Agama Islam Telah Sempurna
Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan agama Islam dalam keadaan telah sempurna. Ia tidak membutuhkan penambahan ataupun pengurangan. Namun toh, banyak manusia menciptakan amalan-amalan baru yang disandarkan pada agama hanya karena kebanyakan dari mereka menganggap baik perbuatan tersebut.
Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan agama Islam dalam keadaan telah sempurna. Ia tidak membutuhkan penambahan ataupun pengurangan. Namun toh, banyak manusia menciptakan amalan-amalan baru yang disandarkan pada agama hanya karena kebanyakan dari mereka menganggap baik perbuatan tersebut.
Perjalanan agama Islam yang telah mencapai rentang waktu 14 abad
lebih, sedikit banyak memberikan pengaruh bagi para penganutnya.
Sebagian besar di antara mereka menjalankan agama ini hanya sebatas
seperti apa yang dilakukan para orang tuanya. Yang lebih parah, tidak
sedikit pula yang menjalankan agama ini dalam kungkungan
kelompok-kelompok sesat seperti Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Sufi, dan
sebagainya. Sementara yang menjalankan agama ini di atas pemahaman yang
shahih jumlahnya amatlah sedikit.
Seperti
inilah kondisi umat Islam. As Sunnah (ajaran Nabi) sudah semakin asing
sementara bid’ah kian berkembang. Banyak orang menganggap As Sunnah
sebagai bid’ah dan menganggap bid’ah sebagai As Sunnah. Syi’ar-syi’ar
bid’ah dengan mudahnya dijumpai di sekeliling kita, sebaliknya
syi’ar-syi’ar As Sunnah bagaikan barang langka.
Bid’ah
secara bahasa artinya adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya. Dari sini, maka pengertian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (Al-Baqarah: 117)
Maknanya adalah yang mengadakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya. (Al-I’tisham, 1/49)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Katakanlah: Aku bukanlah rasul yang pertama dari rasul-rasul.” (Al- Ahqaf: 9)
Maksudnya, aku bukanlah orang pertama yang membawa risalah ini dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, (akan tetapi) telah datang rasul-rasul sebelumku.
Dari sini dapat dikatakan bahwa seseorang (dikatakan) berbuat bid’ah artinya dia
membuat suatu metode baru yang belum pernah ada contoh sebelumnya. Dari
pengertian ini pula, maka sesuatu yang baru yang diada-adakan dalam
agama juga dinamakan bid’ah.
Maka
dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu cara
atau jalan yang baru yang diada-adakan di dalam agama, yang menyerupai
syariat dan tujuannya adalah menunjukkan sikap berlebihan dalam
beribadah kepada Allah. (Al-I’tisham, 1/49-51)
Jenis-jenis Bid’ah
Al-Imam Asy-Syathibi t menyebutkan pembagian bid’ah ini menjadi dua, yaitu bid’ah haqiqiyyah dan bid’ah idhafiyyah.
1.
Bid’ah haqiqiyyah adalah bid’ah yang tidak ada dalil syariat yang
menunjukkannya sama sekali, secara global maupun terperinci, tidak dari
Al Qur’an, atau As Sunnah ataupun Ijma’ (kesepakatan ulama).
2.
Bid’ah idhafiyyah adalah bid’ah yang mengandung dua keadaan. Yang
pertama, dalam hal amalan itu termasuk yang disyariatkan, akan tetapi si
pembuat bid’ah memasukkan suatu perkara dari diri mereka kemudian
merubah asal pensyariatannya dengan pengamalannya ini. Kebanyakan bid’ah
yang terjadi adalah dari jenis ini.
Sebagai
contoh adalah dzikir secara berjamaah dengan irama (suara) yang
bersamaan. Pada asalnya dzikir adalah amalan yang disyariatkan, akan
tetapi dengan bentuk atau cara yang seperti ini tidak pernah sama sekali
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , maka ini
dikatakan bid’ah.
Begitu
pula bid’ah perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam . Pada
hakekatnya, mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam adalah
wajib bagi setiap muslim dan tidak sempurna keimanannya sehingga dia
menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam orang yang paling
dicintainya, lebih dari dirinya sendiri, anak-anaknya, ibu bapaknya atau
bahkan seluruh manusia. Namun semua itu dibuktikan dengan mentaatinya,
melaksanakan semua perintahnya, menjauhi larangannya, membenarkan semua
berita yang disampaikannya. Dan sesungguhnya beliau telah melarang
umatnya dari kebid’ahan:
“Dan
hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena
sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap
kebid’ahan adalah sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari Al-’Irbadh bin Sariyah ).
“Barangsiapa mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalan itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah ).
Tidak
ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa para Al-Khulafa Ar-Rasyidin
atau shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang lain
ataupun ulama-ulama Ahlus Sunnah yang menjadi panutan mengamalkan
perayaan maulid ini. Bahkan sesungguhnya bid’ah maulid ini pertama kali
dilakukan oleh sebagian orang dari dinasti Fathimiyyin Al-’Ubaidiyyin
dari golongan sesat Syiah yang mengaku-aku bahwa mereka adalah keturunan
Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam .
Adapula
yang membagi bid’ah ini berdasarkan akibatnya, yaitu menyebabkan
seseorang menjadi kafir, keluar dari Islam dan bid’ah yang tidak
menyebabkan pelakunya kafir.
Adapun
bid’ah yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah mengingkari
perkara agama yang dharuri (perkara yang sangat prinsif dan sangat
penting untuk diketahui dalam islam) yang telah diketahui dan disepakati
oleh kaum muslimin serta mutawatir menurut syariat Islam. Misalnya
menentang hal-hal yang telah dinyatakan wajib oleh syariat (shalat,
puasa dan lain-lain), atau menghalalkan apa yang diharamkan atau
sebaliknya, atau mempunyai keyakinan tentang suatu perkara yang Allah
dan Rasul-Nya serta kitab-Nya bersih dari perkara tersebut.
Bid’ah
yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah bid’ah yang
tidak menimbulkan pendustaan (pengingkaran) terhadap Al Qur’an atau
sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam .
Seperti yang pernah terjadi di masa kekuasaan Bani ‘Umayyah, misalnya
menunda shalat dari waktu yang seharusnya dan mendahulukan khutbah dari
shalat ‘ied. Hal ini ditentang oleh para shahabat yang masih hidup
ketika itu, namun mereka tidak mengkafirkan para penguasa yang ada
ketika itu, bahkan tidak menarik bai’at (sumpah setia) mereka dari para
penguasa itu.
Larangan Berbuat Bid’ah
Dari
keterangan tentang pengertian dan bentuk-bentuk bid’ah ini, maka tidak
samar lagi bahwa perbuatan bid’ah adalah sangat tercela dan mengikutinya
berarti menyimpang dari ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus).
Adapun
larangan berbuat bid’ah senantiasa erat kaitannya dengan perintah
mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan jamaah,
baik yang bersumber dari Al Qur’an maupun hadits-hadits shahih dan atsar
(peninggalan) para ulama salaf (dari kalangan shahabat, tabi’in maupun
tabi’ut tabi’in).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan
berpeganglah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah! Dan janganlah
kalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika
kalian dalam keadaan saling bermusuhan lalu Dia mempersatukan hati-hati
kalian, sehingga akhirnya kalian menjadi bersaudara, dan (ingatlah)
ketika kalian di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian
daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat
(tanda kekuasaan)-Nya mudah-mudahan kalian mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Ikutilah
apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah
kalian mengikuti wali-wali selain Allah, sedikit sekali dari kalian yang
mau mengambil pelajaran.” (Al-A’raf: 3)
“Katakanlah
(hai Muhammad), jika kalian (betul-betul) mencintai Allah, maka
ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni
(dosa-dosa) kalian, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali
‘Imran: 31)
“Kalau kalian mentaatinya (Nabi Muhammad), niscaya kalian akan mendapat petunjuk.” (An-Nur: 54)
“Sesungguhnya
telah ada dalam diri Rasulullah (Muhammad) suri teladan yang baik bagi
orang yang mengharapkan Allah dan (pahala) hari akhirat, dan banyak
mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
“Dan apa yang dibawa oleh Rasul itu kepada kalian, maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
“Maka
tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukminah, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan, akan ada bagi
mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat
dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
“Maka
demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidaklah beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa`: 65)
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Saya
wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan
mentaati (penguasa) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak
belian. Dan sesungguhnya barangsiapa di antara
kalian yang (masih) hidup sepeninggalku, niscaya akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan Sunnah
(jalan atau cara hidup)-ku dan sunnah para Al-Khulafa Ar-Rasyidin yang
mendapat petunjuk, dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan
hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena
sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap
kebid’ahan adalah sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari Al-’Irbadh bin Sariyah z)
“Kemudian
dari pada itu. Maka sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah
Kitab Allah. Dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wassalam . Dan seburuk-buruk perkara adalah yang
diada-adakan. Maka sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah
dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Shahih, HR. Muslim dari Jabir z)
‘Abdullah bin ‘Ukaim menyebutkan bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab pernah mengatakan: “Sesungguhnya
ucapan yang paling benar adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dan
sesungguhnya sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wassalam . Dan seburuk-buruk perkara adalah yang
diada-adakan. Ingatlah, bahwa semua yang diada-adakan adalah bid’ah dan
setiap kebid’ahan adalah sesat dan kesesatan itu (tempatnya) di neraka.” (Al-Lalikai, 1/84)
‘Abdullah bin Mas’ud menyebutkan: “Ikutilah
dan janganlah berbuat bid’ah. Sungguh kamu sekalian telah diberi
kecukupan (dalam agama kalian). Dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Al-Ibanah 1/327-328, Al-Lalikai 1/86)
‘Abdullah bin ‘Umar mengatakan: “Semua bid’ah itu adalah sesat meskipun orang menganggapnya baik.” (Al-Ibanah 1/339, Al-Lalikai 1/92)
Al-Imam
Malik bin Anas mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di
dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam telah mengkhianati
risalah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan:
“Pada
hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama
kalian.” (Al- Maidah: 3)
Maka
apapun yang ketika itu (di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam dan para shahabatnya) bukanlah sebagai ajaran Islam, maka pada
hari ini juga bukan sebagai ajaran Islam.”
Al-Imam
Asy-Syaukani menyebutkan: “Sesungguhnya apabila Allah menyatakan Dia
telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mencabut ruh Nabi-Nya , maka
apakah lagi gunanya segala pemikiran atau pendapat yang diada-adakan
oleh pemiliknya sesudah Allah menyempurnakan agama-Nya ini! Kalau
pendapat mereka itu merupakan bagian dari agama ini menurut keyakinan
mereka, itu artinya mereka menganggap bahwa agama ini belum sempurna
kecuali setelah dilengkapi dengan pemikiran mereka. Hal ini berarti
penentangan terhadap Al Qur’an. Dan seandainya pemikiran tersebut bukan
dari agama, maka apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang
bukan dari ajaran agama (Islam)?!
(Ayat)
ini adalah hujjah yang tegas dan dalil yang pasti. Tidak mungkin mereka
membantahnya sama sekali selama-lamanya. Maka jadikanlah ayat yang
mulia ini senjata pertama yang dipukulkan ke muka ahlul bid’ah dan untuk
mematahkan semua hujjah mereka.” (Al-Qaulul Mufid hal. 38, dinukil dari
Al-Luma’)
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, Judul: Agama Ini Telah Sempurna
Diarsipkan pada: http://qurandansunnah.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar