperti : narkoba dengan semua jenisnya, rokok dan
selainnya 6. Yakni untuk kesembuhannya dari sebuah penyakit 7. Akan
datang haditsnya pada point ke 19 8. Majmu’ Al Fatawa (17/178-180) dan
al-Ikhtiyarot hal 321 9. Manhajus Salikin hal 52 10. Lihat pembagian ini
dalam Tafsir Al-Qurthuby 6/318 dan Al-Majmu’ 9/31-32 11. Akan datang
dalil pengharamannya pada penyebutan makanan yang ke 21 12. Maksudnya
diharamkan menjualnya, menyewanya, dan seterusnya dari bentuk
tukar-menukar harga 13. Al Muhalla 7/429 14. Mereka adalah Imam Ahmad,
Abu Daud, An-Nasa’iy, At-Timirdzi dan Ibnu Majah 15. Termasuk kekeliruan
dari sebagian orang ketika menerjemahkan dhib’un dengan biawak, padahal
keduanya berbeda. Biawak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan.
Wallahu a’lam. 16. Al-Muhalla 7/405
Referensi:
1.
Al-Ath’imah wa Ahkamis Shoyd wadz Dzaba`ih, karya Syaikh Al-Fauzan,
cet. I th. 1408 H/1988 M, penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Ar-Riyadh. 2.
Al-Majmu’, Imam An-Nawawy, Cet. Terakhir, th. 1415 H/1995 M, penerbut:
Dar Ihya`ut Turots Al-Araby. 3. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd
Al-Maliky, cet. X, th. 1408 H/1988 M, penerbit: Darul Kutubil ‘Ilmiyah .
4. Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath’imah wal Masyrubat,
karya Muhammad bin Hamd Al-Hamud An-Najdy.
Dikutip dari http://salafy.or.id dinukil dari http://al-atsariyyah.com/?p=307, http://al-atsariyyah.com/wp-content/uploads/2008/10/makanan.doc.) Penulis: Redaksi Al Atsariyyah Judul: Makanan Halal & Haram A – Z
Tidak ada komentar:
Posting Komentar