1. Kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid.
Sejak zaman Nubuwwah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, di antara
shahabiyah (shahabat Rasulullah dari kalangan wanita, red) ada yang
ikut menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu
tidak wajib bagi mereka. (Lihat kembali
Salafy edisi IX/Rabiul Akhir 1417 rubrik Ahkam yang membahas tentang
hukum shalat berjamaah bagi wanita dan lihat pula edisi XVI/Dzulhijjah
1417 rubrik Kajian Kali Ini).
Ada
beberapa dalil dari sunnah yang shahihah yang menunjukkan keikutsertaan
wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Tiga di antaranya kami
sebutkan berikut ini :
a. Hadits dari Aisyah radliyallahu ‘anha, ia berkata :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya hingga Umar memanggil beliau (dengan berkata) : “Telah
tertidur para wanita dan anak anak.” Maka keluarlah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu berkata : “Tidak ada seorang pun selain kalian
dari penduduk bumi yang menanti shalat ini.” (HR. Bukhari dalam kitab Mawaqit Ash Shalah 564 dan Muslim kitab Al Masajid 2/282)
Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits di atas berkata : “Ucapan
Umar (Telah tertidur para wanita dan anak anak) yakni di antara mereka
yang menanti didirikannya shalat berjamaah di masjid.“
b. Dalam hadits lain, Aisyah radliyallahu ‘anha mengabarkan :
“Mereka
wanita wanita Mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut dengan kain kain
mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah rumah mereka hingga
mereka (selesai) menunaikan shalat tanpa ada seorangpun yang mengenali
mereka karena masih gelap.” (HR. Bukhari 578)
c. Hadits dari Abi Qatadah Al Anshari radliyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya
aku berdiri untuk menunaikan shalat dan berkeinginan untuk memanjangkan
shalat itu. Lalu aku mendengar tangisan bayi maka akupun memendekkan
shalatku karena khawatir (tidak suka) memberatkan ibunya.” (HR. Bukhari 868, Abu Daud 789, Nasa’i 2/94 95 dan Ibnu Majah 991)
2. Izin bagi wanita untuk keluar ke masjid.
Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid
(lihat rubrik Ahkam, Salafy edisi IX). Namun tidak berarti wanita
dilarang dan harus dicegah bila ingin hadir berjamaah di masjid, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila wanita (istri) salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya.” (HR. Bukhari 2/347 dalam Fathul Bari, Muslim 442, dan Nasa’i 2/42)
Salim bin
Abdullah bin Umar menceritakan bahwasanya Abdullah bin Umar
radliyallahu ‘anhuma berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“Janganlah kalian melarang istri istri kalian dari masjid bila mereka meminta izin untuk mendatanginya.” (HR. Bukhari dan Muslim 442 dan hadits yang disebutkan di sini menurut lafadh Muslim)
Salim berkata : Bilal bin Abdullah bin Umar lalu berkomentar: “Demi Allah, kami benar benar akan melarang mereka.”
(Mendengar
ucapan seperti itu, pent.) Abdullah bin Umar memandang Bilal kemudian
mencelanya dengan celaan yang buruk yang aku sama sekali belum pernah
mendengar celaannya seperti itu terhadap Bilal. Dan Abdullah berkata : “Aku
kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
engkau menimpali dengan ucapanmu, ‘demi Allah, kami benar benar akan
melarang mereka!’”
3. Beberapa perkataan ulama dalam permasalahan ini.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Janganlah kalian melarang hamba hamba perempuan Allah dari masjid masjid Allah"
Dan
yang hadtis-hadist semisalnya dalam bab ini, menunjukkan bahwa wanita
tidak dilarang mendatangi masjid akan tetapi harus memenuhi syarat
syarat yang telah disebutkan oleh ulama yang diambil dari hadits hadits
yang ada. Seperti wanita itu tidak memakai wangi wangian, tidak berhias,
tidak mengenakan gelang kaki yang bisa terdengar suaranya, tidak
mengenakan pakaian mewah, tidak bercampur-baur dengan laki laki, dan
wanita itu bukan remaja putri (pemudi) yang dengannya dapat menimbulkan
fitnah serta tidak ada perkara yang dikhawatirkan kerusakannya di jalan
yang akan dilewati dan semisalnya. ] (Syarhu Muslim 2/83)
Syaikh Musthafa Al Adawi hafidhahullah memberi komentar terhadap ucapan Imam Nawawi di atas :
[
Terhadap ucapan Imam Nawawi rahimahullah tentang pelarangan remaja
putri (pemudi untuk hadir di masjid) perlu dilihat kembali. Kami belum
mendapatkan dalil yang jelas yang melarang pemudi atau membedakan antara
pemudi dan yang selainnya untuk pergi ke masjid. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’
Juz 1 halaman 278)
Imam Nawawi juga berkata dalam Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/199 : [ Larangan dalam hadits : "Janganlah kalian melarang hamba hamba perempuan Allah dari masjid masjid Allah."
Hal
ini merupakan larangan tanzih/makruh (bukan larangan yang menunjukkan
tahrim/haram, pent.) karena hak suami agar istri tetap tinggal di rumah
wajib dipenuhi. Maka janganlah si istri meninggalkannya untuk
mengerjakan amalan yang tidak wajib. ]
Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla-nya menyatakan :
“Tidak
halal bagi wall wanita dan tidak juga bagi majikan budak wanita untuk
melarang keduanya menghadiri shalat berjamaah di masjid jika diketahui
bahwa mereka memang hendak shalat. Dan tidak halal bagi mereka (kaum
wanita) untuk keluar dalam keadaan memakai wangi wangian dan mengenakan
pakaian yang indah (mewah). Bila si wanita melakukan hal demikian maka
hendaklah dicegah.” (Al Muhalla 2/170)
Al
Baihaqi rahimahullah menyebutkan dalam Sunan-nya (3/133) bahwa perintah
untuk tidak melarang wanita merupakan perintah yang sunnah dan bersifat
bimbingan, bukan perintah yang menunjukkan fardlu dan wajib.
Syaikh Musthafa Al Adawi berkata :
“Bila
tidak dijumpai adanya sebab yang dapat menghalangi keluarnya wanita
menuju ke masjid maka wajib bagi suami untuk mengizinkannya karena
adanya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mencegahnya.
Wallahu a’lam.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/279)
Syaikh
Abu Ishak Al Huwaini Al Atsari hafidhahullah dalam kitabnya, Al
Insyirah fi Adabin Nikah halaman 72 74) setelah membawakan hadits yang
artinya :
“Bila istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya.”
Syaikh
menyatakan : Dalam hadits ini menunjukkan bahwa keluarnya istri harus
dengan izin suami. Seandainya si suami menahan istrinya (untuk keluar)
maka si suami tidak berdosa menurut pendapat yang terpilih dari
pendapat-pendapat para Ahli Tahqiq dan telah berkata Al Baihaqi : “Dengan inilah mayoritas ulama berpendapat.”
Adapun hadits yang berbunyi :
“Janganlah kalian melarang hamba hamba perempuan Allah dari masjid masjid Allah“
Perintah
di sini (yakni perintah untuk tidak melarang wanita ke masjid, pent.)
tidaklah menunjukkan wajib. Karena seandainya wajib, maka tidak ada
maknanya meminta izin. Wallahu a’lam. ]
4. Pendapat Aisyah radliyallahu ‘anha dan bimbingannya.
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan ucapan Aisyah radliyallahu ‘anha :
“Seandainya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat menemui apa yang diada
adakan oleh para wanita (saat ini) niscaya beliau akan melarang mereka
sebagaimana dilarangnya wanita wanita Bani Israil.” (HR. Bukhari hadits 869 dan dikeluarkan juga oleh Muslim 445)
Dalam
riwayat Muslim disebutkan : Salah seorang rawi bertanya kepada Amrah
binti Abdirrahman (murid Aisyah yang meriwayatkan hadits ini darinya) : “Apakah para wanita Bani Israil dilarang ke masjid?” Amrah menjawab : “Ya,
adapun hal hal baru yang diperbuat para wanita Bani Israil di antaranya
memakai wangi wangian, berhias, tabarruj, ikhtilath, dan kerusakan
kerusakan lainnya.“
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (2/350) : “Shalatnya
wanita di rumahnya lebih utama baginya karena terjamin aman dari
fitnah. Dan yang menguatkan hal ini setelah munculnya perbuatan tabarruj
dan pamer perhiasan yang dilakukan oleh para wanita. Terlebih lagi
Aisyah radliyallahu ‘anha telah berkata dengan apa yang dia katakan.
Sebagian
orang berpegang dengan ucapan Aisyah ini untuk melarang wanita (ke
masjid) secara mutlak dan pendapat ini perlu ditinjau kembali.”
Beliau berkata lagi : “Aisyah
mengaitkan larangan dengan syarat, yang ia menganggap bila Nabi sempat
melihat (perbuatan para wanita itu) niscaya beliau akan melarangnya.
Dengan demikian, dikatakan kepada orang yang berpendapat wanita dilarang
secara mutlak (ke masjid) bahwa Nabi tidak sempat melihat (perbuatan
para wanita itu) dan beliau tidak melarang, hingga hukum (kebolehan
wanita ke masjid dan larangan untuk mencegah mereka, pent.) terus
berlaku … .”
Berkata Syaikh Musthafa Al Adawi setelah membawakan riwayat Aisyah di atas :
[
Ini merupakan pendapat Aisyah radliyallahu 'anha berkenaan dengan
keluarnya wanita ke masjid ... . Beliau berpendapat (perlunya) larangan
karena sebab yang disebutkan.
Pendapat
ini memiliki arti bila ada fitnah dan adanya kekhawatiran terhadap kaum
pria dan wanita dari fitnah itu. Akan tetapi kita kembali dan kita
katakan : Pendapat ini tempatnya bila fitnah terwujud nyata. Adapun
melarang mereka karena (menganggap) semata mata ke masjid itu adalah
fitnah maka ini pendapat yang lemah. Allah Ta'ala telah berfirman :
"Dan tidaklah Tuhanmu lupa." (QS. Maryam : 64)
"Tidaklah Kami luputkan sesuatu pun di dalam Kitab ini." (QS. Al An'am : 38)
Dan
layak untuk kami (Musthafa Al Adawi) nukilkan di sini ucapan Al Hafidh
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari 2/350. Beliau menyatakan : " …
dan juga Allah subhanahu wa ta'ala telah mengetahui apa yang akan
mereka (para wanita) perbuat. Namun Allah tidak mewahyukan kepada Nabi
Nya untuk melarang mereka (mendatangi masjid).
Seandainya
apa yang mereka perbuat mengharuskan untuk melarang mereka dari masjid,
niscaya melarang mereka dari selain masjid seperti mendatangi pasar
pasar adalah lebih utama.
Dan
juga perbuatan yang diada adakan itu hanya dilakukan oleh sebagian
wanita, tidak seluruhnya. Maka pengkhususan larangan (penunjukkan
larangan) ditujukan kepada wanita yang berbuat. Yang lebih utama adalah
menilik perkara yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, lalu
menghindarinya berdasarkan isyarat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan melarang memakai wangi wangian dan berhias." (Lihat Jami' Ahkamin Nisa' 1/280) ]
Ibnu
Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla (3/ 134) menyebutkan enam sisi
bantahan terhadap orang yang berhujjah dengan ucapan Aisyah radliyallahu
‘anha ini untuk melarang wanita ke masjid secara mutlak.
Dua sisi di antaranya kami sebutkan secara ringkas di bawah ini :
Sisi pertama :
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempat melihat apa yang
diperbuat para wanita, maka beliau tidak melarang mereka ke masjid.
Apabila beliau sendiri tidak melarang mereka (ke masjid) maka berarti
melarang mereka adalah bid’ah dan kesalahan. Ini sama dengan firman
Allah Ta’ala :
“Wahai
istri istri Nabi, siapa di antara kalian yang mengerjakan perbuatan
keji yang nyata niscaya akan dilipatgandakan siksaan padanya dua kali
lipat … .” (QS. Al Ahzab : 30)
Maka
mereka sama sekali tidak mengerjakan perbuatan keji yang nyata sehingga
tidak dilipatgandakan adzab bagi mereka, walhamdulillah. Dan juga
seperti firman Allah Ta’ala :
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’raf : 96)
Maka mereka tidak beriman sehingga tidak dibukakan barakah bagi mereka.
Sisi Kedua : Aisyah radliyallahu ‘anha tidak berpendapat melarang para wanita karena sebab itu dan ia tidak berkata : “Laranglah mereka karena apa yang mereka perbuat.” Akan tetapi Aisyah mengabarkan : “Andai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup niscaya beliau melarang mereka … .”
Kami
katakan : Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
mereka, kami pun melarang mereka. Dan bila beliau tidak melarang maka
kami pun tidak melarang mereka.
5. Syarat syarat yang harus dipenuhi.
Wanita
dibolehkan menghadiri shalat berjamaah di masjid namun harus memenuhi
ketentuan ketentuan yang ditetapkan syariat seperti tidak memakai wangi
wangian
sebagaimana dikabarkan oleh Zainab Ats Tsaqafiyah, istri Abdullah bin
Mas’ud radliallahu anhuma. la berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda kepada kami :
“Bila salah seorang dari kalian (para wanita) ingin menghadiri shalat di masjid maka janganlah ia menyentuh wewangian.” (HR. Muslim 4/163, Ibnu Khuzaimah 1680, dan Al Baihaqi 3/439)
Demikian juga hadits Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Wanita mana saja yang memakai wangi wangian maka janganlah ia menghadiri shalat lsya yang akhir bersama kami.” (HR. Muslim 4/162, Abu Daud 4175, dan Nasa’i 8/154)
Syaikh Musthafa Al Adawi berkata :
[ Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah memiliki pendapat yang ganjil di mana ia berkata dalam Al Muhalla 4/78 :
"Tidak
halal bagi seorang wanita menghadiri shalat di masjid dalam keadaan
memakai wangi wangian. Jika ia melakukannya maka batallah shalatnya."
Ini
merupakan pendapat yang ganjil dari beliau rahimahullah. Yang benar,
wallahu a'lam- wanita yang melakukan perbuatan demikian (memakai
wewangian ketika keluar menuju masjid) berarti telah berbuat dosa, akan
tetapi dosanya tersendiri dari shalatnya dan tidak ada hubungan antara
dosa itu dengan batalnya shalat. Allahu a'lam. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’
1/288)
Al
Qadli ‘Iyadl rahimahullah menyebutkan syarat dari ulama berkenaan
dengan keluarnya wanita, di antaranya tidak mengenakan perhiasan, tidak
memakai wewangian, dan tidak berdesak desakan dengan laki laki. Kata Al
Qadli : “Termasuk dalam makna wewangian adalah menampakkan perhiasan
dan keindahannya. Jika ada sesuatu dari perbuatan demikian maka wajib
melarang mereka karena takut fitnah.“
Berkata Syaikh Abdullah Al Bassam dalam kitabnya, Taudlihul Ahkam (2/283) :
Termasuk
wewangian adalah sesuatu yang semakna dengannya berupa gerakan gerakan
yang dapat mengundang syahwat seperti pakaian yang indah, perhiasan, dan
dandanan. Karena aroma si wanita, perhiasan, bentuknya, dan penonjolan
kecantikannya merupakan fitnah baginya dan fitnah bagi laki laki.
Bila
si wanita melakukan hal demikian atau melakukan sebagiannya, haram
baginya untuk keluar berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu (telah disebutkan di atas, pent.)
dan hadits dalam Shahihain dari Aisyah radliyallahu ‘anhuma, ia berkata:
“Seandainya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang dilakukan
para wanita sebagaimana yang kita lihat niscaya beliau akan melarang
mereka ke masjid.” ]
Dituntunkan
kepara para wanita yang hadir dalam shalat berjamaah di masjid untuk
bersegera kembali ke rumah setelah menunaikan shalat. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Aisyah radliyallahu ‘anha :
“Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat shubuh
ketika hari masih gelap. Maka para wanita Mukminah berpaling
(meninggalkan masjid) dalam keadaan mereka tidak dikenali karena gelap
atau sebagian mereka tidak mengenali sebagian lainnya.” (HR. Bukhari 872)
Syaikh
Musthafa Al Adawi berkata setelah membawakan hadits di atas: [ Imam
Bukhari membuat satu bab untuk hadits ini dalam kitab Shahih-nya dan
diberi judul : Bab Bersegeranya Wanita Meninggalkan Masjid Setelah
Shalat Shubuh dan Sebentarnya Mereka Berdiam di Masjid. Al Hafidh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan : "Dikhususkan waktu shubuh
karena mengakhirkan keluar dari masjid (berdiam lama di masjid, pent.)
berakibat suasana sekitar sudah terang. Maka sepantasnya wanita
bersegera keluar. Berbeda dengan Isya, karena suasana akan semakin gelap
hingga tidak bermudlarat untuk berdiam lebih lama di masjid (tentunya
dengan catatan aman dari fitnah dan tidak ada gangguan yang membahayakan
si wanita di jalanan seperti zaman sekarang ini, wallahu a'lam,
pent.)." ]
Aku (Mustafa Al Adawi) katakan : “Ucapan
Al Hafidh ini diikuti oleh hadits berikutnya (hadits Ummu Salamah yang
akan disebutkan setelah ini, pent.). Maka tidak ada maknanya untuk
mengkhususkan waktu shubuh daripada waktu lainnya dalam hal bersegeranya
wanita keluar dari masjid. Yang benar, para wanita bergegas
meninggalkan masjid setelah menunaikan semua shalat hingga memungkinkan
mereka untuk pergi sebelum bercampur-baur dengan laki laki.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/285)
Hindun
bintu Al Harits berkata bahwa Ummu Salamah -istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam– menceritakan padanya tentang para wanita di masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila mereka telah
mengucapkan salam dari shalat fardlu, mereka berdiri meninggalkan masjid
sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para pria
yang ikut shalat tetap tinggal selama waktu yang dikehendaki Allah. Maka
apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, para pria pun
ikut berdiri.” (HR. Bukhari 866)
Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah juga, ia berkata : “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah selesai salam (dari shalat)
beliau tinggal sejenak di tempatnya (sebelum berdiri meninggalkan
masjid, pent.).” (HR. Bukhari 849)
Berkata seorang perawi hadits di atas : “Kami berpendapat, wallahu a’lam, beliau berbuat demikian agar ada kesempatan bagi para wanita untuk meninggalkan masjid.”
Imam Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar 2/315 berkata : “Hadits
ini menunjukkan disunnahkannya imam untuk memperhatikan keadaan makmum
dan bersikap hati hati dengan menjauhi apa yang dapat mengantarkan
kepada perkara yang dilarang … .”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : “Jika
pria dan wanita hadir bersama imam (dalam shalat berjamaah) maka
disunnahkan bagi sang imam dan jamaah pria agar tetap tinggal di tempat
(selesai menunaikan shalat) sekadar imam berpendapat bahwa jamaah wanita
telah meninggalkan masjid … .” (Al Mughni 2/560)
Syaikh Musthafa Al Adawi berpendapat : “Bila
di masjid itu ada pintu khusus bagi wanita dan mereka terhijab dari
kaum pria dan kaum pria tidak melihat mereka maka tidak ada larangan
–wallahu a’lam- bagi mereka untuk tetap tinggal di tempat shalat agar
mereka dapat bertasbih, bertahmid, bertakbir, dan bertahlil dengan
dzikir dzikir tertentu setelah shalat karena para Malaikat bershalawat
untuk orang yang shalat selama ia tetap di tempat shalatnya dalam
keadaan berdzikir pada Allah dan selama ia belum berhadats sebagaimana
hal ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/286 287)
6. Sebaik baik shaf wanita.
Imam
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abi Hurairah radliyallahu
‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sebaik
baik shaf pria adalah shaf yang pertama dan sejelek jelek shaf pria
adalah yang paling akhir. Sebaik baik shaf wanita adalah yang paling
akhir dan sejelek jeleknya yang paling depan.” (HR. Muslim
nomor 440, Nasa’i 2/93, Abu Daud 678, Tirmidzi 224 dan ia berkata :
“Hadits hasan shahih.” Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini nomor
1000)
Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini, di antaranya :
Berkata Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarhu Muslim (halaman 1194) :
“Adapun
shaf pria maka secara umum selamanya yang terbaik adalah shaf yang
pertama dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf
wanita maka yang dimaksudkan dalam hadits adalah shaf shaf wanita yang
shalat bersama kaum pria. Sedangkan bila mereka (kaum wanita) shalat
terpisah dan tidak bersama kaum pria maka mereka sama dengan pria, yakni
sebaik baik shaf mereka adalah yang paling depan dan seburuk buruknya
adalah yang paling akhir.
Yang
dimaksud dengan jelek-nya shaf bagi pria dan wanita adalah yang paling
sedikit pahalanya dan keutamaannya serta paling jauh dari tuntutan
syar’i. Sedangkan shaf yang paling baik adalah sebaliknya. Shaf yang
paling akhir bagi jamaah wanita yang hadir bersama jamaah pria dikatakan
memiliki keutamaan karena jauhnya para wanita itu dari bercampur
(ikhtilath) dengan pria, dari melihat pria, dan tergantungnya hati
tatkala melihat gerakan kaum pria, serta mendengar ucapan (pembicaraan
mereka), dan semisalnya.
Dan
celaan bagi shaf yang terdepan bagi jamaah wanita (yang hadir bersama
pria) adalah sebaliknya dari alasan di atas, wallahu a’lam.”
Beliau rahimahullah berkata juga dalam Al Majmu’ 4/301 : “Telah
kami sebutkan tentang disunnahkannya memilih shaf pertama kemudian
sesudahnya (shaf kedua) kemudian sesudahnya sampai shaf yang akhir.
Hukum ini berlaku terus-menerus bagi shaf pria dalam segala keadaan dan
juga bagi shaf wanita yang jamaahnya khusus wanita, terpisah dari jamaah
pria. Adapun jika kaum wanita shalat bersama pria dalam satu jamaah dan
tidak ada pemisah/penghalang di antara keduanya, maka shaf wanita yang
paling utama adalah yang paling akhir berdasarkan hadits Abi Hurairah
radliyallahu ‘anhu (telah disebutkan di atas, pent.).“
Berkata Imam Syaukani rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
" ... dan sebaik baik shaf wanita adalah yang paling akhir."
Dikatakan
paling baik karena berdiri pada shaf tersebut menyebabkan jauhnya dari
bercampur dengan pria, berbeda dengan berdiri di shaf pertama dari
shaf-shaf jamaah wanita karena mengandung (kemungkinan) bercampur dengan
pria dan tergantungnya hati dengan mereka (para pria) disebabkan
melihat mereka dan mendengar ucapan mereka. Karena inilah, shaf pertama
dinyatakan paling jelek (bagi wanita). (Nailul Authar 3/184) ]
Dalam Subulus Salam 2/30 (Maktabah Dahlan), Imam Shan’ani rahimahullah berkata : “Shaf
yang paling akhir dikatakan shaf yang terbaik bagi wanita. Alasannya
karena dalam keadaan demikian mereka berada jauh dari pria, dari
melihat, dan mendengar omongan mereka. Hanya saja alasan ini tidak
sempurna kecuali bila shalat mereka dilakukan bersama kaum pria.
Adapun
bila mereka shalat dan imam mereka juga wanita (jamaah khusus wanita,
pent.) maka shaf shaf mereka hukumnya seperti shaf shaf pria yaitu yang
paling utama adalah shaf pertama.”
Syaikh Musthafa Al Adawi berkata setelah menyebutkan hadits Abi Hurairah di atas :
[Ketentuan
ini berlaku bila kaum wanita bergabung bersama kaum pria dalam shalat
berjamaah di mana mereka berada di belakang shaf shaf.
Adapun
bila jamaahnya khusus wanita atau bersama kaum pria dalam melaksanakan
shalat akan tetapi mereka tidak dapat terlihat oleh pria, maka shaf yang
paling baik adalah yang paling depan berdasarkan hadits Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Seandainya mereka tahu keutamaan shaf yang terdepan niscaya mereka akan berundi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari 721) ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/353 354)
7. Kebolehan wanita shalat sunnah di masjid.
Sebagaimana
wanita dibolehkan untuk shalat berjamaah di masjid, dibolehkan pula
baginya untuk melakukan shalat sunnah di masjid selama aman dari fitnah
dan terpenuhi syarat syarat yang ditetapkan.
Hal
ini berdalil dengan riwayat Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bin
Malik radliyallahu ‘anhu. Anas berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam masuk ke dalam masjid, tiba tiba beliau mendapatkan seutas tali
terbentang di antara dua tiang (masjid). Maka beliau bersabda :
“Tali
apa ini?” Para shahabat menjawab : “Tali ini milik Zainab. Bila ia
merasa lemah (dari melaksanakan shalat sunnah, pent.) ia bergantung
dengan tali ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jangan,
putuskan tali ini! Hendaklah salah seorang dari kalian shalat dalam
keadaan ia bersemangat maka kalau ia lemah hendaklah ia duduk.” (HR. Bukhari hadits 1150, dikeluarkan juga oleh Muslim, Abu Daud 1312, Nasa’i, dan Ibnu Majah 1371)
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/37 : “Hadits
ini menunjukkan upaya menghilangkan kemungkaran dengan tangan dan lisan
dan menunjukkan bolehnya para wanita menunaikan shalat nafilah (sunnah)
di masjid.”
8. Penutup.
Sebelum
seorang wanita melangkah ke masjid, ia harus melihat syarat syarat yang
telah ditetapkan dalam agama ini agar ia tidak jatuh dalam pelanggaran
dan perbuatan dosa.
Dan ia hendaknya tidak melupakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Humaid ketika Ummu Humaid berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat bersamamu.” Nabi menjawab :
“Sungguh
aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu
lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid
kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini.” (HR. Ibnu Khuzaimah 1689, Ahmad 6/371, Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab. Kata Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini : “Isnadnya hasan dengan syawahid.” Lihat Al Insyirah halaman 74)
Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan : “Bersamaan
dengan dibolehkannya wanita keluar ke masjid maka sesungguhnya
shalatnya di rumahnya lebih utama daripada hadirnya ia dalam shalat
berjamaah (di masjid).” (Al Insyirah halaman 73)
Wallahu A’lam Bish Shawwab.
Sumber dari tulisan Ustadzah Ummu Ishaq, sumber : Majalah Salafy /Muslimah Xxxii/1420 Kajian Kita
Dikutip dari salafy.or.id offline Penulis : Ustadzah Ummu Ishaq Judul: Delapan Poin ttg “Sholatnya” Muslimah di Masjid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar