Pakaian sebagai kebutuhan primer kita sehari-hari sangat layak diperhatikan terlebih ketika kita menghadap Allah di dalam sholat.
Kita diharuskan berpakaian bersih suci dari segala jenis najis dan
menutup aurat. Permasalahan bersih dari najis, tentu kita sudah banyak
yang memahaminya. Tetapi tentang menutup aurat? Seperti bagaimanakah pakaian yang seharusnya dikenakan di waktu sholat?…
Pertanyaan-pertanyaan
inilah yang akan kita kupas pada rubrik ahkam kali ini lewat tulisan
Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam sebuah karya beliau yang berjudul Al
Qaulul Mubin fi Akhtha`il Mushallin (Keterangan yang jelas tentang
kesalahan orang-orang yang sholat) yang diterbitkan oleh penerbit Dar
Ibni Qayim, Arab Saudi hal 17-32. Beliau termasuk murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, pakar hadits abad ini yang karya-karyanya sudah beredar di seluruh dunia dan menjadi rujukan para thalibul ‘ilmi.
Tasyabuh dalam Berpakaian
Sebuah riwayat dalam Shahih Muslim disampaikan dengan sanadnya sampai kepada Abu Utsman An Nahdi, ia berkata, “Umar
pernah mengirim surat kepada kami di Azerbaijan yang isinya: “’Wahai
Utbah bin Farqad! Jabatan itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula
jerih payah ayah dan ibumu. Karena itu kenyangkanlah kaum
muslimin di negeri mereka dengan apa yang mengenyangkan di rumahmu[1],
hindarilah bermewah-mewah, memakai pakaian ahli syirik dan memakai
sutera.“
Dalam Musnad Ali bin Ja’ad ada tambahan, “...pakailah sarung, rida’ (jubah), dan sandal
serta buanglah selop dan celana panjang… pakailah pakaian bapak kalian
Ismail, hindarilah bernikmat-nikmat dan hindarilah pakaian orang-orang
asing.” (Riwayat Ali bin Ja’ad dan Abu Uwanah dengan sanad shahih).
Waki’ dan Hanad meriwayatkan ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di dalam Az Zuhd, beliau berkata, “Pakaian tidak akan serupa hingga hati menjadi serupa.” (Sanadnya dha’if).
Ucapan beliau ini diambil dari sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum itu.” (HSR Abu Dawud, Ahmad, dan selainnya).
Dari
sinilah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan rakyatnya
agar membuang selop dan celana panjang serta memerintahkan mereka
mengenakan pakaian yang biasa dikenakan orang Arab, yaitu dengan tujuan
memlihara kepribadian mereka agar jangan condong kepada orang-orang
‘ajam.
Perbuatan
tasyabuh (dalam hal pakaian) yang dilakukan oleh umat ini kepada
musuh-musuhnya merupakan tanda lemahnya iltizam mereka dan lemahnya
akhlak mereka. Mereka telah ditimpa penyakit bunglon dan bimbang.
Perjalanan mereka pun guncang seperti benda padat yang telah cair, siap
dileburkan dalam berbagai bentuk di setiap waktu. Bagaimana pun juga tasyabuh ini merupakan penyakit yang jelek.
Perumpamaannya seperti seorang yang menisbatkan dirinya kepada orang
lain selain ayahnya. Mereka tidak disukai oleh umat yang melahirkan
mereka, tidak pula diakui umat yang mereka tiru dan cintai.
Mungkin
timbul pertanyaan: Kenapa para ulama tidak berupaya meluruskan
kebiasaan atau adat ini sebelum menjadi perkara besar? Jawabannya:
Sesungguhnya para ulama telah berupaya keras meluruskannya, akan tetapi
dalam berhadapan dengan kenyataan bahwa yang mayoritas mengalahkan yang
minoritas sehingga upaya para ulama tersebut tidak banyak memberikan
hasil. Banyak dari kaum
muslimin merasa pada posisi yang sulit di tengah-tengah adat dan pakaian
kaum musyirikn padahal di antara mereka ada yang dikenal alim. Mereka
inilah yang menjadi contoh jelek bagi kaum muslimin, wal ‘iyadzu billah.[2]
Lebih
parah lagi di antara mereka ada yang meninggalkan shalat hanya karena
khawatir pantalonnya berkerat-kerut hingga merusak penampilan. Hal ini
banyak kita dengan dari mereka. Karena itu di antara upaya menghidangkan
sunnah di hadapan umat, kami bawakan beberapa kriteria pakaian sholat
yang sepatutnya diperhatikan seorang muslim supaya terhindar dari
hal-hal tersebut di atas.
Pakaian dalam Sholat
Kriteria tersebut adalah:
1. Tidak ketat sehingga menggambarkan bentuk aurat.
Mengenakan
pakaian ketat jelas tidak disukai syariat dan kedokteran karena efeknya
berbahaya bagi badan. Bahkan ada yang saking ketatnya hingga membuat
pemakainya tidak dapat sujud. Bila karena mengenakannya seseorang
meninggalkan sholat, maka jelas pakaian semacam ini haram. Dan memang
kenyataan menunjjukkan bahwa mayoritas orang yang mengenakan pakaian
semacam ini adalah orang-orang yang tidak sholat.
Demikian
pula banyak di antara kaum muslimin di jaman ini yang menunaikan sholat
dengan pakaian yang membentuk kedua kemaluan atau membentuk salah
satunya. Al Hafizh Ibnu Hajar
meceritakan sebuah riwayat dari Asyhab tentang seseorang yang sholat
hanya dengan menggunakan celana panjang (tanpa ditutupi sarung atau
jubah atau gamis), beliau berkata, “Hendaknya ia mengulangi sholatnya ketika itu juga kecuali bila celananya tebal.”
Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah memakruhkan hal itu. Padahal saat
itu keadaan celana panjang mereka sangat longgar, lalu bagaimana dengan Celana Panjang (pantaloon) yang sangat sempit?!
Syaikh Al Albani berkata, “Celana pantalon mengandung dua cela.
Pertama,
orang yang menggunakannya berarti bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada
mulanya kaum muslimin mengenakan celana panjang yang luas dan longgar
yang sekarang masih digunakan oleh sebagian orang di Suriah dan Libanon.
Mereka sama sekali tidak mengenal celana panjang (pantaloon),
kecuali setelah mereka ditaklukkan dan dijajah. Kemudian setelah kaum
penjajah takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan jejak yang
buruk, lalu dengan kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan
peninggalan mereka tadi.
Kedua,
celana panjang (pantaloon) dapat membentuk aurat, sedangkan aurat
laki-laki adalah dari lutut hingga pusar. Ketika sholat seorang muslim
seharusnya amat jauh dari keadaan bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi
mereka yang menggunakan celana pantalon, anda akan melihat kedua belahan pantatnya terbentuk, bahkan dapat membentuk apa yang ada di antara kedua pantatnya tersebut. Bagaimana muungkin orang yang dalam keadaannya semacam ini dikatakan sholat dan berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin?!
Anehnya
banyak di antara pemuda muslim yang mengingkari wanita-wanita
berpakaian ketat atau sempit karena membentuk bodinya sementara mereka
sendiri lupa akan diri mereka. Mereka sendiri terjatuh pada hal yang
diingkari, sebab tidak ada perbedaan antara wanita yang berpakaian
sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang memakai celana pantalon
yang juga membentuk pantatnya. Pantat pria dan pantat wanita keduanya
sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pemuda untuk segera
menyadari musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang
dipelihara Allah, namun mereka sedikit[3].
Adapun
bila celana pantalon tersebut luas, maka sah sholat dengannya. Namun
akan lebih utama bila di atasnya ada gamis yang menutup antara pusar
hingga lutut atau lebih rendah hingga pertengahan betis atau mata kaki.
Yang demikian lebih sempurna dalam menutup aurat[4]. (Al Fatawa 1/69
oleh Syaikh bin Baz).
2. Tidak tipis dan tidak transparan
Sebagaimana
makruh (dibenci)nya sholat dengan pakaian ketat yang menggambarkan
bentuk aurat, maka demikian pula tidak boleh sholat dengan pakaian yang
tipis yang tampak secara transparan apa yang ada di baliknya seperti
pakaian sebagian orang yang gila mode di jaman ini, mereka poles apa
yang dianggap aib oleh syariat hingga tampak indah. Mereka adalah
tawanan-tawanan syahwat, budak-budak adat dan mereka mempunyai
propagandis yang menyerukan propaganda-propaganda, menawarkan mode-mode
baru, “Inilah yang terbaru, inilah yang trendi, tidak kolot dan
kuno[5].”
Termasuk
dalam bab ini adalah sholat dengan mengenakan pakaian tidur “piyama”.
Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Bukhari di dalam Shohihnya dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pernah
ada seseorang yang datang menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu bertanya tentang sholat dengan mengenakan satu pakaian. Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bukankah setiap kalian mampu
mendapatkan dua pakaian!?”
Kemudian seseorang bertanya kepada Umar, lalu Umar menjawab, “Bila
Allah memberikan kelapangan seseorang hendaknya ia sholat dengan sarung
dan jubah, atau sarung dan gamis, atau sarung dan mantel (jubah luar),
atau celana panjang dan gamis atau celana panjang dan jubah, atau celana
panjang dan mantel, atau celana pendek dan mantel, atau celana pendek
dan gamis (yang menutupi sampai bawah lutut, red).” (Muttafaqun ‘alaihi).
Abdullah
bin Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melihat Nafi’ sholat sendiri dengan
mengenakan satu pakaian. Lalu beliau berkata padanya, “Bukankah saya memberimu dua pakaian?” Nafi’ menjawab, “Benar.” Ibnu Umar bertanya pula, “Apakah
kamu pergi ke pasar dengan mengenakan satu pakaian?” Nafi’ menjawab,
“Tidak.” Ibnu Umar berkata, “Allah yang lebih berhak bagimu berhias
untukNya.“[6]
Demikian pula orang yang sholat dengan pakaian tidur, tentunya ia malu pergi ke pasar dengannya karena tipis dan transparan.
Ibnu Abdil Barr dalam At Tahmid 6/369 mengatakan, “Sesungguuhnya
ahli ilmu menganggap mustahab bagi seseorang yang mampu dalam pakaian
agar berhias dengan pakaian, minyak wangi dan siwaknya, ketika sholat
sesuai dengan kemampuannya.”
Para fuqaha dalam membahas syarat-syarat sahnya sholat yaitu pada pembahasan “Menutup
Aurat”, mereka mengatakan, “Syarat bagi pakaian penutup adalah tebal,
tidaklah sah bila tipis dan mengesankan warna kulit.”
Semua
ini berlaku bagi pria dan wanita, baik pada sholat sendiri ataupun
sholat berjamaah. Dengan demikian siapa saja yang terbuka auratnya
padahal ia mampu menutupnya, maka sholatnya tidak sah walaupun sholat
sendiri di tempat yang gelap, karena sudah merupakan ijma’ akan wajibnya
menutup aurat di dalam sholat.
Allah ta’ala berfirman,
يَا بَنِيْْ آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al A’raf: 31).
Yang
dimaksud dengan zinah (perhiasan) pada ayat di atas yaitu pakaian,
sedangkan yang dimaksud dengan masjid yaitu sholat. Artinya, “Pakailah pakaian yang menutup aurat kalian ketika sholat.“
Ucapan
Umar radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan jenis-jenis pakaian yang
menutup atau yang banyak dipakai tersebut merupakan dalil akan wajibnya
sholat dengan pakaian yang menutup aurat. Beliau menggabungkan yang satu
dengan yang lain bukan berarti pembatasan, akan tetapi yang satu bisa
mengganti kedudukan yang lain. Adapun mengenakan satu pakaian hanya
boleh dilakukan dalam keadaan yang mendesak atau terpaksa. Di sana juga
terdapat faidah bahwa sholat dengan dua pakaian itu lebih afdhol
daripada dengan satu pakaian. Dan Al Qodhi Iyadh telah menegaskan ijma’
dalam hal ini.[7]
Berkata Imam Syafi’i rahimahullah, “Bila seseorang sholat dengan gamis yang transparan[8], maka sholatnya tidak sah.”[9]
Beliau juga berkata, “Yang
lebih parah dalam hal ini adalah kaum wanita bila sholat dengan daster
(pakaian wanita di rumah) dan kudung, sedangkan daster menggambarkan
bentuk tubuhnya. Saya lebih suka wanita tersebut sholat dengan
mengenakan jilbab yang lapang di atas kudung dan dasternya sehingga
tubuh tidak terbentuk dengan daster tadi.”[10]
Untuk
itu hendaknya kaum wanita tidak sholat dengan pakaian yang transparan
seperti pakaian dari nilon dan sejenisnya, karena bahan jenis ini
walaupun luas dan menetup seluruh tubuh namun selalu terbuka atau
membentuk. Dalilnya adalah sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
سَيَكُوْنُ فِي آخِرِ أُمَّتِيْ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ…
“Akan ada kelak pada umatku wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang…” (HR Malik dan Muslim).
Ibnu Abdil Barr berkata, “Yang
dimaksud oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wanita
yang mengenakan pakaian tipis atau mini yang membentuk tubuh dan tidak
menutup auratnya. Mereka disebut berpakaian tetapi pada hakekatnya
telanjang.”[11]
Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah sebuah riwayat sebagai berikut, “Suatu
hari Al Mundzir bin Az Zubair datang dari Iraq, lalu ia mengirim
oleh-oleh kepada Asma` pakaian tipis dan antik dari Quhistan dekat
Khurasan, setelah ia mengalami kebutaan. Ia pun lantas meraba pakaian
tersebut dengan tangannya kemudian berkata, “Ah! Kembalikan pakaian
ini.” Pengantarnya merasa tidak enak dan berkata, “Wahai ibu! Sungguh
pakaian ini tidak transparan.” Asma` berkata, “Pakaian ini, walaupun tidak transparan akan tetapi membentuk.“[12]
Kata As Safarini dalam Gidza`ul Albab, “Bila
pakaian itu tipis hingga tampak aurat si pemakainya, baik lelaki maupun
wanita, maka dilarang dan haram mengenakannya. Sebab secara syariat
dianggap tidak menutup aurat sebagaimana diperintahkan. Hal ini tidak
diperselisihkan lagi.”[13]
Kata Imam As Syaukani dalam Nailul Author 2/115, “Wajib bagi wanita menutup badannya dengan pakaian yang tidak membentuk tubuh, inilah syarat dalam menutup aurat.”
Sebagian fuqoha menyebutkan, “Pakaian
yang transparan pada sekilas pandangan, keberadaannya seperti tidak
ada. Karena itu tidak ada sholat bagi yang mengenakannya (untuk sholat).“
Sebagian
yang lain menegaskan bahwa pakaian para salaf tidak ada yang terbuat
dari bahan yang membentuk aurat karena tipis, sempit atau yang lain.
3. Tidak membuka aurat
Ada beberapa golongan yang terkadang sholat dengan aurat terbuka, di antaranya:
a.
Mereka yang mengenakan celana panjang pantalon yang membentuk aurat
atau mengesankannya atau transparan dengan kemeja pendek. Ketika ruku’
dan sujud, kemeja tertarik ke atas sedang celana tertarik ke bawah.
Dengan demikian punggung dan sebagian auratnya tampak. Hal ini
kadangkala terjadi bila tidak bisa dikatakan sering. Perhatikanlah,
aurat mughalladhah (alat vital)nya tampak ketika ia ruku’ atau sujud di
hadapan Rabbnya. Na’udzubillah! Kita berlindung kepada Allah dari
kebodohan, sebab bila dalam keadaan demikian sedang aurat terbuka, jelas
mengantarkan pada batalnya sholat. Lantas siapa kambing hitamnya? Celana panjang (pantaloon) dan memang celana pantalon asalnya dari negeri kafir.[14]
Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin dalam menanggapi beberapa kesalahan
yang dilakukan sebagian kaum muslimin di dalam sholat, beliau berkata, “Banyak
di antara manunsia tidak lagi mengenakan pakaian yang luas dan lapang,
mereka hanya mengenakan celana panjang dan kemeja pendek yang menutupi
dada dan punggung. Bila mereka ruku’, kemeja tertarik hingga tampak
sebagian punggung dan ekornya yang merupakan aurat dan dilihat oleh
orang yang ada di belakangnya. Padahal terbukanya aurat merupakan sebab batalnya sholat.[15]
b. Wanita yang tidak menjaga pakaian dan tidak memperhatikan menutup seluruh badan, sedang ia berada di hadapan Robbnya, baik karena bodoh, malas atau acuh tak acuh. Padahal sudah menjadi kesepakatan bahwa pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk sholat adalah baju panjang dan kerudung.[16]
Kadang-kadang
seorang wanita sudah memulai sholat padahal sebagian rambut atau lengan
atau betisnya masih terbuka. Maka ketika itu –menurut jumhur ahli ilmu-
wajib ia mengulangi sholatnya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Sayidah Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَة حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima sholat wanita yang telah haid (baligh) kecuali dengan kerudung.” (HSR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lain).
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya sebagai berikut, “Pakaian apa yang pantas dikenakan wanita untuk sholat?” Beliau menjawab, “Kerudung dan baju panjang yang longgar sampai menutup kedua telapak kaki.“[17] (Riwayat Malik dan Baihaqi dengan sanad jayyid).
Imam Ahmad juga pernah ditanya, “Berapa
banyak pakaian yang dikenakan wanita untuk sholat?” Beliau menjawab,
“Paling sedikit baju rumah dan kudung dengan menutup kedua kakinya dan
hendaknya baju itu lapang dan menuutup kedua kakinya.”
Imam Syafi’i berkata, “Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya di dalam sholat kecuali dua telapak tangan dan mukanya.”
Beliau juga berkata, “Seluruh
tubuh wanita adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajah. Telapak
kaki pun termasuk aurat. Apabila di tengah sholat tersingkap apa yang
ada antara pusar dan lutut bagi pria sedang bagi wanita tersingkap
sedikit dari rambut atau badan atau yang mana saja dari anggota tubuhnya
selain yang dua tadi dan pergelangan –baik tahu atau tidak- maka mereka
harus mengulang sholatnya. Kecuali bila tersingkap oleh angin atau
karena jatuh lalu segera mengembalikannya tanpa membiarkan walau
sejenak. Namun bila ia membiarkan sejenak walau seukuran waktu untuk
mengembalikan, maka ia tetap harus mengulanginya.”[18] Oleh karena itu wajib bagi wanita muslimah memperhatikan pakaian mereka di dalam sholat, lebih-lebih di luar sholat.
Banyak
juga dari mereka yang sangat memperhatikan bagian atas badan yaitu
kepala. Mereka menutup rambut dan pangkal leher tapi tidak memperhatikan
anggota badan bagian bawah dengan kaos kaki yang sewarna dengan kulit
sehingga tampak semakin indah. Terkadang ada di antara mereka yang
sholat dengan penampilan semacam ini. Hal ini tidak boleh. Wajib bagi
mereka untuk segera menyempurnakan hijab sebagaimana yang diperintahkan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Teladanilah wanita-wanita Muhajirin
ketika turun perintah Allah agar mengenakan kerudung, mereka segera
merobek korden-korden yang mereka punyai lalu memakainya sebagai
kerudung. Tetapi sekarang, kita tidak perlu menyuruh mereka merobek
sesuatu, cukup kita perintahkan mereka memanjangkan dan meluaskannya
hingga menjadi pakaian yang benar-benar menutup.[19]
Mengingat telah meluasnya pemakaian jilbab pendek di kalangan muslimah
di beberapa negeri yang berpenduduk muslim, maka saya memandang penting
untuk menjelaskan secara ringkas bahwa kaki dan betis wanita adalah
aurat. Ucapan saya wabillahit taufiq adalah sebagai berikut:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
… وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ …
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (An Nur: 31).
Sisi
pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita juga wajib menutup kaki,
sebab bila dikatakan tidak, maka alangkah mudahnya seseorang menampakkan
perhiasan kakinya, yaitu gelang kaki sehingga tidak perlu ia memukulkan
kaki untuk itu. Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan karena
menampakkannya merupakan penyelisihan terhadap syariat dan penyelisihan
yang semacam ini tidak mungkin terjadi di jaman risalah. Karena itu
seseorang dari mereka melakukan tipu daya dengan cara memukulkan kakinya
agar kaum pria mengetahui perhiasan yang disembunyikan. Maka Allah pun
melarang mereka dari hal itu.
Sebagai penguat dari penjelasan saya, Ibnu Hazm berkata, “Ini adalah nash yang menunjukkan bahwa kaki dan betis termasuk aurat yang mesti disembunyikan dan tidak halal menampakkannya.”[20]
Adapun penguat dari sunnah adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ
يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري و زاد غيره:
فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَكَيْفَ يَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ؟)
قَالَ: يُرْخِيْنَ شِبْرًا. قَالَتْ: إِذَنْ تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ.
قَالَ: فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةٍ:
رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لأُِمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ
شِبْرًا ثُمَّ اسْتَزَدْنَهُ فَزَادَهُنَّ شِبْرًا فَكُنَّ يُرْسِلْنَ
إِلَيْنَا فَنَذْرَعُ لَهُنَّ ذِرَاعًا. (رواه الترمذي و أبو داود و ابن
ماجه و هو صحيح, انظر سلسلة الأحاديث الصحيحة رقم 460)
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa
yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan
memandangnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha
bertanya, “Apa yang harus diperbuat oleh wanita terhadap ujung pakaian
mereka?” Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Turunkan
sejengkal.” Ummu Salamah berkata, “Bila demikian kakinya akan
tersingkap.” Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Turunkan sehasta, jangan lebih dari itu.” Dalam riwayat lain:
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan pada
ummahatul mu`minin (untuk menambah) sejengkal, dan mereka minta tambah,
maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkannya”. (HSR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah) (Lihat Ash Shohihah 60).
Faidah dari riwayat ini adalah bahwa yang dibolehkan adalah sekitar satu hasta, yaitu dua jengkal bagi tangan ukuran sedang.
Imam Al Baihaqi berkata, “Riwayat ini merupakan dalil tentang wajibnya menutup kedua punggung telapak kaki bagi wanita.”[21]
Ucapan
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan” dan
pertanyaan Ummu Salamah: “Apa yang harus diperbuat wanita terhadap ujung
pakaiannya?” setelah ia mendengar ancaman bagi orang yang melabuhkan
pakaiannya, semua ini mengandung sanggahan terhadap anggapan bahwa
hadits-hadits yang mutlak (bersifat umum) mengenai ancaman bagi pelaku
isbal (melabuhkan pakaian sampai di bawah mata kaki) itu ditaqyid
(dibatasi kemutlakannya) oleh hadits lain yang tegas yaitu bagi yang
melakukannya karena sombong.
Anggapan
ini terbantah karena sekiranya benar demikian, maka pertanyaan Ummu
Salamah yang meminta kejelasan hukum bagi wanita itu tidak ada maknanya.
Akan tetapi Ummu Salamah memahami bahwa ancaman itu bersifat mutlak,
berlaku bagi orang yang sombong dan yang tidak. Karena pemahaman beliau
yang demikian, maka beliau menanyakan kejelasan hukumnya bagi wanita
sebab wanita dituntut untuk berlaku isbal guna menutup aurat yaitu kaki.
Dengan demikian jelas bagi beliau bahwa ancaman itu tidak berlaku bagi
wanita, tetapi khusus bagi lelaki dan hanya dalam pengertian ini.
‘Iyadl
rohimahullah telah menukil adanya ijma’ bahwa larangan itu hanya
berlaku bagi kaum pria, tidak bagi kaum wanita karena adanya taqrir Nabi
shollallahu ‘alaihi wa sallam atas pemahaman Ummu Salamah. Larangan
yang dimaksud adalah larangan isbal.
Walhasil, bagi pria ada dua keadaan:
1. Keadaan yang mustahab yaitu memendekkan sarung hingga pertengahan betis.
2. Keadaan jawaz (boleh) yaitu melebihkannya hingga di atas mata kaki.
Adapun bagi wanita juga ada dua keadaan:
1. Keadaan mustahab yaitu melebihkan sekitar satu jengkal dari keadaan jawaz bagi pria.
2. Keadaan jawaz yaitu melebihkannya sekitar satu hasta.[22]
Sunnah inilah yang dijalankan oleh wanita-wanita di jaman Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dan jaman-jaman selanjutnya.
Dari
sinilah kaum muslimin di masa-masa awal menetapkan syarat bagi ahli
dzimmah harus tersingkap betis dan kakinya supaya tidak serupa dengan
wanita-wanita muslimah. Hal ini sebagaimana diterangkan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim.
Termasuk
pula orang-orang yang terjerumus dalam kesalahan ini yaitu memulai
sholat sedang aurat tersingkap adalah orang tua yang memakaikan anak
mereka celana pendek dan menyertakannya sholat di masjid. Padahal
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوْهُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعٍ
“Perintahkan mereka sholat ketika mereka berumur tujuh tahun.” (HSR. Ibnu Khuzaimah, Hakim, Baihaqi, dan yang lain).
Sedang
tidak diragukan lagi bahwa perintah ini mencakup juga perintah
menunaikan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Perhatikanlah, jangan
sampai anda termasuk orang-orang yang lalai.
Demikianlah
beberapa perkara yang harus kita perhatikan dalam hal pakaian dalam
sholat berikut beberapa kesalahan yang terjadi. Namun masih ada beberapa
hal yang berkaitan dengan syarat-syarat pakaian dalam sholat di
antaranya tidak musbil, tidak bergambar, dan bukan pakaian yang dicelup
merah. Wallahu a’lam.
Diterjemahkan oleh Muhammad Rusli dengan sedikit tambahan
——————————————————————————–
[1]
Abu Awanah di dalam Shahihnya menerangkan sisi lain dari sebab ucapan
Umar ini, yaitu mengatakan di permulaannya, “Utbah bin Farqad pernah
mengutus seorang budak untuk membawa kiriman kepada Umar yang berisi
berbagai macam makanan yang di atasnya terdapat permadani dari bulu.
Ketika Umar melihatnya beliau berkata, “Apakah kaum muslimin kenyang
dengan makanan ini di negeri mereka?” Budak itu menjawab, “Tidak.” Umar
berkata, “Saya tidak suka ini.” Lalu beliau menulis surat kepadanya…
[2] Syaikh Abu Bakar Al Jaza`iri dalam kitabnya At Tadkhin memberi rincian sebagai berikut, “Di
antara adat-adat rusak itu ialah memelihara anjing di dalam rumah,
wanita muslimah membuka wajah mereka, kaum pria mencukur jenggot,
mengenakan celana pantalon ketat tanpa gamis atau sarung di atasnya,
membuka kepala, beramah tamah dengan ahli fasik dan munafik, tidak
beramar ma’ruf nahi munkar dengan slogan ‘kebebasan berfikir’ dan ‘hak
asasi manusia’.“
[3]
Dari kaset rekaman beliau ketika menjawab pertanyaan Abu Ishaq Al
Huwaini Al Mishri, direkam di Urdun pada bulan Muharram tahun 1407 H,
lihat tulisan beliau: Syarat keempat dari syarat hijab wanita muslimah,
yaitu agar luas atau longgar dan tidak sempit, yaitu dalam kitab Hijab
Mar`atil Muslimah. Maka kesalahan yang disebut di atas terkena pada pria
dan wanita Namun pada pria hal itu lebih tampak, karena mayoritas kaum
muslimin di jaman ini sholat menggunakan pantalon. Bahkan kebanyakan
mereka sholat dengan pantalon yang sempit, laa haula walaa quwwata illa
billah. Padahal Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
seorang sholat dengan mengenakan celana panjang tanpa ditutupi jubah
sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud dan Hakim dengan sanad hasan. Hal
ini diterangkan dalam Shahih Jami’ush Shoghir 6830.
[4]
Dengan ini pula Lajnah Ad Daimah menjawab pertanyaan seputar hukum
sholat dengan celana panjang (pantaloon) pada Idaratul Buhuts no 2003
sebagai berikut, “Bila pakaian (celana pantalon) tersebut longgar
hingga tidak menggambarkan aurat dan tebal hingga tidak transparan, maka
boleh sholat dengannya. Adapun bila transparan, tampak semua yang ada
di baliknya, maka batal sholat dengannya. Sedang bila pakaian tersebut
hanya sekedar membentuk aurat maka makruh sholat dengannya kecuali bila
tidak ada yang lain…” Wabillahit taufiq.
[5] Fatawa Rasyid Ridha 5/2056
[6] Riwayat Thohawi dalam Syarah Ma’anil Atsar
[7] Fathul Bari 1/476, Majmu’ 3/181, Nailul Author 2/78 & 84
[8] As Sa’aty dalam Fathul Rabbani 18/236 berkata, “Gamis
adalah pakaian berjahit mempunyai dua lengan dan saku, yaitu yang hari
ini dikenal dengan jalabiyah, merupakan pakaian yang lebar menutup
seluruh badan dari leher ke mata kaki atau ke pertengahan betis. Dahulu
pakaian ini digunakan sebagai pakaian dalam.”
[9] Al Umm 1/78
[10] Al Umm 1/78
[11] Tanwirul Hawalik 3/103
[12] Riwayat Ibnu Sa’ad dalam At Thobaqotul Kubra 8/184 dengan sanad shahih.
[13] Ad Dinul Kholish 6/180
[14] Tanbihat Hammah ‘ala malabisil muslimin al-yaum, hal. 28
[15] Majalah Al Mujtama’ no. 855
[16]
Bidayatul Mujtahid 1/115, Al Mughni 1/603, Al Majmu’ 3/171 dan I’anatut
Tholibin 1/285. Maksudnya menutup badan dan kepalanya. Jika pakaiannya
lapang sehingga dengan sisanya ia menutup kepala, maka hal ini boleh.
Disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya 1/483 secara mu’allaq dari
Ikrima, ia berkata, “Sekiranya seluruh tubuh sudah tertutup dengan satu pakaian, niscaya hal itu sudah mencukupi.“
[17] Masail Ibrohim bin Hanif lil Imam Ahmad no. 286
[18] Al Umm 1/77
[19] Hijab Al Mar`ah Al Muslimah hal. 61.
[20] Al Muhalla 3/216
[21] Tirmidzi berkata dalam Al Jami’ 4/224, “Kandungan hadits ini yaitu adanya rukhshoh bagi wanita untuk melabuhkan kain sarung karena hal itu lebih sempurna dalam menutup.”
[22] Fathul Bari 10/259
Dikutip dari : http:// darussalaf.or.id offline, Penulis: Syaikh Masyhur Hasan Salman Judul: Pakaian ketika Sholat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar