oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah
Segala
puji khusus bagi Allah, yang telah memerintahkan untuk beristi’anah
(meminta tolong kepada-Nya) dengan kesabaran dan shalat dalam menghadapi
kesulitan-kesulitan hidup. Dia memberitakan bahwa hal itu merupakan suatu yang berat kecuali bagi para hamba-Nya yang khusyu’ . Allah juga menyifati kaum mukminin dengan khusyu’ dalam shalat mereka.
Allah menjadikannya sebagai sifat-sifat mereka. Allah berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun : 1-2]
Aku memuji-Nya atas besarnya anugerah dan kebaikan-Nya.
Aku bersaksi bahwa tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah
satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagai bentuk pengagungan
terhadap-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
rasul-Nya, sang juru dakwah kepada keridhaan-Nya, shalat Allah atasnya
dan atas keluarga dan para shahabatnya serta siapapun yang mengikuti
mereka dengan baik. Amma ba’d :
Wahai
umat manusia, bertaqwalah kalian kepada Allah. Ketahuilah bahwa khusyu’
dalam shalat merupakan ruh ibadah shalat tersebut sekaligus maksud
utama ditegakkannya ibadah shalat tersebut. Allah telah menyifati para
rasul-Nya dan para hamba-Nya yang shalihin dengan sifat tersebut
(khusyu’). Allah berfirman :
﴿ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ ﴾
“Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap
dan cemas [1], dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya` : 90]
Allah juga berfirman :
﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun : 1-2]
Allah
juga menyifati para ‘ulama dengan sifat khasy-yah (takut) kepada-Nya
dan khusyu’ tatkala mendengar Firman-Nya. Allah berfirman :
﴿ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ﴾
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Fathir : 28]
Allah juga berfirman :
﴿
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى
عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا . وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ
رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا. وَيَخِرُّونَ
لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا ﴾
“Sesungguhnya
orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan
kepada mereka, mereka menyungkur atas wajah mereka sambil bersujud,
seraya mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb
kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas wajah mereka sambil
menangis dan mereka bertambah khusyu’.” [Al-Isra` : 107-109]
Asal
makna khusyu’ adalah kelembutan dan ketenangan hati, serta
ketundukannya. Apabila hati telah khusyu’ maka akan diikuti oleh khusyu’
anggota badan. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :
«
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ. أَلاَ وَهِىَ
الْقَلْبُ »
“Ketahuilah,
bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka
baik pulalah seluruh jasad, namun apabila ia jelek maka jelek pulalah
seluruh jasad. Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Apabila
seseorang membuat-buat khusyu’ pada anggota badannya tanpa diiringi
kekhusyu’an hati, maka yang demikian adalah khusyu’ nifaq. ‘Umar
Radhiyallah ‘anhu pernah melihat seorang pemuda menundukkan kepalanya,
maka ‘Umar pun berkata, “Wahai kamu, angkat kepalamu, karena khusyu’
itu letaknya bukan di leher. Sesungguhnya khusyu’ itu tidak lebih dari
apa yang terdapat dalam hati.”
Khusyu’
yang terdapat dalam hati tidak lain dihasilkan dari ma’rifah (pengenal
dan ilmu) tentang Allah ‘Azza wa Jalla dan ma’rifah tentang
keagungan-Nya. Barangsiapa yang semakin mengenal dan berilmu tentang
Allah, maka dia makin khusyu’ terhadap-Nya. Di antara sebab terbesar
tercapainya khusyu’ adalah mentadabburi Kalamullah. Allah ‘Azza wa Jalla
telah berfirman :
﴿ لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ ﴾
“Kalau
seandainya Kami turunkan Al-Qur`an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu
akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada
Allah. Dan itlah perumpamaan-perumpamaan kami buat untuk manusia agar
mereka berfikir.” [Al-Hasyr : 21]
Allah
telah menyifati para ‘ulama dari kalangan Ahlul Kitab dengan sifat
khusyu’ ketika mendengar Al-Qur`an ini. Allah Ta’ala berfirman :
﴿
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى
عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا . وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ
رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا. وَيَخِرُّونَ
لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا ﴾
“Sesungguhnya
orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan
kepada mereka, mereka menyungkur atas wajah mereka sambil bersujud,
seraya mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb
kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas wajah mereka sambil
menangis dan mereka bertambah khusyu’.” [Al-Isra` : 107-109]
Allah telah mencela orang yang tidak khusyu’ ketika mendengar Firman-Nya. Allah berfirman :
﴿
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ
اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ ﴾
“Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ hati
mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada
mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah
diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang
atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara
mereka adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Hadid : 16]
Bahkan Allah mengancam pemilik hati yang keras dengan firman-Nya :
﴿ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللهِ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ ﴾
Maka
kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah mengeras hatinya untuk
mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. [Az-Zumar : 22]
Nabi
Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu sering berlindung kepada Allah dari
hati yang tidak khusyu’ , sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Imam Muslim rahimahullah :
Bahwa Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu sering berdo’a :
«
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ
لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ
لَهَا »
Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati
yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak
dikabulkan.”
Allah
telah mensyari’atkan berbagai jenis ibadah yang menampakkan kekhusyu’an
hati dan badan. Di antaranya yang terbesar adalah ibadah shalat. Dan
Allah telah memuji orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya dengan
firman-Nya :
﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun : 1-2]
Mujahid berkata : “Dulu
para ‘ulama, apabila salah seorang dari mereka berdiri dalam shalatnya,
maka mereka taku kepada Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla untuk melirikkan
pandangannya, atau menoleh, atau memainkan pasir, atau melakukan
sesuatu, atau mengajak berbicara dirinya tentang urusan dunia kecuali
jika lupa, selama ia berada dalam shalatnya.”
Dalam Shahih Muslim dari shahabat ‘Utsman Radhiyallah ‘anhu dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
«
مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ
وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا
قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ
كُلَّهُ »
“Tidaklah
seorang muslim yang telah tiba kepadanya waktu shalat wajib, kemudian
dia membaikkan wudhu`nya, khusyu’nya, dan ruku’nya kecuali itu menjadi
kaffarah (penebus) atas dosa yang telah lalu, selama tidak dilakukan
dosa besar. dan itu berlaku sepanjang tahun.”
Wahai
para hamba, Untuk tercapainya khusyu’ ada sebab-sebabnya, di antara
sebab yang terbesar : Seorang hamba mengingat akan keagungan Allah ‘Azza
wa Jalla yang dia sedang berdiri di hadapan-Nya, dan bahwasanya Dia
dekat dengannya, melihat, dan mendengarnya, serta mengetahui segala apa
yang terbesit dalam hatinya, sehingga mendorongnya untuk malu kepada-Nya
‘Azza wa Jalla .
Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat : Meletakkan tangan yang satu di atas tangan yang lain (bersedekap), yaitu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada. Makna sikap yang demikian adalah menunjukkan pengrendahan diri dan berkeping-kepingnya hati di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Al-Imam Ahmad rahimahullah telah ditanya tentang maksud dari sikap (bersedekap) tersebut, maka beliau menjawab : “Itu merupakan bentuk pengrendahan diri di hadapan Dzat Yang Maha Perkasa.”
Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat : Menghentikan segala gerakan dan segala yang tidak bermanfaat, serta senantiasa diam.
Oleh karena itu, ketika seorang ‘ulama salaf melihat seorang pria
bermain-main dengan tangannya dalam shalatnya, maka ‘ulama salaf
tersebut berkata, “Kalau seandainya hati orang ini khusyu’, niscaya
akan khusyu’ pula anggota badannya.” Peristiwa ini diriwayatkan juga
secara marfu’ sampai kepada Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebagian
orang apabila dia berdiri menunaikan shalatnya, terkadang mereka masih
bermain-main, menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, atau bermain-main
dengan jenggot dan hidungnya, sampai-sampai tingkah lakunya untuk
mengganggu orang yang di sebelahnya. Ini menunjukkan tidak adanya
khusyu’ dalam shalat.
Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat : Menghadirkan
hati dalam shalat, dan tidak menyibukkan dengan berbagai kesibukan dan
pekerjaan duniawi. Ia konsentrasi penuh menghadap kepada Allah ‘Azza wa
Jalla dengan hatinya. Dan tidak menyibukkan dengan sesuatu selain shalat.
Telah ada larangan untuk menoleh dalam shalat. Dijelaskan oleh para ‘ulama, bahwa menoleh itu ada dua macam :
Pertama, berpalingnya hati dari Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu hati berpaling kepada dunia dan berbagai kesibukkannya, dan sama sekali tidak konsentrasi menghadap Rabbnya.
Dalam Shahih Muslim, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda tentang keutamaan dan pahala wudhu’ :
«
… فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ
وَمَجَّدَهُ بِالَّذِى هُوَ لَهُ أَهْلٌ وَفَرَّغَ قَلْبَهُ للهِ إِلاَّ
انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ »
“Jika
kemudian dia berdiri menunaikan shalat, seraya memuji, menyanjung, dan
memuliakan Allah dengan pujian yang sesuai bagi-Nya, dan hatinya
konsentrasi penuh kepada Allah, maka ia akan terlepas dari dosa-dosa
seperti kondisinya pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.”
Kedua, menoleh dengan pandangan ke kanan atau ke kiri.
Yang dituntunkan dalam syari’at adalah membatasi pandangan hanya pada
tempat sujudnya saja, karena itu merupakan di antara konsekuensi
kekhusyu’an, yang dengannya terputuslah darinya segala pemandangan di
sekitarnya yang bisa menyibukkannya.
Dalam Shahih Al-Bukhari dari shahabat ‘Aisyah Radhiyallah ‘anha : “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dari menoleh/berpaling dalam shalat? Maka beliau menjawab :
« هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ أَحَدِكُمْ »
“Itu adalah curian, yang dicuri oleh syaithan dari shalat kalian.”
Al-Imam
Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari shahabat Al-Harits Al-Asy’ari,
dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam : Bahwa Allah memerintahkan Nabi
Yahya bin Zakariyya ‘alaihis salam untuk menegakkan shalat.
فَإِنَّ اللَّهَ يَنْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ ، فَإِذَا صَلَّيْتُمْ فَلاَ تَلْتَفِتُوا
Sesungguhnya Allah menghadapkan wajah-Nya kepada wajah hamba-Nya selama sang hamba tersebut tidak berpaling/menoleh. Maka jika kalian sedang shalat jangalah berpaling/menoleh.”
Al-Imam Ahmad juga meriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr Radhiyallah ‘anhu, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Allah senantiasa menghadap kepada seorang hamba dalam shalat-Nya selama sang hamba tersebut tidak berpaling/menoleh. Jika sang hamba tersebut berpaling/menoleh, maka Allah pun akan berpaling darinya.”
Wahai
para hamba Allah, Sesungguh ibadah shalat, dalam semua gerakannya
menunjukkan ketundukan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seperti berdiri,
ruku’, sujud, serta bacaan dzikir yang diucapkan dalam masing-masing
gerakan tersebut. Allah berfirman :
﴿ وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ ﴾
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” [Al-Baqarah : 238]
Allah berfirman :
﴿ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ ﴾
“Ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “ [Al-Baqarah : 43]
Karena
ruku’ merupakan bentuk ketundukan kepada Allah dan menghinakan diri di
hadapan-Nya dengan sikap badan. Sungguh orang-orang yang mutakabbir
(sombong) menolak untuk sujud kepada Allah, maka Allah pun mengancam
mereka dengan firman-Nya :
﴿ وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُوا لا يَرْكَعُونَ . وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ ﴾
Dan
apabila dikatakan kepada mereka: “Ruku’lah kalian, niscaya mereka tidak
mau ruku’. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang
mendustakan.” [Al-Mursalat : 48-49]
Di antaranya juga adalah sujud, yang itu merupakan gerakan terbesar yang tampak padanya kehinaan seorang hamba terhadap Rabb-nya ‘Azza wa Jalla.
Yaitu ketika sang hamba menjadikan anggota badan yang paling utama dan
paling mulia serta paling tinggi, menjadi paling rendah di hadapan
Rabb-nya. Sang hamba meletakkan wajahnya ke tanah, diiringi dengan
berkeping-keping hati, merendah, dan kekhusyu’an kepada Allah ‘Azza wa
Jalla. Oleh karena itu balasan bagi seorang mukmin apabila ia melakukan
hal tersebut, maka Allah mendekatkannya kepada-Nya. Nabi Shallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda :
« أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ »
“Sesungguh kondisi terdekat seorang hamba kepada Rabb-nya adalah ketika dia sedang sujud.”
Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya :
﴿ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ ﴾
“dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah).” [Al-’Alaq : 19]
Iblis telah sombong dari sujud,
maka ia menuai laknat dan kehinaan. Demikian kaum musyrikin dan
munafiqin telah sombong dari sujud, maka Allah ‘Azza wa Jalla ancam
mereka bahwa mereka akan Allah haramkan dari sujud kepada-Nya pada hari
pertemuan dengan-Nya, karena mereka tidak mau sujud kepada-Nya di dunia.
Allah Ta’ala berfirman :
﴿
يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا
يَسْتَطِيعُونَ . خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ
كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ ﴾
“Pada
hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka
mereka tidak mampu melakukannya, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk
ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Sesungguhnya mereka dahulu (di
dunia) telah diajak untuk bersujud, dalam keadaan mereka sejahtera.” [Al-Qalam : 42-43]
Al-Imam
Al-Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallah
‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda :
«
يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ
وَمُؤْمِنَةٍ ، وَيَبْقَى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ فِى الدُّنْيَا رِئَاءً
وَسُمْعَةً ، فَيَذْهَبُ لِيَسْجُدَ فَيَعُودُ ظَهْرُهُ طَبَقًا وَاحِدًا »
“Rabb
kita menyingkap betis-Nya, maka sujudlah kepada-Nya seluruh mukmin dan
mukminah, namun tinggal orang-orang yang dulu sujud di dunia karena
riya’ atau sum’ah. Dia berupaya hendak bersujud, namun ternyata
punggungnya hanya satu tulang saja (sehigga tidak bisa digerakkan untuk
sujud).”
Al-Imam Ibnu Katsir berkata : “Hadits
diriwayatkan dalam dua kitab shahih (yakin Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim) dan kitab-kitab lainnya dari banyak jalur periwayatan dan
berbagai macam lafazh, itu adalah hadits yang panjang dan terkenal.”
Di
antara kesempurnaan kekhusyu’an seorang hamba dalam ruku’ dan sujudnya,
bahwa apabila dia menghinakan diri dihadapan Rabbnya dengan ruku’ dan
sujud, hendaknya dia menyifati Rabb-nya ketika itu dengan sifat
Kemuliaan, Kebesaran, Keagungan, dan Ketinggian. Seakan-akan dia berkata
: “Kehinaan dan kerendahan adalah sifatku, sementara Ketinggian, Keagungan, dan Kebesaran adalah sifat-Mu.” Oleh karena itu disyari’atkan kepada hamba dalam ruku’ untuk membaca :
( سبحان ربي العظيم )
“Maha Suci Rabbku yang Maha Agung”
Dan ketika sujud membaca :
( سبحان ربي الأعلى )
“Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi”
Wahai
kaum muslimin, Sesungguhnya merenungkan rahasia-rahasia dan
faidah-faidah shalat adalah di antara yang bisa menjadikan seorang hamba
mudah mengerjakannya dan bisa merasakan lezatnya. Sebagaimana sabda
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَة
“Telah dijadikan kesejukan mataku dalam shalat.”
Allah telah berfirman :
﴿ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ ﴾
“Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,” [Al-Baqarah : 45]
Allah juga berfirman :
﴿ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ ﴾
“Minta tolonglah kalian (kepada Allah) dengan cara sabar dan shalat.” [Al-Baqarah : 45]
Allah juga berfirman :
﴿ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ ﴾
“dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari pada ibadah-ibadah lain). Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-’Ankabut : 45]
Namun
tatkala seorang hamba lalai dari berbagai faidah dan rahasia shalat,
maka shalat menjadi berat atasnya. Apabila dia masuk padanya,
seakan-akan dia berada dalam penjara sampai ia selesai darinya. Oleh
karena itu kebanyakan motivasi pendorongnya untuk masuk dalam shalat,
hanyalah dalam rangka sebagai suatu rutinitas belaka, atau sekadar
membagus-baguskan diri.
Maka
bertaqwalah kalian wahai para hamba Allah dalam shalat-shalat kalian.
Karena sesungguhnya shalat merupakan tiang agama, bisa mencegah dari
berbagai perbuatan keji dan dosa. Dan shalat merupakan wasiat terakhir
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau meninggalkan dunia ini,
sekaligus amalan terakhir yang hilang dari agama. Maka tidak ada agama
lagi setelah hilangnya shalat.
[1] Maksudnya: mengharap agar Allah mengabulkan doanya dan khawatir akan azab-Nya
Sumber: Diterjemahkan dari : http://www.sahab.net/home/index.php?threads_id=218, oleh Fadhilatul ‘Allamah DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, dinukil dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=324, Judul: Khusyu’ Dalam Shalat
1.Jangan Engkau Shalat Kecuali Menghadap Sutrah atau Pembatas
2.Janganlah Shaf Sholat Terputus Oleh Tiang Mesjid
3.Bagaimana Pakaian yang Seharusnya Dikenakan Ketika Waktu Sholat?
4.KOREKSI SHOLAT KITA
Diarsipkan pada: http://qurandansunnah.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar