Bunuh Diri Adalah Haram Secara Mutlak
Fatma Ulama Tentang Larangan Bom Bunuh Diri
Membantah Syubhat yang Membolehkan Bom Bunuh Diri
Jihad
di dalam Islam merupakan salah satu amalan mulia, bahkan memiliki
kedudukan paling tinggi. Sebab, dengan amalan ini seorang muslim harus
rela mengorbankan segala yang dimiliki berupa harta, jiwa, tenaga,
waktu, dan segala kesenangan dunia untuk menggapai keridhaan Allah Azza
wa Jalla. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Meraka berperang di jalan Allah.
Lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar
dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah
dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang
besar.” (At-Taubah:111)
Karena
amalan jihad merupakan salah satu jenis ibadah yang disyariatkan oleh
Allah Azza wa Jalla, maka di dalam mengamalkannya pun harus pula
memenuhi kriteria diterimanya suatu amalan. Yaitu ikhlas dalam beramal
dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika
salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan
tersebut tertolak. Hal ini telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari
radhyialllahu ‘anhu:
Ada
seorang Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu
bertanya: Ada seseorang yang berperang karena mengharapkan ghanimah
(harta rampasan perang, red), ada seseorang yang berperang agar namanya
disebut-sebut, dan ada seseorang yang berperang agar mendapatkan
sanjungan, manakah yang disebut fisabilillah? Maka jawab Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam:
من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله
“Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah itulah yang tinggi, maka itulah fisabilillah.” (Muttafaqun alaihi)
Telah
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Dzabyan,
ia berkata: Aku telah mendengar Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu
bercerita:
Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus kami (memerangi
kaum musyrikin) ke daerah Huraqah. Lalu kami pun memerangi mereka di
pagi hari secara tiba-tiba. Akhirnya, kami dapat mengalahkan mereka.
Kemudian aku bersama seseorang dari kalangan Anshar mengejar salah
seorang dari mereka. Ketika kami mendapatkan dan hendak membunuhnya, dia
berkata: Laa ilaaha illallah. Maka Anshari tersebut menahan pedangnya,
namun aku (tetap) membunuhnya dengan tombakku hingga mati. Maka ketika
kami kembali, sampailah (berita ini) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, lalu beliau berkata: “Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallah?” Aku menjawab: “Dia hanya menjadikannya sebagai perlindungan (bukan dari hatinya).”
Maka beliau terus menerus mengulangi ucapannya sehingga aku
berkeinginan bahwa aku tidak masuk Islam kecuali hari itu (karena beliau
merasa besar kesalahan yang dilakukannya sehingga dengan masuk Islam
bisa menghapuskan kesalahan yang terdahulu).
Riwayat
ini menunjukkan bahwa di dalam mengamalkan agama Allah Subhanahu wa
ta’ala, tidak cukup hanya dengan semangat belaka, namun juga harus
dibarengi dengan ilmu agar di dalam mengamalkan suatu amalan dilakukan
di atas bashirah (ilmu).
Bunuh Diri Adalah Haram Secara Mutlak
Riwayat-riwayat
yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan
bahwa membunuh diri sendiri dengaN menggunakan alat apapun merupakan
salah satu dosa yang sangat besar di sisi Allah Azza wa Jalla. Berikut
ini hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan tersebut:
-
Diantaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (5778) dan Muslim
(158) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Bersabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
((
من قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يتوجأ بها في بطنه في نار جهنم خالدا
مخلدا فيها أبدا ومن شرب سما فقتل تفسه فهو يتحساه في نار جهنم خالدا مخلدا
فيها أبدا ومن تردى من جبل فقتل نفسه فهو يتردى في نار جهنم خالدا مخلدا
فيها أبدا ))
“Barangsiapa
yang bunuh diri dengan besi di tangannya, dia (akan) menikam perutnya
di dalam neraka jahannam yang kekal (nantinya), (dan) dikekalkan di
dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun lalu bunuh
diri dengannya, maka dia (akan) meminumnya perlahan-lahan di dalam
neraka jahannam yang kekal, (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.
Dan barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas
gunung, dia akan jatuh ke dalam neraka jahannam yang kekal (dan)
dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.”
-
Diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin Dhahhak
radhyiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
(( ومن قتل نفسه بشيئ في الدنيا عذب به يوم القيامة ))
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia disiksa dengan (alat tersebut) pada hari kiamat.”
-
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pada perang Khaibar. Kemudian beliau berkata pada seseorang yang
mengaku dirinya muslim: “Orang ini dari penduduk neraka.” Ketika terjadi
pertempuran, orang tersebut bertempur dengan sengitnya lalu terluka.
Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, yang engkau katakan bahwa
dia dari penduduk neraka, sesungguhnya pada hari ini dia ikut bertempur
dengan sengitnya, dan dia telah mati.” Jawab Rasulullah shallallajhu
‘alaihi wasallam: “(Ia) masuk neraka.” Hampir saja sebagian manusia ragu
(dengan ucapan tersebut). Ketika mereka dalam keadaan demikian, lalu
mereka dikabari bahwa dia belum mati akan tetapi terluka dengan luka
yang sangat parah. Ketika malam hari dia tidak sabar lagi dan bunuh
diri. Lalu dikabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang
hal tersebut, lalu beliau berkata: “Allahu Akbar, aku bersaksi bahwa
sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Beliau memerintahkan Bilal untuk berteriak di hadapan manusia:
(( إنه لا يدخل الجنة إلا نفس مسلمة وإن الله ليؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر ))
“Sesungguhnya
tidaklah ada yang masuk surga kecuali jiwa yang muslim, dan
sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan laki-laki yang fajir
(berbuat dosa ).”
Dalil-dali
di atas sangat jelas mengharamkan bunuh diri dengan segala macam
jenisnya dan dengan cara apapun. Inilah yang difahami oleh para ulama
rahimahullah. Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu:
“Intihar adalah bunuh diri secara sengaja dengan sebab apapun, dan ini diharamkan dan termasuk dosa yang paling besar.” (Fatawa Islamiyyah, 4/519).
Fatma Ulama Tentang Bom Bunuh Diri
Para
aktivis pergerakan dari kalangan hizbiyyun yang melakukan amalan hanya
bermodal semangat dan tidak berusaha memecahkan suatu permasalahan
secara ilmiah berdasarkan pandangan yang shahih dari Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta tidak menjadikan
ulama rabbani sebagai rujukan, menyebabkan mereka melakukan pembelaan
terhadap amalan yang batil ini.
Kalangan
“ulama” mereka pun berusaha mendukung dengan cara menempatkan dalil
namun tidak pada tempatnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka merendahkan
fatwa ulama yang melarang amalan ini dengan menyatakan: “Mereka adalah
ulama yang tidak mengerti waqi’ (kondisi).” “Mereka hanya pantas mengurusi masalah haid dan nifas saja. Adapun masalah jihad, maka ada ulama tersendiri.” Masya Allah!
Ternyata
yang mereka anggap sebagai ulama adalah para “ulama gadungan” yang
memiliki pemikiran Khawarij, Quthbiyah, dan Ikhwani seperti Salman
Al-Audah, Sulaiman Al-Ulwan, Ibrahim Ad-Duwaisy, Sa’id bin Musfir, Yusuf
Al-Qardhawi, dan yang semisal mereka. Bahkan di antara mereka ada yang
menukilkan ijma’ para ulama tentang bolehnya hal tersebut. Bukankah ini
penukilan yang aneh? Bagaimana mungkin terjadi ijma’ dalam keadaan para
ulama besar mengingkari perbuatan ini, seperti Al-Allamah Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Abdul Azis Alus Syaikh, Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, dan yang lainnya rahimahumullah ta’ala.
(Lihat Tahrirul Maqaal Fi Annahu Intihar Wa Laisa Isytisyhaad, Abu Muhammad Nashir As-Salafi, 17)
Berikut ini adalah fatwa dari Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta’ala:
“Adapun
yang dilakukan oleh sebagian orang berupa intihar (melakukan bom bunuh
diri) dengan cara membawa peledak (bom) kepada sekumpulan orang-orang
kafir, kemudian meledakkannya setelah berada di tengah-tengah mereka,
sesungguhnya ini termasuk bunuh diri, wal ‘iyadzu billah. Barangsiapa
yang membunuh dirinya, maka dia kekal dan dikekalkan dalam neraka
Jahannam selamanya sebagaimana yang terdapat dalam hadits dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, bunuh diri tidak
memberi kemaslahatan bagi Islam karena ketika dia bunuh diri dan
membunuh sepuluh atau seratus atau dua ratus (orang kafir), tidaklah
memberi manfaat kepada Islam dengan perbuatan tersebut di mana manusia
tidak masuk ke dalam Islam. Berbeda dengan kisah anak muda tersebut
(maksudnya adalah kisah Ashabul Ukhdud yang panjang, lihat haditsnya
dalam Riyadhus Shalihin hadits no. 30 bab: Sabar, pen).
Dan
boleh jadi, yang terjadi musuh justru akan semakin keras perlawanannya
dan menjadikan darah mereka mendidih. Sehingga semakin banyaklah kaum
muslimin yang terbunuh sebagaimana yang ditemukan dari perlakuan Yahudi
terhadap penduduk Palestina. Jika mati salah seorang dari mereka dengan
sebab peledakan ini dan terbunuh enam, tujuh, maka mereka mengambil dari
kaum muslimin –dengan sebab itu- enam puluh orang atau lebih sehingga
tidak mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin dan tidak bermanfaat pula
bagi yang diledakkan di barisan-barisan mereka.
Oleh
karena itu, kami melihat, apa yang dilakukan oleh sebagian manusia
berupa tindakan bunuh diri, kami anggap bahwa hal itu adalah membunuh
jiwa tanpa hak dan menyebabkan masuknya ke dalam neraka, wal iyadzu
billah. Dan pelakunya bukanlah syahid. Namun jika seseorang melakukan
itu dengan anggapan bahwa hal tersebut boleh, maka kami berharap agar
dia selamat dari dosa. Adapun bila dianggap syahid, maka tidak demikian.
Sebab, dia tidak menempuh cara untuk mati syahid. Dan barangsiapa yang
berijtihad dan dia salah, maka baginya satu pahala.” (Syarah Riyadhus
Shalihin 1/165. Lihat pula: Tahrir Al-Maqaal: 23-24).
Hukum Menerobos Sarang Musuh
Banyak
terjadi kesalahpahaman tentang riwayat-riwayat yang terdapat dalam
hadits Nabi shallalahu ‘alaihsi wasallam dan para sahabatnya berkenaan
tentang masalah ini, disebabkan ketidaktepatan mereka dalam menempatkan
nash-nash tersebut pada posisi yang semestinya yang menyebabkan mereka
tidak bisa membedakan antara hukum bom bunuh diri dengan menyerang ke
barisan musuh (sarang musuh) sampai mati. Dalam masalah ini telah
terjadi tiga kubu:
- Pertama
adalah kubu yang membawa nash-nash tentang menyerang ke barisan musuh
kepada bolehnya melakukan bom bunuh diri, sebagaimana yang difahami oleh
para hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin dan selainnya.
- Kedua
adalah kubu yang menganggap seluruhnya adalah tindakan bunuh diri,
termasuk menyerang ke sarang musuh hingga mati. Ini difahami oleh
sebagian orang yang mengaku Ahlu Sunnah tapi jahil dan tidak mampu
membedakan antara dua keadaan.
-
Yang benar adalah kubu yang ketiga, yang membedakan antara kedua hukum
disebabkan karena terjadinya perbedaan kondisi. Di mana keadaan kedua
ini dengan cara sebagian masuk ke daerah musuh lalu melakukan
pertempuran hingga terbunuh melalui tangan musuh, bukan meledakkan tubuh
sendiri. Adapun keadan kedua ini adalah amalan yang disyari’atkan
berdasarkan dalil-dalil yang akan kita sebutkan beserta perkataan para
ulama.
Diantara dalil disyariatkannya amalan tersebut:
Tentang tafsir firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 195:
Diriwayatkan
oleh Tirmidzi (4/72) dari Aslam Abu Imran At-Tujibi, ia berkata: Ketika
kami berada di daerah Romawi, mereka mengeluarkan barisan (tentara
perang) yang besar. Maka keluarlah kaum muslimin semisal (jumlah mereka)
atau lebih untuk menghadapi mereka. Yang memimpin tentara Mesir adalah
Uqbah bin Amir dan jamaah yang lainnya dipimpin Fudhalah bin Ubaid. Maka
salah seorang dari kaum muslimin menerobos masuk ke barisan Romawi
hingga masuk ke tengah-tengah mereka. Maka berteriaklah manusia dan
berkata: Subhanallah, dia telah melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan.” Maka berdirilah Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah mentakwil ayat ini dengan
menakwilan seperti ini. (Padahal) sesungguhnya ayat ini turun berkenaan
dengan kami kaum Anshar di saat Allah telah memuliakan Islam dan semakin
banyak para penolongnya, maka sebagian kami berbisik terhadap sebagian
lainnya tanpa sepengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
‘Sesungguhnya harta kita telah terlantar dan sesungguhnya Allah telah
muliakan Islam dan semakin banyak penolongnya. Maka sekiranya kita
memperbaiki perekonomian kita dan menata kembali apa yang telah
terlantar.’ Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya tersebut
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bantahan dari apa
yang kami katakan. Maka kebinasaan (yang dimaksud) adalah memperbaiki
perekonomian dan menatanya lalu meninggalkan peperangan.’ Maka Abu Ayyub
terus berjihad di jalan Allah sampai beliau dikuburkan di Romawi.“
(Hadit ini dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad Fi Asbabin Nuzul: 34).
Lihat
pula penafsiran para ulama dalam menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 207,
dimana Umar bin Khattab dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma membantah
komentar orang yang mengatakan tentang salah seorang yang menerobos
masuk di antara dua barisan musuh dengan menyatakan: Dia telah
melemparkan dirinya dalam kebinasaan. Maka mereka dibantah oleh Umar dan
Abu Hurairah dengan firman Allah tersebut. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannaf (5/303) dan Baihaqi dalam Al-kubra (9/46))
Telah
diriwayatkan oleh Bukhari (2805) dan Muslim (3523) dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pamanku Anas bin Nadhr tidak ikut serta
dalam perang Badar, maka beliau berkata: “Wahai Rasulullah, aku
tidak ikut perang pertama yang engkau memerangi musyrikin. Sekiranya
Allah memberi kesempatan padaku hadir dalam memerangi musyrikin, maka
Allah akan melihat apa yang akan aku perbuat!” Maka ketika pecah
perang Uhud dan kaum muslimin kalah, beliau berkata: “Ya Allah,
sesungguhnya aku berudzur padamu dari apa yang dilakukan mereka ini
(yaitu larinya kaum muslimin dari medan pertempuran) dan aku berlepas
diri kepadamu dari apa yang dilakukan mereka ini (kaum musyrikin).” Lalu
beliau maju dan bertemu Sa’ad bin Mu’adz lalu berkata: “Wahai Sa’ad bin
Mu’adz, surga, demi Rabb-nya Nadhr, sesungguhnya aku mencium baunya di
bawah kaki Gunung Uhud.” Kata Sa’ad bin Muadz: “Aku tidak mampu berbuat
sepertinya wahai Rasulullah.” Berkata Anas bin Malik: “Lalu kami
menemukannya terdapat delapan puluh lebih luka berupa tebasan pedang,
tombak, dan lemparan panah. Dan kami menemukannya telah dicincang oleh
kaum musyrikin, maka tidak seorang pun mengenalnya kecuali saudara
perempuannya yang mengenali jarinya.” Berkata Anas bin Malik: “Kami mengira bahwa ayat ini turun berkenaan tentangnya.” (Al-Ahzab: 23)
Diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim (13/45-46) dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bangkitlah kalian menuju surga
yang seluas langit dan bumi.” Berkata Umair bin Al-Humam Al-Anshari:
“Wahai Rasulullah, surga seluas langit dan bumi?” Beliau menjawab:
“Iya.” Diapun berkata: “Bakhin, bakhin (ucapan yang menunjukkan rasa
takjub, pen).” Maka bertanya Rasulullah: “Apa yang membuatmu mengucapkan
bakhin bakhin?” Dia menjawab: “Tidak wahai Rasulullah, melainkan aku
berharap agar (aku) termasuk penduduknya.” Beliau berkata: “Engkau
termasuk penduduknya.” Maka dia mengeluarkan beberapa buah korma dari
tempatnya lalu memakannya, kemudian berkata: “Jika aku hidup sampai aku
memakan buah kormaku ini, sesungguhnya ini adalah kehidupan yang
panjang.” Diapun melempar korma yang ada di tangannya kemudian bertempur
hingga terbunuh.
Berkata
An-Nawawi: “(Hadits) ini menunjukkan bolehnya menerobos ke tengah
orang-orang kafir dan menghadapi mati syahid. Dan ini boleh, tidaklah
dibenci menurut mayoritas para ulama.” (Syarah An-Nawawi, 13:46)
Masih
ada beberapa dalil lain yang menunjukkan bolehnya amalan ini. (Lihat
Sunan Al-Kubra karangan Al-Baihaqi, bab: Man Tabarra’a Bitta’arrudh Bil
Qatl, 9: 43-44).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ta’ala: “Oleh
karena itu, para imam empat membolehkan seorang muslim menerobos ke
dalam barisan orang-orang kafir, meskipun besar perkiraannya bahwa
mereka akan membunuhnya jika yang demikian mendatangkan kemaslahatan
bagi kaum muslimin.” (Majmu’ Fatawa, 28: 540).
Membantah Syubhat yang Membolehkan Bom Bunuh Diri
Mereka
yang berpendapat bolehnya melakukan bom bunuh diri selalu menggunakan
hujjah berupa dalil-dalil yang membolehkan menerobos masuk ke sarang
musuh, dan telah jelas bagi para pembaca rahimakumullah perbedaan di
antara keduanya. Namun ada satu dalil yang juga mereka jadikan sebagai
alasan bolehnya amalan ini, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim,
yang menceritakan tentang Ashabul Ukhdud, di mana seorang pemuda yang
bertauhid memberikan petunjuk kepada sang raja yang dzalim tentang cara
membunuhnya, yang mendatangkan kemaslahatan yang luar biasa, yaitu masuk
Islamnya seluruh penduduk kampung dan meninggalkan agama nenek
moyangnya. (Lihat kisahnya dalam kitab Riyadhus Shalihin bab “Sabar”
hadits no. 30)
Bantahan terhadap pendalilan kisah ini dari beberapa sisi:
Pertama,
hadits ini menggambarkan seorang pemuda yang terbunuh namun dia menjadi
sebab datangnya kemaslahatan yang jelas, yaitu masuk Islamnya seluruh
penduduk kampung. Berbeda dengan bom bunuh diri yang sama sekali tidak
mendatangkan kemaslahatan, bahkan kemudharatan yang semakin besar dengan
terbunuhnya kaum muslimin dalam jumlah yang semakin hari kian
bertambah. Manakah kemaslahatan itu? Apakah orang Yahudi
berbondong-bondong masuk Islam dengan sebab amalan tersebut? Berfikirlah
wahai orang-orang yang berakal.
Kedua,
pemuda tersebut tidak membunuh dirinya sendiri namun dia terbunuh
melalui tangan sang raja disaat dia mengucapkan kalimat tauhid (yang
menyebabkan) masuk Islam seluruh penduduknya. Berbeda dengan bom bunuh
diri yang meledakkan diri sendiri bersama yang lainnya, (yakni) membunuh
diri sendiri dengan sengaja, manakah persamaan itu?
Ketiga,
terdapat perbedaan antara bunuh diri dengan memberikan petunjuk tentang
cara membunuhnya disebabkan karena (ia) mendapatkan ilham akan adanya
kemaslahatan yang lebih besar. Adapun yang mereka lakukan tidak lebih
meninggalkan bekas yang lebih buruk yang menimpa kaum muslimin dengan
sebab balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang kafir Yahudi terhadap
kaum muslimin yang lemah. Ditambah lagi kurangnya ilmu yang mereka
miliki serta tersebarnya kebid’ahan, kemaksiatan, dan jauhnya mereka
dari ilmu sunnah .Wallahul musta’an. (Lihat Arraddu ‘Alaa Mujizil
Intihaar, Mahir bin Dzafir Al-Qahthani: 6-7)
Dikutip dari http://asysyariah, Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi, Judul asli :Bom Bunuh Diri Dalam Timbangan Syariat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar