Tanpa
disadari sering sekarang kita dengar dengan istilah Curhat (Curahan
Hati) yang intinya mengemukakan masalah-masalah pribadi kepada orang
lain atau teman yang kita percayai. Masalah-masalah pribadi yang
tercurhat tidak lain membuka aib sendiri dan keluarga sehingga tidak
terlepas membicarakan orang pihak ketiga, baik teman, sahabat, suami,
mertua, keluarga, tetangga yang akhirnya buah curhat berakhir ghibah
yaitu mengunjing, membicarakan orang lain.
Mewaspadai Bahaya Ghibah
Ghibah atau membicarakan orang lain (bisa juga diistilahkan dengan ngerumpi) adalah aktivitas yang ‘mengasyikkan’. Tak sedikit orang, yang secara sadar atau tidak, terjatuh dalam perbuatan ini.
Karena memang setan telah menghiasi perbuatan ini sehingga nampak indah
dan menyenangkan. Tahukah anda bahwa Allah mengibaratkan ghibah dengan
perbuatan memakan daging saudara kita yang telah mati?
Bani
Adam adalah makhluk yang lemah, serba kekurangan, dan menjadi tempat
kesalahan. Demikianlah fakta yang akan dijumpai bila setiap orang jujur
akan hakikat dirinya. Ia lemah dari semua sisi: tubuhnya, semangatnya,
keinginannya, imannya, dan lemah kesabarannya. Dengan keadaan seperti
ini, Allah dengan kemahabijaksanaan-Nya memberikan beban syariat sesuai
dengan kesanggupannya. Demikian yang dikatakan Asy-Syaikh Sa’di dalam
Tafsir-nya.
Terkadang
kelemahan ini menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam perbuatan dosa
dan maksiat. Mendzalimi diri sendiri, orang lain, bahkan mendzalimi
Allah. Keadaan demikian banyak terjadi pada manusia khususnya yang tidak
mendapat hidayah dan rahmat dari Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung.
Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya. Dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Banyak sekali faktor
yang mendorong manusia untuk berbuat kesalahan atau kemaksiatan.
Terkadang dorongan itu datang dari dalam diri sendiri dan terkadang dari
luar. Berbahagialah orang yang mengerti kelemahan dirinya.
Abu Ad-Darda berkata: “Termasuk wujud ilmunya seorang hamba adalah dia
mengetahui imannya bertambah atau berkurang. Dan termasuk dari barakah
ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui darimana setan akan
menggelincirkannya.” (Asbab Ziyadatul Iman, hal. 10)
Salah
satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam
kemaksiatan adalah lisan. Sungguh betapa ringan lisan ini digerakkan
untuk bermaksiat kepada Allah. Serta betapa berat untuk diajak berdzikir
kepada Allah. Demikan hakikat lisan sebagaimana ucapan Abu Hatim: “Lisan
memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui
asin atau tidaknya makanan dan minuman, atau panas dan dingin, atau
manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah
berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan sangat tanggap pula
bila mata melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya
bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah, lidah
itu tak bertulang.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah z)
Namun
bukan berarti engkau diam dari suatu kemungkaran dan diam untuk
mengucapkan kebenaran. “Setan bisu” itulah gelar dan panggilan seseorang
yang diam dari kemungkaran dan tidak mau menyuarakan kebenaran.
Makna Ghibah
Tidak ada penafsiran terbaik tentang makna ghibah selain penafsiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam
hadits beliau. Bila ada penafsiran para ulama tentang ghibah maka tidak
akan terlepas dari penafsiran beliau meski dengan ungkapan yang
berbeda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan makna ghibah ini dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah zbahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tahukah
kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?” Mereka berkata: “Allah dan
Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Kamu menceritakan tentang
saudaramu apa yang dia tidak sukai.” Dikatakan kepada beliau: “Bagaimana
pendapat engkau bila apa yang aku katakan ada pada saudaraku itu?”
Beliau menjawab: “Jika apa yang kamu katakan ada pada saudaramu maka
kamu telah mengghibahinya, dan jika apa yang kamu katakan tidak ada pada
dirinya, maka kamu telah berdusta.”(Shahih, HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874, dan At-Tirmidzi no. 1435)
Ghibah adalah Dosa Besar
Dari
keterangan di atas, diambil kesimpulan bahwa makna ghibah adalah
menceritakan seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek
pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Bila apa yang
diceritakan tidak ada pada orang tersebut, ini merupakan dusta atas
namanya dan tentu saja dosanya lebih besar dari yang pertama.
Ibnu Katsir mengatakan: “Ghibah
adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan)
melainkan (dalam hal yang) maslahatnya lebih kuat, seperti dalam jarh
dan ta’dil (menerangkan perawi hadits) dan nasehat, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ketika seseorang yang jahat
meminta izin kepada beliau untuk bertemu beliau, maka beliau berkata:
‘Izinkan dia, sesungguhnya dia adalah orang yang paling jelek di
kaumnya.’ Juga seperti sabda beliau kepada Fathimah binti Qais saat
dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam mengabarkan) bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin
dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari
pundaknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/215)
Ghibah jelas perbuatan terlarang. Bahkan ia termasuk perbuatan dosa besar. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Janganlah
sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang
di antara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah
kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 12)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Sesungguhnya
darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram seperti haramnya hari
kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Bakrah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Ketika
saya dibawa naik, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari
tembaga yang dengannya mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Aku
bertanya:’Hai Jibril, siapakah mereka?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah
kaum yang telah memakan daging orang lain dan menginjak-injak kehormatan
mereka’.” (HR. Abu Dawud no. 4878 dari shahabat Anas bin Malik dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no.
4082 dan dalam Ash-Shahihah no. 533)
Masih banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang keharaman ghibah dan bahwa ghibah termasuk dosa besar.
Kapan Boleh Mengghibah
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Ghibah dibolehkan dengan tujuan syariat yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya.”
Dibolehkah ghibah pada enam perkara:
1. Ketika terdzalimi (dianiaya).
2. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.
3. Meminta fatwa.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari sebuah kejahatan atau untuk menasihati mereka.
5. Ketika seseorang menampakkan kefasikannya.
6. Memanggil seseorang yang dia terkenal dengan nama itu.
(Riyadhus Shalihin, bab “Apa-apa yang diperbolehkan untuk Ghibah”)
Cara Bertaubat dari Ghibah
Menurut
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah orang yang telah berbuat ghibah tidak
harus mengumumkan taubatnya. Cukup baginya memintakan ampun bagi orang
yang dighibahi dan menyebutkan segala kebaikannya di tempat-tempat mana
dia mengghibahinya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ummu Abdillah
Al-Wadi’iyyah dalam kitabnya Nashihati lin Nisa’ (hal. 31).
Haruskah Meminta Maaf kepada Orang yang Dighibahi?
Dalam permasalahan ini, perlu dirinci:
Pertama, bila orang tersebut mendengar ghibahnya, maka dia harus datang kepada orang tersebut meminta kehalalannya (minta maaf).
Kedua,
jika orang tersebut tidak mendengar ghibahnya maka cukup baginya
menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan mencabut diri darinya di tempat ia
berbuat ghibah.
Al-Qahthani dalam kitab Nuniyyah beliau (hal. 39) menasihati kita:
“Janganlah kamu sibuk dengan aib saudaramu dan lalai dari aib dirimu, sesungguhnya yang demikian itu adalah dua keaiban.” Wallahu a’lam.
Dikutip dari http://asysyriah.com, Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi, Judul: Kekejian Berupa Memakan Bangkai Daging Sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar