Oleh:
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA [1]
“RIWAS (Ritual
Ziarah Wali Songo)” sebuah istilah yang amat familiar di telinga
sebagian kalangan. Mereka seakan mengharuskan diri untuk melakukannya, minimal
sekali setahun. Apapun dilakukan demi mengumpulkan biaya perjalanan
tersebut. Manakala ditanya, apa yang dilakukan di sana ? Amat beragam
jawaban mereka. Ada yang ingin shalat, berdoa untuk kenaikan pangkat,
kelancaran rizki atau agar dikaruniai keturunan dan lain-lain.
Kepada siapa meminta ? Ada yang terang-terangan meminta kepada mbah
wali. Namun ada pula yang mengatakan bahwa ia tetap meminta kepada Allâh
Azza wa Jalla, tapi supaya cepat dikabulkan mereka sengaja memilih
makam orang-orang ‘linuwih’ tersebut.
Yang akan dibahas dalam tulisan sederhana berikut bukan hukum ziarah
kubur. Karena itu telah maklum disunnahkan dalam ajaran Islam, jika
sesuai dengan adab-adab yang digariskan. Namun yang akan dicermati di
sini adalah: hukum shalat di kuburan dan berdoa di sana. Semoga paparan
berikut bermanfaat !
PERTAMA: SHALAT DI KUBURAN
Shalat di kuburan hukumnya haram, bahkan sebagian Ulama mengkategorikannya dosa besar. [2] Praktek ini
bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik dan tindakan menjadikan
kuburan sebagai masjid. Karena itulah agama kita melarang praktek
tersebut. Amat banyak nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
menegaskan hal tersebut. Di antaranya :
1. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. [Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad Radhiyallahu anhu]
Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan
terlarangnya shalat menghadap ke arah kuburan. Imam Syâfi’i
rahimahullah mengatakan, ‘Aku membenci tindakan pengagungan makhluk
hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya.”[3]
al-‘Allâmah al-Munawi rahimahullah (w. 1031 H) menambahkan, “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan; dalam
rangka mengingatkan umatnya agar tidak mengagungkan kuburannya, atau
kuburan para wali selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab
bisa jadi mereka akan berlebihan hingga menyembahnya.” [4]
Berdasarkan hukum asal, larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas menunjukkan bahwa perbuatan yang dilarang hukumnya adalah haram.
Demikian keterangan dari Imam ash-Shan’ani rahimahullah (w. 1182 H). [5]
2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah
kalian menjadikannya kuburan. [HR. Bukhâri (I/528-529 no. 432) dari Ibn
Umar Radhiyallahu anhuma]
Hadits ini menerangkan agar rumah jangan dikosongkan dari shalat, sebab
rumah yang tidak dipakai untuk shalat, terutama shalat sunnah, bagaikan
kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat.
Imam al-Baghawi rahimahullah (w. 510 H), setelah membawakan hadits di
atas, menyimpulkan, “Hadits ini menunjukkan bahwa kuburan bukanlah
tempat untuk shalat.” [6]
Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Ibn Batthal rahimahullah (w. 449 H) [7] dan Ibn Rajab rahimahullah (w. 795 H). [8]
Ibnu Hajar al-‘Asqalany rahimahullah (w. 852 H) menyimpulkan lebih luas
lagi. Kata beliau rahimahullah, “Kuburan bukanlah tempat untuk
beribadah.” [9]
3. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
Bumi seluruhnya adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan
kamar mandi. [HR. Ahmad (XVIII/312 no. 11788) dari Abu Sa’id
Radhiyallahu anhu. Sanadnya dinilai kuat oleh al-Hâkim[10] , Ibnu
Taimiyyah rahimahullah [11] dan al-Albâni[12].
Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah (w. 620 H) menjelaskan bahwa bumi secara
keseluruhan bisa menjadi tempat shalat kecuali tempat-tempat yang
terlarang untuk shalat di dalamnya, seperti kuburan[13].
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah [14] dan al-Hâfizh al-‘Iraqi rahimahullah (w. 806 H) [15].
4. Doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ
اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah.
Allâh sangat murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka
masjid [16]
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah (w. 463 H) menerangkan, “Dahulu orang
Arab shalat menghadap berhala dan menyembahnya. Sehingga Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa khawatir umatnya akan melakukan apa
yang dilakukan umat sebelum mereka. Biasanya, jika nabi mereka wafat,
mereka akan berdiam di sekeliling kuburannya, sebagaimana yang mereka
lakukan terhadap berhala. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang
disembah”, dengan bershalat menghadap kepadanya, sujud ke arahnya dan
menyembah. Allâh Azza wa Jalla sangat murka atas orang yang melakukan
hal itu.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan para sahabat
dan umatnya agar tidak terjerumus kepada perilaku buruk kaum terdahulu.
Mereka shalat menghadap kuburan para nabi dan menjadikannya sebagai
kiblat dan masjid. Sebagaimana praktek para pemuja berhala terhadap
berhala mereka. Ini merupakan syirik akbar!” [17]
5. Hadits-hadits yang berisikan larangan untuk menjadikan kuburan
sebagai masjid. Di antaranya yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Semoga Allâh membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para
nabi mereka sebagai masjid. [HR. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim
(I/376 no. 530) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menuturkan bahwa hadits di atas
mengandung “larangan untuk sujud di atas kuburan para nabi. Semakna
dengan itu juga haramnya sujud kepada selain Allâh Azza wa Jalla. Hadits
ini juga bisa diartikan larangan untuk menjadikan kuburan para nabi
sebagai kiblat shalat. Setiap makna dalam bahasa Arab yang terkandung
dalam hadits ini; maka itu termasuk perbuatan yang terlarang.” [18]
Setelah membawakan salah satu hadits yang berisikan larangan membangun
masjid di atas kuburan, Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah (w. 804 H)
berkata, “Hadits ini dalil dibencinya shalat di kuburan … Baik shalat di
atasnya, di sampingnya atau menghadap ke arahnya. Tidak ada bedanya,
semuanya dibenci (agama).” [19]
HIKMAH DI BALIK TERLARANGNYA SHALAT DI KUBURAN
Para Ulama Islam sepakat bahwa menyengaja shalat di kuburan adalah
terlarang.[20] Tidak ada yang membolehkannya, apalagi menganjurkannya.
Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan ‘illah (sebab)
terlarangnya perbuatan tersebut; [21]
Sebagian Ulama memandang bahwa sebabnya adalah karena kuburan identik
dengan najis. Sebab tanahnya bercampur dengan nanah bangkai manusia. Ada
juga Ulama lain yang berpendapat bahwa sebabnya adalah karena khawatir
umat ini akan terjerumus ke dalam perbuatan syirik.
Di antara yang memilih pendapat kedua ini: Abu Bakr al-Atsram
rahimahullah (w. 273)[22] , al-Mawardi rahimahullah (w. 450 H)[23] , Ibn
Qudâmah rahimahullah [24] , Ibn Taimiyyah rahimahullah (w. 728 H)[25] ,
as-Suyuthi (w. 911 H)[26] dan yang lainnya.
Setelah menjelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan
adalah karena dikhawatirkan akan mengakibatkan tindakan menjadikan
kuburan sebagai berala, Imam Suyuthi memperjelas njelaskan bahwa maksud
utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan umat ini
akan menjadikan kuburan sebagai berhala, Imam as-Suyuti memeperjelas,
“Inilah sebabnya mengapa syariat melarang perbuatan tersebut. Dan ini
pula yang menjerumuskan banyak orang terdahulu ke dalam syirik akbar
atau syirik di bawahnya.
Tidak jarang engkau dapatkan banyak kalangan sesat yang amat merendahkan
diri di kuburan orang salih, khusyu’, tunduk dan menyembah mereka
dengan hati. Sebuah bentuk peribadatan yang tidak pernah mereka lakukan,
sekalipun di rumah-rumah Allâh; maksudnya adalah masjid! …
Inilah mafsadah (keburukan) yang dicegah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dari sumbernya. Hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang secara mutlak shalat di kuburan, sekalipun tujuannya bukan
untuk mencari berkah tempat tersebut. Demi menutup pintu atau celah yang
berpotensi menghantarkan kepada kerusakan yang bisa memicu peribadatan
kepada berhala.” [27]
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan adalah karena
kuburan tempat yang najis, maka ini kurang pas dan tidak didukung oleh
nas. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (w. 751 H) telah berpanjang lebar
dalam menjelaskan hal itu. Di antara argumen yang beliau rahimahullah
paparkan :
1. Seluruh hadits yang berisikan larangan shalat di kuburan tidak
membedakan antara kuburan yang baru maupun kuburan lama yang digali
kembali.
2. Tempat masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulunya adalah
kuburan kaum musyrikin. Sebelum dibangun masjid di atasnya, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kuburan tersebut digali
lalu tanahnya diratakan kembali. Dan beliau tidak menyuruh supaya
tanahnya dipindahkan. Bahkan setelah diratakan, langsung dipakai untuk
shalat.
3. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani
lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid. Telah
maklum dengan jelas bahwa larangan itu bukan karena najis, karena jika
demikian niscaya larangan tersebut tidak khusus untuk kuburan para nabi.
Apalagi kuburan mereka adalah tempat yang suci, dan tidak mungkin
dianggap najis, karena Allâh k melarang bumi untuk memakan jasad mereka.
[28]
HUKUM ORANG SHALAT DI KUBURAN
Secara umum shalat di area kuburan itu terlarang, namun bagaimana dengan
orang yang melakukannya ? Apakah hukumnya satu atau bagaimana ?
Kalau kita lihat faktanya, orang-orang yang shalat di area kuburan itu
memiliki tujuan beragam. Berdasarkan ini, maka hukum bagi masing-masing
pelaku juga berbeda berdasarkan niatnya.
Pertama: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan mempersembahkan shalatnya untuk penghuni kubur.
Ini jelas masuk dalam kategori syirik akbar (besar); karena ia telah
mempersembahkan ibadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala menegaskan :
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allâh, maka janganlah kalian menyembah apa pun selain Allâh. [al-Jinn/72:18]
Kedua: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan bertabaruk (memohon
berkah) dengan tempat kuburan tertentu. Perbuatan seperti ini termasuk
bid’ah yang mungkar dan penyimpangan dari ajaran Allâh Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik kuburan tersebut berada
di arah kiblatnya maupun tidak. Karena itu termasuk mengada-adakan suatu
yang baru dalam praktek beribadah.
as-Suyuthi rahimahullah menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja
shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan
dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta
mengharapkan doanya terkabul di situ; maka ini merupakan inti
penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
(Dan ini ) menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah
yang tidak dizinkan oleh Allâh k dalam agama, juga Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam maupun para imam kaum Muslimin yang setia mengikuti
ajaran dan sunnah beliau.” [29]
Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H)[30] , al-Munawa[31] dan ar-Rumi (w. 1043 H)[32] juga menyampaikan keterangan senada.
Ketiga: Shalat di kuburan tanpa di sengaja, hanya karena kebetulan
bertepatan dengan masuknya waktu shalat. Tanpa ada tujuan bertabarruk
(ngalap berkah darinya) atau mempersembahkan ibadah untuk selain Allâh
Azza wa Jalla.
Tentang yang ketiga ini, para Ulama berbeda pendapat [33]. Namun yang
lebih kuat adalah pendapat yang melarang, karena larangan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersifat umum serta demi menutup rapat
pintu yang berpotensi menghantar kepada kesyirikan. Dan ini merupakan
pendapat mayoritas Ulama, sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Mundzir (w.
319 H). [34]
Keempat: Shalat di kuburan dengan tujuan shalat jenazah.
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berikut menunjukkan hal itu boleh dilakukan :
أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا،
فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ
عَنْهَا أَوْ عَنْهُ، فَقَالُوا: "مَاتَ". قَالَ: "أَفَلَا كُنْتُمْ
آذَنْتُمُونِي؟". قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ.
فَقَالَ: "دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ!" فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا،
ثُمَّ قَالَ: "إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى
أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي
عَلَيْهِمْ"
“Dikisahkan seorang wanita hitam atau pemuda biasa menyapu masjid. Suatu
hari Rasûlullâh Shallalalhu ‘alaihi wa sallam kehilangan dia, sehingga
beliaupun menanyakannya.
“Dia sudah meninggal” jawab para sahabat.
“Mengapa kalian tidak memberitahuku?”
Mereka seakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap orang tersebut.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunjukkan padaku di mana
kuburannya?”
Setelah ditunjukkan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
atasnya, lalu bersabda, “Sesungguhnya para penghuni kuburan ini diliputi
kegelapan. Sekarang Allâh meneranginya lantaran aku shalat atas
mereka”. [HR. Bukhâri (I/551 no. 438) dan Muslim (II/659 no. 956) dengan
redaksi Muslim].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari tesis kami yang berjudul Mazhâhirul Inhirâf fî
Tauhîdil ’Ibâdah ladâ Ba’dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islam minhâ
(hlm. 974-990).
[2]. Lihat az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ’ir karya Ibn Hajar al-Haitamy (I/148).
[3]. Syarh Shahîh Muslim (VII/42).
[4]. Faidh al-Qadîr (VI/318).
[5]. Lihat Subul as-Salâm (I/403).
[6]. Syarh as-Sunnah (II/411).
[7]. Lihat Syarh Shahih al-Bukhari (II/86).
[8]. Lihat Fathul Bâri karya Ibn Rajab (III/232).
[9]. Fathul Bâri karya beliau (I/528).
[10]. Al-Mustadrak (I/251).
[11]. Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/189).
[12]. Irwâ’ al-Ghalîl (I/320).
[13]. Lihat al-Mughni (II/472).
[14]. Cermati Syarah Shahîh Muslim (V/5).
[15]. Sebagaimana dinukil oleh al-Munawi dalam Faidhul Qadîr (III/349).
[16]. HR. Mâlik dalam al-Muwattha’ (II/72 no. 452) dari ‘Atha’ bin Yasar
t . Hadits ini mursal sahih. Dalam Musnadnya (I/220 no. 440 –Kasyf
al-Astâr) al-Bazzar menyambung sanad hadits ini hingga menjadi marfû’.
Begitu pula Ibn ‘Abd al-Barr dalam at-Tamhîd (V/42-43) menyambungnya
dari jalan al-Bazzar. Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini sahih dalam
Tahdzîrus Sâjid (hlm. 25 no. 11) dan Ahkâmul Janâ’iz (hlm. 217).
[17]. At-Tamhîd (V/45).
[18]. At-Tamhîd (VI/383).
[19]. Al-I’lâm bi Fawâ’id ‘Umdatil Ahkâm (IV/502).
[20]. Cermati Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488).
[21]. Lihat al-Hâwiy al-Kabîr karya al-Mawardy (III/60), Raddul Muhtâr
karya Ibn ‘Abidin (II/42-43) dan Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm
(II/190).
[22]. Sebagaimana dinukil Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ighâtsatul Lahfân (I/357).
[23]. Periksa al-Hâwiy al-Kabîr (III/60).
[24]. Cermati al-Mughni (II/473-474 dan III/441).
[25]. Lihat Iqtidhâ’ush Shirâthil Mustaqîm (II/190-191).
[26]. Baca al-Amr bi al-Ittibâ’ (hlm. 136-139).
[27]. al-Amr bi al-Ittibâ’ (hlm. 136-139).
[28]. Lihat: Ighâtsah al-Lahfân (II/353-356). Masih ada argumen lain,
bisa dibaca di Mujânabah Ahlits Tsubûr al-Mushallîn fî al-Masyâhid wa
‘inda al-Qubûr karya Abdul Aziz ar-Rajihy (hlm. 28-30).
[29]. Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hlm. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193).
[30]. Cermati Az-Zawâjir (I/148).
[31]. Periksa Faidhul Qadîr (VI/407).
[32]. Lihat Majâlisul Abrâr (hlm. 126, 358-359, 364-365) sebagaimana
dalam Juhûd ‘Ulamâ’ al-Hanafiyyah fî Ibthâl ‘Aqâ’idil Quburiyyah karya
Syamsuddin al-Afghany (III/1593-1594).
[33]. Untuk mengetahui pendapat mereka, baca; untuk referensi Madzhab
Hanafi : al-Ikhtiyâr li Ta’lîl al-Mukhtâr karya al-Mushily (I/97),
Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (I/380), Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kasany
(I/335-336) dan al-Mabsûth karya as-Sarkhasy (I/206-207). Madzhab Maliki
: al-Mudawwanah karya Abu al-Walid Ibn Rusyd (I/182) dan Mawâhib
al-Jalîl karya al-Hathab (II/63-64). Madzhab Syafi’i: Al-Umm karya Imam
Syafi’i (II/632), al-Muhadzab karya asy-Syirazy (I/215-216) dan
al-Majmû’ karya an-Nawawy (III/163-165). Madzhab Hambali: Al-Mughny
karya Ibn Qudamah (II/473-474), al-Inshâf karya al-Mardawy (I/489) dan
ar-Raudh al-Murbi’ karya Ibn al-Qasim (I/537). Madzhab Dzahiri:
Al-Muhallâ karya Ibn Hazm (IV/27-33).
[34]. Cermati al-Ausath (V/185).
http://almanhaj.or.id/content/3313/slash/0/hukum-shalat-di-kuburan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar