1. Awal Mula Disyari’atkannya Makan Sahur
Al-Imam Al-Bukhari memberikan bab tersendiri dalam kitab Shahihnya :
“Bab Firman Allah ta’ala :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ
لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ
فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ) البقرة:
١٨٧
“Dihalalkan bagi kalian berjima’dengan istri-istri kalian di malam hari bulan shaum (Ramadhan).
Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwa sebelumnya tidak bisa menahan nafsu,
karena itu Allah mengampuni dan memaafkan kalian. Maka sekarang gauilah
mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” [Al-Baqarah : 187]
Al-Hafizh Ibnu Hajar menerangkan maksud dari bab tersebut, yaitu dalam rangka menjelaskan keadaan kaum
muslimin (para shahabat) pada saat nuzul (turun)nya ayat di atas. Bahwa
dari sebab nuzul ayat ini diketahui tentang permulaan disyari’atkannya
sahur. Al-Imam Al-Bukhari menjadikan bab ini sebagai bab permulaan untuk
bab-bab berikutnya yang menjelaskan tentang berbagai hukum yang
berkaitan dengan makan sahur. (Fathul Baari Bab Firman Allah subhanahu wa ta’ala : أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَا مِ الرَّفَثُ اِلَى نِسَائِكُمْ hadits no.1915)
Kemudian Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan hadits Al-Barra‘ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata :
كَانَ
أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ
اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ
يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي
كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ
لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ
لَكَ – وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ
اِمْرَأَتَهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ! فَلَمَّا
اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ، فَذُكِرَ لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ
هَذِهِ اْلأَيَةُ : ( أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى
نِسَائِكُمْ ) فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ ( وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَد ) [رواه البخاري رقم : 1915؛ وأبو داود رقم : 2314].
“Dahulu para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara
mereka bershaum kemudian tertidur sebelum sempat berbuka maka dia tidak
boleh makan dan minum pada malam tersebut dan siang hari berikutnya
hingga datang waktu berbuka lagi. Ketika suatu hari seorang shahabat
(bernama) Qois bin Shirmah Al-Anshari bershaum, tatkala tiba waktu
berbuka, dia datang kepada istrinya seraya berkata : “Apakah kamu punya
makanan?” Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu.”.
Padahal dia (Qais) telah bekerja keras sepanjang siang, sehingga (sambil
menunggu istrinya datang) akhirnya ia tertidur lelap. Kemudian sang
istri datang. Ketika ia melihat sang suami tertidur ia pun berkata :
“Sungguh telah rugi engkau!”
Akhirnya pada pertengahan siang berikutnya Qais pun jatuh pingsan. Kemudian peristiwa ini dikabarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Lalu turunlah ayat :
( أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ) البقرة: ١٨٧
“Dihalalkan bagi kalian berjima’dengan istri-istri kalian di malam hari bulan shaum (Ramadhan)”
Maka para shahabat pun sangat berbahagia dengan turunnya ayat tersebut. Lalu turun juga ayat berikutnya :
( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَد ) البقرة: ١٨٧
Artinya;” Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (Al-Bukhari hadits no. 1915)
Dari
hadits ini terdapat keterangan tentang kondisi permulaan ketika
diwajibkannya shiyam, yaitu apabila ada diantara mereka yang tertidur
sebelum ifthar maka tidak boleh baginya makan dan minum sepanjang malam
tersebut sampai datang waktu ifthar di hari berikutnya. Demikian pula
cara shaum Ahlul Kitab, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah atsar yang
diriwayatkan dari As-Suddi v dan selainnya dari kalangan ahli tafsir,
dengan lafazh :
كُتِبَ
عَلَى النَّصَارَى الصِّيَامُ، وَكُتِبَ عَلَيْهِمْ أَنْ لاَ يَأْكُلُوا
وَلاَ يَشْرَبُوا وَلاَ يَنْكِحُوا بَعْدَ النَّوْمِ، وَكُتِبَ عَلَى
الْمُسْلِمِينَ أَوَّلاً مِثْلُ ذَلِكَ حَتَّى أَقْبَلَ رَجُلٌ مِنَ
الأَنْصَارِ، فَذَكَرَ الْقِصَّةَ .
“Telah
diwajibkan kepada kaum Nashara bershaum, dan bahwa tidak boleh bagi
mereka untuk makan, minum, dan senggama setelah tertidur. Diwajibkan
atas kaum muslimin pada mulanya seperti itu, sampai terjadi peristiwa
yang menimpa seorang pria dari Anshar.”
Kemudian beliau menyebutkan kisahnya.
disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar melalui jalur riwayat Ibrahim At-Taimi dengan lafazh :
كَانَ
المُسْلِمُونَ فِي أَوَّلِ الإِسْلاَمِ يَفْعَلُونَ كَمَا يَفْعَلُ أَهْلُ
الكِتَابِ : إِذَا نَامَ أَحَدُهُمْ لَمْ يَطْعَمْ حَتَّى القَابِلَةِ
“Kaum
Muslimin pada permulaan Islam melakukan shaum seperti cara yang
dilakukan oleh Ahlul Kitab, yaitu apabila seorang di antara mereka
tertidur (sebelum berbuka) maka tidak boleh makan hingga tiba (waktu
berbuka) keesokan harinya.”
Hal ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari shahabat ‘Amr bin Al-‘Ash secara marfu‘ :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ اْلكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ (رواه مسلم )
“Pembeda antara shaumnya kita dengan shaum Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (Muslim hadits no. 46 – [1096]); (Fathul Bari syarh hadits no. 1915)
Para
shahabat sangat bergembira dengan turunnya ayat 187 surat Al-Baqarah
tersebut. Mereka paham dari kandungan ayat tersebut bahwa apabila jima‘ ( َالرَّفَثُ ) dihalalkan berarti makan dan minum tentunya lebih dihalalkan.
Kemudian turun lanjutan ayat berikutnya : ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا…)
yang secara nash (konteks zhahir) dari ayat ini semakin menegaskan
dihalalkannya makan dan minum pada malam hari Ramadhan. Ini semua adalah
dari rahmat Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-Nya.
2. Batas Akhir Makan Sahur dan Waktu Mulai Bershaum, Bid’ahnya Imsyak
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ) البقرة: ١٨٧
“Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitamg, yaitu waktu fajar.” [Al-Baqarah : 187]
Al-Imam Al-Bukhari membawakan bab khusus untuk ayat ini (( وَكـُلـُوا وَاشْرَبُوا
…)) dalam rangka menerangkan batas akhir dibolehkannya makan sahur dan
dimulainya ash-shaum. Kemudian beliau menyebutkan hadits Adi bin Hatim
radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
لَمَّا
نَزَلَتْ ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ ) عَمَدْتُ إلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ
وَإلَى عِقَالٍ أبْيَضَ فَجَعَلْتُهَا تَحْتَ وِسَادَتِي فَجَعَلْتُ
أَنْظُرُ فِي اللَّيْلَ فَلاَ يَسْتَبِيْنَ لِي فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ
اللهِ r فَذَكَرْتُ لَهُ، فَقَالَ : (( إنَّمَا ذلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ
وَبَيَاضُ النَّهَارِ )).
“Ketika turunnya ayat (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلأَسْوَدِ) saya
mencari tali hitam dan tali putih, saya letakkan di bawah bantal,
kemudian saya mengamatinya di malam hari dan tidak nampak. Keesokan
harinya saya menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan saya
ceritakan kepadanya, kemudian beliau berkata : Yang dimaksud dengannya
adalah gelapnya malam dan terangnya siang.” (Al-Bukhari hadist no. 1917)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan maksud ‘benang putih’ dan
‘benang hitam’ dengan kegelapan malam dan cahaya siang, tidak seperti
yang disangka oleh Adi bin Hatim dan beberapa shahabat lainya. Hal ini
terjadi karena nuzul (turunnya) ayat ( مِنَ اْلفَجْرِ) tidak bersamaan
dengan ayat ((وَكُلُوا وَاشْرَبُوا melainkan turun sesudahnya. Hal ini
sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan
Al-Imam Muslim dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu:
أُنْزِلَتْ
( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ ) ، وَلَمْ يَنْزِلْ (( مِنَ اْلفَجْرِ))،
فَكَانَ رِجَالٌ إذا أرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ
اْلخَيْطَ اْلأبْيَضَ وَالخَيْطَ الأسْوَدَ، وَلَمْ يَزَلْ يَأكُلُ حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لهُ رُؤْيَـتُهُمَا، فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدُ (مِنَ الْفَجْرِ )
، فَعَلِمُوا أنَّهُ إنَّمَا يَعْنِي الليْلَ وَ النـَّهَارَ.
“Ketika turun ayat ((وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلأَسْوَدِ ..)) dan belum turun potongan ayat selanjutnya ((مِنَ اْلفـَجْرِ)), dahulu
para shahabat jika ingin bershaum maka salah seorang diantara mereka
mengikatkan benang putih dan benang hitam di kakinya dan melanjutkan
makan sampai jelas perbedaan antara keduanya, kemudian Allah subhanu
wata’ala menurunkan ((مِنَ اْلفـَجْرِ)) sehingga mereka faham bahwa yang dimaksud dengannya adalah cahaya siang dan kegelapan malam.” (Al-Bukhari (hadits no. 1917, Muslim (hadits no. 35-1901)
Atas dasar ini jelaslah permulaan waktu shaum, yaitu dimulai sejak munculnya fajar yang kedua atau fajar shadiq. Karena fajar itu ada dua macam :
1. Fajar kadzib,
yaitu fajar yang cahayanya naik (vertikal) seperti ekor serigala.
Dengan fajar ini belum masuk waktu shalat Subuh, dan masih diperbolehkan
makan dan minum. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Jabir bin
‘Abdillah dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam berkata :
اَلْفَجْرُ
فَجْرَانِ : فَأَمَّا اْلفَجْرُ الَّذِي يَكُونُ كَذَنَبِ السَّرْحَانِ
فَلاَ تَحِلُّ الصَّلاَةُ فِيْهِ وِلاَ يُحْرَمُ الـَّطعَامُ، وَأَمَّا
اَّلذِي يَذْهَبُ مُسْتَطِيْلاً فِي اْلأُفُقِ فَإنَّهُ تُحِلُّ الصَّلاَةُ
وَ يُحْرَمُ الـَّطعَامُ ( رواه الحاكم )
“Fajar
ada dua macam (pertama), fajar yang bentuknya seperti ekor serigala
maka belum dibolehkan dengannya shalat (subuh) dan masih dibolehkan
makan. Dan (kedua) fajar yang membentang di ufuk timur adalah fajar yang
dibolehkan di dalamnya shalat (subuh) dan diharamkan makan (sahur).” HR. Al-Hakim (1)
2. Fajar shadiq,
yaitu fajar yang cahayanya memanjang ( mendatar ). Sebagaimana terdapat
dalam hadits Samuroh bin Jundub dan selainnya yang diriwayatkan oleh
Al-Imam Muslim secara marfu‘ dengan lafadz :
لاَ يَغُرَّنكمْ أحَدَكمْ نِدَاءُ بِلاَلٍ مِنَ السَّحُوْرِ وَلاَ هذا البَيَاضُ حَتَّى يَسْتطِيْرَ.
وفي رواية : هُوَ المُعْتـَرِضُ وَليْسَ بالمُسْتَطِيلِ
“Janganlah
adzannya Bilal mencegah kalian dari sahur dan tidak pula cahaya putih
ini sampai mendatar (horisontal). Dalam riwayat yang lain : yaitu cahaya
yang mendatar bukan yang menjulang ke atas.” ( Muslim hadits no. 1093)
Oleh
karena itu seharusnya bagi kaum muslimin untuk menghidupkan sunah
Rasullah shalallahu ‘alaihi wasallam berupa mengangkat dua orang
muadzin, dan adzan subuh dua kali, untuk membantu ketika hendak
melakukan ibadah ash-shaum dan shalat serta yang berkaitan dengan
keduanya. Demikianlah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiAllahu ‘anhuma
diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, beliau mengatakan :
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ r يَقولُ : (( إنَّ بلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أذَانَ ابْنِ أمِّ مَكْتومٍ ))
“Saya
mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : Sesungguhnya
Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah
sampai mendengar adzannya Ibnu Ummi Maktum.” (Muslim hadits no. 37-1092)
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur periwayatan Aisyah radhiallahu ‘anha dengan lafazh :
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذنَ اِبْنُ أمِّ مَكتُومٍ فَإنَّهُ لاَيُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الفَجْرُ
“Makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan karena dia tidak mengumandangkannya kecuali jika telah terbit fajar.” ( Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 17 hadits no. 1918, 1919)
Bid’ahnya Imsak
Atas
dasar ini maka kebiasaan menahan makan dan minum sebelum terbitnya
fajar kedua, yang dikenal dengan waktu imsak, adalah bid’ah yang munkar
yang harus ditinggalkan dan diingkari oleh kaum muslimin.
Imsak sudah diingkari oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar seorang ‘ulama besar dari kalangan Syafi’iyyah. Beliau mengatakan :
“Termasuk
dalam bid’ah yang munkar adalah apa yang telah terjadi pada masa ini
(masanya Al-Hafizh Ibnu Hajar-pen) berupa mengumandangkan adzan subuh
dan mematikan lampu dua puluh menit sebelum fajar kedua pada bulan
Romadhon yang dijadikan sebagai tanda berhentnya makan dan minum bagi
orang yang akan shaum dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian) dalam
beribadah. Kebid’ahan ini tidaklah diketahui kecuali oleh segelintir
orang dari kalangan kaum muslimin. Bahkan mereka tidak mengumandangkan
adzan mahgrib kecuali setelah terbenamnya matahari dengan derajat
tertentu untuk memantapkan waktu ifthor (berbuka). Sehingga dengan
kebiasaan mengakhirkan ifthor dan menyegerakan sahur ini, mereka telah
menyelisihi sunnah, yang berakibat sedikitnya kebaikan dan banyaknya
kejelekan pada ummat ini.” ( Fathul Baari jilid 4 hal. 199 hadist no. 1957)
—————-
[1] Mustadrok Al-Hakim no. 691.
Asy-Syaikh
Muqbil tidak mengomentarri kedua riwayat ini dalam kitab beliau
Tatabbu’ Awhamil Hakim, sedangkanAsy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah
mengatakan : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/210),
Al-Hakim (1/191, 395), Ad-Daruquthni (2/125), dan Baihaqi (4/261) dari
jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas … Ibnu
Khuzaimah berkata tidak ada yang memarfu‘kan hadits ini di dunia selain
Abu Ahmad Az-Zubairi. Al-Hakim berkata sanadnya shahih dan disetujui
oleh Adz-Dzahabi. Al-Baiahaqi menganggap hadits ini memiliki penyakit
karena selain Abu Az-Zubair meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri secara
maukuf dan dia berkata yng lebih tepat adalah mauquf . Saya (Al-Albani
-peny) berkata Abu Ahmad Az-Zubairi -namanya adalah Muhammad bin
Abdillah Az-Zubair – keadaannya adalah tsiqoh akan tetapi mereka (Ahlul
Hadits- peny) menyatakan bahwa riwayatnya dari Ats-Tsauri ada kesalahan
akan tetapi hadits ini memiliki syawahid yang banyak yang menunjukkan
keshohihannya, diantaranya dari Jabir yan dikeluarkan Al-Hakim (1/191),
Baihaqi (4/215), dan Al-Hakim menshohihkannya yang disepakati oleh
Adz-Dzahabi … .
3. Mengakhirkan Sahur dan Jarak Waktu antara Sahur dengan Shalat
Termasuk
dalam sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan sahur,
berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari beliau. Hal ini sangat
berbeda dengan kebiasaan kebanyakan kaum muslimin yang mendahulukan
waktu sahur jauh dari fajar shadiq. Hal ini bertentangan dengan
hadits-hadits yang shahih, di antaranya riwayat yang dibawakan oleh
Al-Imam Al-Bukhari dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anha
berkata:
كُنْتُ أَتَسَحَّرُ فِي أَهْلِي ثُمَّ تَكُونَ سُرْعَتِي أنْ أدْرِكَ السُّجُودَ مَعَ رَسُولِ اللهِ r
“Saya
pernah makan sahur bersama keluarga saya, kemudian saya bersegera untuk
mendapatkan sujud bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam .”( Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 18 hadits no : 1920)
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha berkata :
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِي r ثُمَّ قَامَ إلى الصَّلاةِ.
قُلْتُ : كمْ كانَ بَيْنَ الأذانِ وَالسَّحُورِ قال قَدْرَ خَمْسِيْنَ آيَــة
“Kami makan sahur bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau berdiri untuk shalat shubuh.
Saya (Anas bin Malik) bertanya kepadanya : Berapa jarak antara adzan dengan sahur ? Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha menjawab : kurang lebih selama bacaan lima puluh ayat.” (Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 21 hadits no. 1921 Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 47-[1097])
Waktu Terakhir untuk Makan Sahur
Waktu
terakhir untuk makan sahur telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah yaitu dengan terbit dan jelasnya fajar shadiq, sebagaimana
firman Allah I :
)وَكلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكمُ الخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الفـَجْرِ(
“Silakan kalian makan dan minum sampai nampak dengan jelas cahaya fajar.” Q.S. Al-Baqarah : 187
Sebagaimana pula dalam hadits ‘Aisyah radhiyAllahu ‘anha, berkata :
إنَّ
بلاَلاَ كَانَ يُؤَذنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ rكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذنَ اِبْنُ أمِّ مَكتُومٍ فَإنَّهُ لا يُؤَذنُ
حَتَّى يَطلُعَ الفَجْرُ )رواه البخاري(
“Sesungguhnya
Bilal beradzan pada waktu malam hari, maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Silakan kalian makan dan minum sampai Ibnu
Ummi Maktum beradzan, sesungghnya dia tidak beradzan kecuali setelah
terbit fajar.” ( Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 17 hadits no. 1918,1919, Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 36-[1092], 37-[1093].)
Sebagian
‘ulama membolehkan makan dan minum walaupun sudah terdengar adzan
apabila makanan masih ada di tangannya, berdalil dengan hadits Abu
Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
إِذَا سَمِعَ أحَدُكمُ النِّدَاءَ وَالإنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقضِيَ حَاجَتهُ مِِنْهُ )رواه أبو داود والحاكم(
“Jika
salah seorang dari kalian mendengar adzan sementara bejana masih ada di
tangannya maka janganlah menaruhnya sampai dia menyelesaikan hajatnya
dari bejana itu.” (H.R. Abu Daud dan Al-Hakim) (Hadits
ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilatul Ahaditsish
Shahihah no. 1394. Namun Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi v menyatakan hadits
ini ada kelemahannya dalam kitabnya Tatabbu’ Auhamil Hakim hadits no.
732, 743, dan 1552.)
Sebagian
pihak menisbatkan pendapat tersebut kepada jumhur shahabat, namun
mayoritas riwayatnya tidaklah shahih atau tidak sah. Kalaupun ada yang
sah, namun tidak secara terang atau jelas bahwa mereka berpendapat
dengan pendapat tersebut. Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan
bahwa hampir-hampir para fuqoha’ berijma’ (sepakat) dengan pendapat yang
berbeda dengan pendapat yang dinisbatkan kepada jumhur shahabat di
atas.
Seandainya hadits di atas shahih, maka ada beberapa kemungkinan makna yang dimaksud dengan hadits ini :
1.
Bahwa hadits ini memberikan rukhshoh bagi orang yang kondisinya seperti
tersebut bukan untuk semua orang, sehingga tidak boleh diqiyaskan
dengan kondisi tersebut diatas .
2.
Bahwa adzan yang dimaksud diatas adalah adzan yang terjadi sebelum
fajar, hal ini semakna dengan penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa jilid 25 hal.216.
4. Menyelisihi Ahlul Kitab dengan Sahur
Di
antara perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa Sallam kepada umat ini adalah agar mereka membedakan diri
dengan Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik, baik dalam perkara ibadah
ataupun akhlak.
Allah
subhananu wa ta’ala mewajibkan kepada kaum muslimin ash-shaum
sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelumnya, sebagaimana dalam
ayat :
يأيُّهَا
الذِيْنَ آمَنُوا كتِبَ عَلَيْكمُ الصِّيَامَ كمَا كتِبَ عَلى الذِيْنَ
مِنْ قَبْلِكمْ لعَلكمْ تَتَّقونَ( )سورة البقرة :183(
“Wahai
orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian shaum
sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelum kalian, agar kalian
bertakwa.”
Namun ada beberapa perkara dalam ash-shaum yang kita diperintahkan untuk membedakan diri dengan Ahlul Kitab, antara lain :
1.
As-Sahur, Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menyebutkan
dalam sebuah hadits dari shahabat ‘Amr bin ‘Ash, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ اْلكِتابِ أَكْلَة السَّحَرِ )رواه مسلم
“Pembeda antara shaumnya kita dengan shaumnya ahlul kitab adanya makan sahur.” (Muslim Kitabush Shiyaam bab 9 hadits no. 46-[1096])
2.
Bolehnya makan dan minum serta jima’ walaupun tertidur sebelum
melakukan ifthor (berbuka). Sementara dalam shaumnya Ahlul Kitab bahwa
barang siapa yang tertidur sebelum sempat berifthor maka dilarang
baginya makan dan minum pada malam itu sampai keesokan harinya,
sebagaimana telah disebutkan pada pembehasan sebelumnya.
3.
Menyegerakan ber-ifthor (berbuka) sebagaimana dalam hadits Abu
Hurairah, bahwasannya Rasulloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
لاَ
يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الفِطْرَ لأََِنَّ
اليَهُودَ وَ النَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ )رواه أبو داود و ابن حبان و ابن
خزيمة وابن ماجه و الحاكم(
“Akan
terus Islam ini jaya selama kaum muslimin masih menyegerakan berbuka
(if-thor), karena sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashoro selalu menundanya.” (Hadits
ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Daud no.
2353 dan Shohih Targhib no. 1075, dan Syaikh Muqbil tidak memberikan
komentar terhadap hadits ini (lihat Tatabbu’ Awhamil Hakim hadits no.
1574).)
Perlu
kita ketahui bahwa makan sahur adalah sesuatu yang disunnahkan dan
terdapat padanya barakah yang banyak sebagaimana dalam hadits Anas bin
Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً )متفق عليه(
“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada makan sahur ada barokah.” (Al-Bukhari
Kitabush Shaum bab 20 hadits no. 1923 dan Muslim Kitabush Shiyaam bab 9
hadits no. 45-[1095], An Nasai hadis no : 2146 -2150, Ibnu Majah no :
1692)
Diantara barokah yang dikandung pada makan sahur adalah :
1. Ittiba’ As-Sunnah (mengikuti jejak sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam),
2. Membedakan diri dengan Ahlul Kitab,
3. Memperkuat diri dalam ibadah,
4. Mencegah timbulnya akhlak yang jelek seperti marah dan lainnya dikarenakan rasa lapar,
5. Membantu seseorang untuk bangun malam dalam rangka berdzikir, berdo’a serta shalat di waktu yang mustajab,
6. Membantu seseorang untuk niat shaum bagi yang lupa berniat sebelum tidur.
Disimpulkan
oleh Ibnu Daqiq Al-‘Id bahwa barokah-barokah tersebut ada yang bersifat
kebaikan duniawi dan ada yang bersifat kebaikan ukhrawi (Lihat Fathul Baari Kitabush Shaum bab 20 hadits no. 1923.).
——————–
[1]
Sahur (السحور) dalam bahasa Arab memiliki dua bacaan dengan huruf
as-siin yang difathah (السَحور)bermakna makanan yang digunakan untuk
makan sahur, dan dengan didhommah (السُحور) bermakna perbuatan makan
sahur itu sendiri (lihat Syarh Shohih Muslim Kitab Ash-shiyam Bab. 9
(hadits no. 45-[1095]).
Dikutip dari http://salafy.or.id Penulis: Redaksi Ma’had As Salafy (http://www.assalafy.org), Judul: Sahur dan yang berkaitan dengannya
Diarsipkan pada: http://qurandansunnah.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar