Di
zaman kita muncul pendusta-pendusta ulung yang suka menipu manusia.
Sebagian orang menamainya dengan “para normal”, “tau macca” (Bugis:
“orang pintar”), “tukang sihir”, “dukun“, dan lainnya. Pendusta-pendusta ulung ini walaupun ia tak “sehebat” dengan bapak professor, namun ia punya “kepandaian” dalam menipu orang dengan jubah agama. Dia mampu memukau orang dengan berbagai macam tipuannya.
Pendusta-pendusta
ulung ini juga mengaku tahu perkara ghaib. Ketika ditanyai tentang
nasib orang, rezqinya, jodohnya, atau sandalnya yang hilang, maka ia pun
berusaha menipu manusia dengan jawaban-jawaban yang dusta. Terkadang
juga dengan jawaban yang benar secara kebetulan, atau karena hasil kerja
samanya dengan setan yang membantu dirinya di atas kekafiran.
Syaikh Muhammad bin
Sholih Al-Utsaimin-rahimahullah- pernah ditanya tentang
pendusta-pendusta ini, yang mengaku tahu perkara ghaib dengan pertanyaan
berikut: “Apa hukumnya orang yang mengaku tahu perkara ghaib?”
Syaikh Al-Utsaimin-rahimahullah- menjawab pertanyaan ini dalam kitabnya Fatawa Arkan Al-Islam (hal. 40), “Hukumnya orang yang mengaku tahu perkara ghaib bahwa ia kafir, karena ia adalah orang yang mendustakan Allah -Azza wa Jalla- . Allah -Ta’ala- berfirman,
“Katakanlah:
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara
yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka
akan dibangkitkan“. (QS.An-Naml : 65). e
Apabila
Allah -Azza wa Jalla- memerintahkan Nabi-Nya Muhammad -Shollallahu
‘alaihi wasallam- untuk mengumumkan kepada orang banyak (publik) bahwa
tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang
ghaib, kecuali Allah. Apabila demikian, maka sesungguhnya orang yang
mengaku tahu perkara ghaib telah mendustakan Allah -Azza wa Jalla- dalam
berita (ayat) ini. Kami katakan kepada mereka (para pendusta itu), “Bagaimana
mungkin kalian bisa mengetahui, sementara Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- tidak mengetahui perkara ghaib?! Apakah kalian lebih mulia
ataukah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?!” Jika mereka
berkata, “Kami lebih mulia daripada Rasul”, maka mereka ini kafir,
karena ucapan ini. Bila mereka berkata, “Beliau lebih mulia”, maka kami
katakan, “Kenapa dihalangi (disembunyikan) bagi beliau perkara ghaib,
sedang kalian malah bisa tahu?! Padahal Allah -Azza wa Jalla- sungguh telah berfirman tentang diri-Nya,
“(Dia
adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka dia tidak memperlihatkan
kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang
diridhai-Nya. Maka Sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga
(malaikat) di muka dan di belakangnya“. (QS.Al-Jin : 26-27).
Ini
adalah ayat kedua yang menunjukkan kafirnya orang yang mengaku tahu
perkara ghaib. Allah -Ta’ala- juga sungguh telah memerintahkan Nabi-Nya
untuk mengumumkan kepada publik dalam firman-Nya,
“Katakanlah:
Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku,
dan tidak (pula) Aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) Aku
mengatakan kepadamu bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti
kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang
yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS.Al-An’am : 50)”.
Hukum Ilmu Pengasih
Ada
sebagian orang tua yang jahil, ketika anaknya tidak akur, dan damai
dengan suami atau istrinya sebab keduanya menikah secara paksa. Maka si
orang tua pun mendatangi Mbah dukun alias tukang sihir sambil minta ilmu
pengasih (semacam sihir) untuk merukunkan kedua pasangan itu. Padahal
ini adalah haram, karena ia sihir !!
Karenanya,
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin-rahimahullah- berkata dalam
kitabnya Fatawa Arkan Al-Islam (hal. 153) ketika beliau ditanya tentang
merukunkan dua pasangan dengan ilmu sihir alias ilmu pengasih, “Ini
adalah perbuatan haram, tidak boleh !! Ini yang disebut dengan “ilmu
pengasih”. Sihir yang terjadi dengannya cerai, maka ini disebut dengan
“pelet”, dan ini juga adalah haram!! Terkadang ia adalah kekafiran dan
kesyirikan. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Keduanya
tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:
“Sesungguhnya kami Hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu
kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan
sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan
sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka
mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa
yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya
keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui“. (QS. Al-Baqarah : 102).
Jadi,
melakukan sihir adalah haram, walaupun dengan niat baik, yaitu ingin
merukunkan kedua pasangan, maka hal itu tetap haram. Demikian pula
seseorang tak boleh melakukan sihir dalam rangka menghibur orang seperti
yang biasa ditampilkan oleh para penjual obat tradisional di sebagian
pasar kaum muslimin; atau seperti acara yang ditampilkan dalam sebagian
siaran televisi, seperti “Acara Penampakan Hantu”, “Sulap“.
Seorang muslim dilarang keras untuk mendatangi para tukang sihir yang kita kenal dengan “para normal”, “peramal” alias “dukun” sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاٌة أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
“Barang
siapa yang mendatangi peramal, kemudian menanyakan kepadanya tentang
sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama emapat puluh hari” . [HR. Muslim (2230)
Al-Imam
Abu Zakariya An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, "Adapun arrof (peramal),
sungguh telah lewat penjelasannya, dan bahwa ia adalah termasuk
golongan para dukun". [Lihat Al- MinhajSyarh Shohih Muslim (14/227)]
Bahkan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَنْ
أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ
بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang
siapa yang mendatangi dukun atau arraf (peramal) lalu membenarkan apa
yang ia katakan, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada
Muhammad“. [HR. Ahmad dalam Musnad-nya (2/429/no.9532), Al-Hakim
dalam Al-Mustadrok (1/8/no.15), Al Baihaqi (7/198/no.16274), dan
di-shahih-kan oleh Syaikh Al Albaniy dalam Shohih At-Targhib (3047)
Maksudnya, ia telah mengingkari ayat yang diturunkan kepada Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berikut ini,
"Katakanlah:
"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara
yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan
dibangkitkan". (QS. An-Naml: 65) [Lihar Al-Qaul Al- Mufid (hal.33), cet. Darul Aqidah].
Hadits
ini menunjukkan kafirnya orang yang membenarkan para tukang sihir
(dukun, para normal, dan peramal), jika ia meyakini bahwa tukang sihir
itu mengetahui perkara ghaib. Adapun hadits yang sebelumnya, menunjukkan
tidak kafirnya orang yang membenarkan dukun atau peramal, jika ia tidak
meyakini demikian, tapi ia meyakini bahwa itu adalah berita dari jin
yang dicuri dengar dari malaikat. Perlu diketahui bahwa sekalipun ia tak
kafir, namun membenarkan dukun adalah dosa besar yang menyebabkan
pahala sholat tertolak !!
Abdur Ra’uf Al-Munawiy-rahimahullah- berkata, “Hadits
ini dengan hadits yang sebelumnya tak ada kontradiksi, karena
maksudnya, orang yang membenarkan dukun jika ia meyakini bahwa si dukun
mengetahui perkara ghaib, maka ia kafir; jika ia meyakini bahwa jin
membisikkan kepada si dukun sesuatu yang ia curi dengar dari malaikat,
dan bahwa hal itu melalui wangsit (dari jin), lalu ia (orang yang datang
ke dukun) membenarkan dukun dari cara seperti ini, maka ia tak kafir“. [Lihat Faidhul Qodir (6/23/no.10883)]
Inilah
hukumnya orang yang mendatangi para dukun alias tukang sihir. Orang
yang mendatanginya walaupun untuk sekedar mengujinya, maka sholatnya tak
diterima. Lebih lagi jika ia membenarkannya, maka para ulama’
menyatakan kafirnya orang ini. Wallahu a’lam.
Tuntunan bagi Mu’allaf
Orang
kafir ketika masuk Islam, maka hendaknya ia segera mengucapkan
syahadatain (dua kalimat syahadat), jangan menunda hal itu dengan
kegiatan apapun. Tapi hendaknya ia segera mengucapkan kalimat
syahadatain.
Para ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah di sebuah negeri Timur Tengah pernah ditanya, “Seorang yang kafir mau masuk Islam. Apakah ia langsung mengucapkan syahadatain ataukah ia berwudhu’ lebih dahulu?”
Para
ulama kita tersebut yang tergabung dalam sebuah lembaga fatwa Al-Lajnah
Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ memberikan jawaban, “Dia
mengucapkan syahadatain lebih dulu, lalu ia bersuci untuk sholat;
disyari’atkan mandi, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
memerintahkan sebagian sahabat hal itu (mandi) saat ia masuk Islam“. [Lihat FatawaAl-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ (1/88-89), cet. Dar Balansiyah]
Jika
seorang masuk ke dalam Islam, maka diwajibkan bagi dirinya untuk mandi
wajib (seperti mandi junub) setelah mengucapkan kalimat syahadatain
sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits dari Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam-. Ini perlu diketahui, karena terkadang seorang kafir
masuk ke dalam Islam, namun tidak ada seorang muslim pun yang tahu kalau
mandi bagi si kafir tersebut wajib baginya, ketika ia sudah usai
ber-syahadat. Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya mandi saat seorang
masuk Islam, sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
عَنْ
قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Dari Qois bin ‘Ashim bahwa ia telah masuk Islam, lalu ia diperintahkan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- untuk mandi dengan air dan daun bidara“.
[HR. Abu Dawud (351), At-Tirmidziy (602), dan An-Nasa`iy (1/109), dan
di-shohih-kan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy dalam Irwa’
Al-Gholil (128)]
Dikutip dari http://almakassari.com/?p=294 dari Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 69 Tahun II, Judul: Mengaku Tahu Perkara Ghaib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar