- Dipublikasikan: 09 April 2011
- Dibaca: 1565 kali.
Perselisihan dan kontradiksi pendapat yang mewarnai umat ini, seakan sudah menjadi perkara yang dianggap lumrah. Slogan-slogan
dari sebagian orang yang mengatakan : “Perselisihan itu adalah rahmat,
jadi diantara kita harus memiliki rasa toleransi”, atau “Kita saling
tolong-menolong pada hal-hal yang kita sepakati dan kita bertoleransi
pada hal-hal yang kita perselisihkan” pun turut menghiasi, seakan
menyetujui perselisihan yang kian larut ini.
Sekilas slogan-slogan
tersebut memberi kesejukan dan ketenangan jiwa manusia. Dengan dalih
"... walaupun berselisih atau berbeda pemahaman, yang penting ukhuwah
(persaudaraan) tetap terjalin." Walhasil ketika bermuamalah, mereka
berusaha untuk tidak menyentuh perkara yang diperselisihkan demi
menjaga keutuhan ukhuwah. Sekalipun perkara tersebut adalah sesuatu
yang prinsip (jelas) hukumnya dalam agama. Sehingga amar ma’ruf nahi
munkar sulit dijalankan, karena adanya rambu-rambu toleransi ala
mereka.
Mereka tak sadar –bahwa dengan sikap seperti itu- justru melanggengkan perselisihan yang tajam pada umat ini.
Bila kita melihat realita
yang ada, tidak sedikit dari kalangan muslimin yang terperosok jauh
akibat perselisihan tersebut. Mereka tidak bisa menerima dan menjalani
konsekwensi dari slogan-slogan di atas tadi (“perselisihan adalah
rahmat” dan lain-lain). Perselisihan pun menjadi kian meruncing nan
tajam.
Bahkan diantara mereka
terjatuh dalam pertikaian, permusuhan, bersitegang urat sampai pada
bentrokan fisik. Karena masing-masing pihak merasa bangga dan ingin
memenangkan pendapat yang dipeganginya.
Semisal dalam hal
pemilihan madzhab diantara imam yang empat. Baik dalam perkara aqidah,
fiqih maupun muamalah. Sebagai contoh : “Si A tidak mau sholat di
masjid yang berbeda madzhab” atau “si B tidak mau bermakmum di belakang
si C karena madzhabnya berbeda”. Dan contoh-contoh lain yang telah
melanda kehidupan umat Islam. Lalu apakah perselisihan yang demikian
ini dikatakan sebagai “rahmat”?
Perkataan Ulama tentang Hadits ini
Al-Hadits merupakan sumber
rujukan utama umat Islam setelah Al-Qur’an. Kedudukan Al-Hadits
sedemikian penting, maka mengetahui keshohihan (kebenaran)nya adalah
suatu konsekwensi logis. Namun dalam menentukan suatu hadits itu shohih
atau tidak, bukanlah hal sepele. Oleh karena itu kita dilarang untuk
sembarangan menukil hadits, jika belum pasti keshohihannya.
Ahlul Hadits adalah para
ulama yang mereka memahami ilmu-ilmu seputar permasalahan hadits. Baik
dari segi matan/redaksi hadits maupun sanad (deretan/rangkaian para
perawi hadits yang bersambung sampai kepada Rasulullah). Ahlul Hadits
berupaya keras untuk mengumpulkan, meneliti dan memisahkan hadits yang
shohih dari yang dho’if
(lemah) dan maudhu’ (palsu). Berikut penulis nukilkan perkataan Ahlul
Hadits tentang sebuah hadits masyhur : “Perselisihan Umatku adalah
Rahmat”.
Asy Syeikh Al Muhadits Nashiruddin Al Albani
rohimahullah dalam Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah mengenai “hadits”
ini, beliau berkata : “Hadits ini tidak ada asalnya”. Para muhadits
sudah berupaya keras untuk mendapatkan sanad hadits ini tetapi mereka
tidak mendapatkannya. Sampai beliau (Al Albani) berkata : “Al Munawi
menukil dari As Subki bahwa dia berkata : “Hadits ini tidak dikenal
oleh para muhadits, dan saya belum mendapatkannya baik dalam sanad yang
shohih, dho’if, atau maudlu’.
Syaikh Zakariya Al Anshori menyetujuinya dalam ta’liq atas Tafsir Al Baidlawi 2/92 Qaaf (masih dalam manuskrif).
Makna hadits ini pun
diingkari oleh para ulama peneliti hadits. Al ‘Allamah Ibnu Hazm berkata
dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam Juz 5/hal 64 setelah beliau
mengisyaratkan bahwasanya “ucapan” itu bukan hadits : “Ini adalah ucapan
rusak yang paling rusak. Karena jika perselisihan itu rahmat, tentu
kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim pun
yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan,
rahmat atau dibenci. Di kesempatan lain beliau mengatakan : “batil dan
dusta”. (Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah juz 1, hadits no 57 hal 141)
Dalam kitab Zajrul
Mutahawin bi Adz Dzoror Qo’idatil Ma’dzaroh wa Ta’awun hal 32, yang
ditulis oleh Hamad bin Ibrohim Al Utsman dan kitab ini telah dimuroja’ah
(diteliti ulang) oleh Asy Syeikh Al Allamah Sholeh bin Fauzan Al
Fauzan. Disebutkan bahwa : “Hadits ini lemah secara sanad dan matan.
Tidak diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits dengan lafadz ini.
Adapun yang masyhur adalah
hadits “Perselisihan para shahabatku adalah rahmat”. Dan sebagian dari
ulama ahli ushul menyebutkan hadits tersebut sebagaimana yang dilakukan
Ibnul Hajib di dalam Mukhtashornya tentang ushul fiqih.
Berkata Abu Muhammad ibnu
Hazm : “Adapun hadits yang telah disebutkan “Perselisihan umatku adalah
rahmat” adalah kebatilan dan kedustaan yang bermuara dari orang yang
fasik.” (Al Ahkam fi Ushulil Ahkam 5/61)
Al Qoshimy mengomentari
(sanad dan matan) hadits ini, dalam kitab Mahasinut Ta’wil 4/928 :
“Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal
keshohihan sanadnya. At Thobrony dan Al Baihaqy meriwayatkannya di
dalam kitab Al Madkhol dengan sanad yang lemah dari Ibnu ‘Abbas secara
marfu’.
Adapun ‘ilat (kelemahan) hadits ini adalah :
- Adanya perawi yang bernama Sulaiman bin Abi Karimah, Abu Hatim Ar Rozy melemahkannya.
- Perawi yang bernama Juwaibir, dia seorang Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya) sebagaimana yang dinyatakan Nasa’i, Daruquthny. Dia meriwayatkan dari Adh Dhohhak perkara- perkara yang palsu termasuk “hadits” ini.
- Terputusnya (jalur riwayat) antara Adh Dhohhak dan Ibnu ‘Abbas.
Berkata sebagian ulama :
“Hadits ini menyelisihi nash-nash ayat dan hadits, seperti firman Allah
Ta’ala : “Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang yang
dirahmati Robbmu” dan sabda Rasulullah “Janganlah kalian berselisih,
maka akan berselisih hati-hati kalian” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan
dikeluarkan di dalam Sunan Abu Daud oleh Asy Syeikh Al Albani) dan
hadits-hadits yang lain banyak sekali. Maka kesimpulannya bahwa
kesepakatan (di atas kebenaran) itu lebih baik daripada perselisihan.
Penutup
Setiap muslim yang mengaku
beriman kepada Allah dan hari Akhir, niscaya akan menyatakan bahwa
dirinya cinta kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Namun cinta
tidaklah cukup di lisan saja. Bahkan harus diwujudkan dalam amal
perbuatan. Salah satu bukti cinta kita kepada Beliau adalah tidak
lancang/berani dalam menukil suatu ucapan, lalu mengatasnamakan
Rasulullah. Hendaklah takut akan ancaman Beliau : “Barangsiapa berdusta
atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat
duduknya dari api neraka”. (HR.Bukhori)
Alhamdulillah dari
penjelasan Ahlul Hadits di atas, dapat diketahui bahwa hadits
“Perselisihan umatku adalah rahmat” ternyata bukan merupakan sabda
Rasulullah. Atau disebut juga hadits maudhu’. Padahal hadits ini sangat
tenar dan menyebar bahkan menjadi pegangan para aktivis dakwah. Namun
sebagai seorang muslim yang mau menerima kebenaran, tentulah akan
bersegera meninggalkan hadits ini, sebagai salah satu wujud cinta dia
kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Allah berfirman : “Dan
berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan janganlah
kalian bercerai-berai.” (Ali Imron : 103)
Al Hafidz Ibnu Katsir
rohimahullah berkata : “Allah telah memerintahkan kepada mereka (umat
Islam) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak
hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk
bersatu dan berkumpul (di atas kebenaran).” (Tafsir Ibnu Katsir 1/367)
Sesungguhnya tidak
terdapat satu dalilpun dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan
bahwa perselisihan itu adalah rahmat. Maka sikap menyetujui
perselisihan dan menganggapnya sebagai rahmat, justru menyelisihi
nash-nash mulia, yang jelas-jelas mencela terjadinya perselisihan.
Adapun yang ridho dengan perselisihan tersebut, tidaklah mereka
memiliki sandaran dalil melainkan berpegang pada “hadits” yang maudhu’
ini. Wallahul muwafiq ila sabilish showab.
(Sumber : Buletin Jum’at Al Jihad, diterbitkan Yayasan As Salaf Samarinda. Penulis Al Ustadz Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy. Judul asli "Kedudukan dan Penjelasan Hadits “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”. )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar