وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعاً كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Janganlah kalian termasuk orang-orang yang musyrik
yaitu orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi berpartai-partai
dan masing-masing partai merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Persatuan
merupakan satu landasan penting untuk membangun kehidupan yang
istiqamah di atas jalan Allah Subhanahu wa ta’ala . Tapi sungguh sayang,
kalimat benar dan mulia ini banyak dipergunakan secara keliru oleh
berbagai gerakan (firqah/kelompok) yang dilandasi oleh berbagai ambisi
dan hawa nafsu. Mereka menggunakan kalimat tersebut untuk bersembunyi di
balik nama perjuangan Islam, namun hakikat tujuan mereka yang
sebenarnya adalah untuk meraup keuntungan duniawi. Yang lebih tragis,
ulah mereka ini banyak menimbulkan perpecahan kaum muslimin di
mana-mana.
Seruan
persatuan atas nama Islam namun didasari oleh kebatilan sudah
berlangsung sejak dulu. Di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ,
orang-orang musyrikin jahiliyah pernah menawarkan kepada beliau ajaran
sinkretisme, yaitu persatuan dalam praktek ibadah antara kaum musyrikin dengan kaum muslimin. (Sirah Ibnu Hisyam, 1/334)
Di
Mesir, muncul gerakan persatuan agama samawi, sebagaimana yang
diserukan oleh Hasan Al-Banna. (Da’watul Ikhwan fil Mizan hal. 156).
Para politikus dari kalangan Ikhwanul Muslimin menjadikan kalimat
persatuan sebagai pilar
untuk menyatukan berbagai elemen yang ada di tubuh kaum muslimin, yang
mereka gunakan sebagai batu loncatan untuk meraih kekuasaan.
Berlandaskan “ikramul muslim”,
kelompok Jamaah Tabligh membangun persaudaraan dengan berbagai firqah
dan gerakan sebagai sarana untuk menebarkan “kebodohan.” (Jama’ah
Tabligh Ta’rifuha ‘Aqaiduha hal. 402)
Firqah Sururiyah dengan syubhat “inshaf” (prinsip yang mengharuskan menyebut kebaikan
seseorang yang dikritik karena melakukan penyimpangan dalam agama.
Prinsip ini merupakan kaidah yang baru/bid’ah), menebarkan faham yang
melumpuhkan al-wala` wal bara`. (Manhaju Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi
Naqdir Rijal hal. 55)
Di tahun 1965 muncul fatwa dari sebagaian “ulama” di Indonesia yang membolehkan kaum muslimin membangun kerjasama dengan kaum komunis/Nasakom. (Membahas Khilafiyah hal. 157)
JIL (Jaringan Islam Liberal)
yang digembongi Ulil Abshar meracuni kaum Muslimin dengan label
persatuan agama samawi. (Majalah Asy-Syari’ah edisi 10 hal. 22)
Semua
bentuk persatuan di atas merupakan kepanjangan tangan dari gerakan
teologi pluralis yang selalu ditawarkan musuh-musuh Allah Subhanahu wa
ta’ala epada umat Islam sebagai pisau bunuh diri dalam setiap masa.
Sejenak mari kita simak uraian berikut ini.
Perpecahan
yang mengerikan telah menimpa umat yang terdahulu sehingga mereka
mendapatkan kehancuran. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang
artinya:
“Dan
janganlah kalian menyerupai orang-orang yang berpecah dan berselisih
setelah datang keterangan kepada mereka dan bagi mereka adzab yang
besar.” (Al-Imran: 105)
Ibnu
Katsir berkata (dalam menafsirkan ayat di atas): “Allah tabaaraka wa
ta’ala melarang umat ini untuk menyerupai umat terdahulu dalam
perpecahan dan perselisihan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/390)
Perpecahan
merupakan sarana bagi setan untuk membelenggu kaum muslimin agar selalu
tercabik-cabik dalam permusuhan dan perpecahan, sehingga dalam banyak
ayat Allah Subhanahu wa ta’ala melarang kaum muslimin untuk berpecah
belah. Di antaranya dalam ayat berikut, yang artinya:
“Berpeganglah kalian seluruhnya dengan tali Allah dan jangan berpecah belah.” (Ali ‘Imran: 103)
Ibnu Katsir t berkata: “Telah diperintahkan kepada mereka (kaum muslimin) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/389)
Abu Ja’far At-Thabari berkata: “Yang
dimaksud oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dari ayat tersebut adalah:
Berpeganglah kalian dengan agama Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah
Dia perintahkan kepada kalian, dan dengan janji-Nya yang telah diambil
atas kalian di dalam Kitab-Nya, yaitu berkumpul di atas kalimat yang
benar dan berserah kepada kalimat Allah Subhanahu wa ta’ala .” (Tafsir Ath-Thabari, 3/378)
“Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (Al-An’am: 159)
Ibnu
Katsir menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak
bertanggung jawab (berlepas diri) dari semua yang memisahkan dari agama
Allah Subhanahu wa ta’ala atau yang menyelisihinya. (Tafsir Ibnu
Katsir, 2/200)
“Dia
telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama dan apa yang telah di
wasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:
tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)
Ibnu Katsir t berkata: “Allah
telah mewasiatkan kepada seluruh nabi ‘alaihish shalatu was salam untuk
bersatu dan berjamaah serta melarang mereka dari perpecahan dan
ikhtilaf.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/109)
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Janganlah
kalian berpecah belah dalam perkara tauhid, dalam keimanan kepada
Allah, ketaatan kepada Rasul-Nya, dan dalam menerima risalahnya.” (Fathul Qadir, 4/694)
“Janganlah
kalian menjadi golongan orang-orang musyrik yaitu dari orang-orang yang
memecah belah agamanya menjadi berpartai-partai dan masing-masing
partai merasa bangga dengan yang ada pada mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Di
sini ada peringatan bagi kaum Muslimin dari perselesihan, perpecahan
sehingga berkubu-kubu, setiap golongan fanatik dengan apa yang dimiliki
baik yang haq dan batil, sehingga dengannya mereka menyerupai
orang-orang musyrik dalam berpecah belah. Ingat, agama adalah satu,
Rasul yang satu, dan sesembahan yang satu.” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan hal. 590)
Ibnul Qayyim berkata: “Termasuk
seruan jahiliyah adalah menyeru untuk fanatik kepada kesukuan atau
fanatisme kepada tokoh tertentu. Termasuk juga fanatisme dengan madzhab,
partai-partai, masyayikh, atau mendahulukan hawa nafsu dan kesukuan
dalam pembelaan terhadap segolongan orang bahkan menisbatkan diri
kepadanya serta menyeru kepadanya (nafsu dan kesukuan). Demikian pula
saat dia memberikan loyalitas atau permusuhan dan mengukur manusia
dengannya. Ini semua merupakan seruan jahiliyah.” (Taisirul ‘Azizil Hamid hal. 350)
“Jikalau
Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan umat yang satu tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang dirahmati
Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Allah
mengabarkan, jikalau Dia menghendaki niscaya seluruh manusia akan
dijadikan satu dalam keutuhan agama Islam karena kehendak-Nya tidak
terbatasi dan tidak ada sesuatu apapun yang bisa menghalangi-Nya. Tetapi
tetap dengan hikmah-Nya mereka (manusia) berselisih, menyelisihi jalan
yang lurus, dan mengikuti jalan-jalan yang menjerumuskan ke an-naar
(neraka). Masing-masing dari mereka menyatakan: ‘Kami berkata yang benar
dan yang lainnya salah.’ Dan Allah membimbing (untuk sebagian umat)
kepada ilmu tentang al-haq, kemampuan beramal dengannya dan persatuan,
sehingga mereka merasakan kedamaian sejak dini yang kemudian teriringi
dengan pertolongan dan taufiq dari Allah Subhanahu wa ta’ala . Adapun
yang lainnya adalah umat yang terhinakan dan berjalan dengan diri mereka
sendiri.” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan hal. 348)
Ibnu Katsir berkata: “Orang-orang
yang dirahmati adalah para pengikut para rasul yang selalu berpegang
teguh dengan apa yang diperintahkan agama dan diperintahkan para rasul.” (Tafsir Ibnu Katsir: 481)
Qatadah berkata: “Orang-orang
yang dirahmati Allah adalah Ahlul Jama’ah walaupun negeri dan
keberadaan mereka berjauhan, sedangkan pelaku kemaksiatan kepada Allah
adalah Ahlul Furqah, walaupun negeri dan keberadaan mereka bersatu.” (Tafsir Ibnu Katsir: 482)
Diriwayatkan dari Mu’awiyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda yang artinya: “Ketahuilah,
sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah terpecah belah menjadi 72
firqah dan sungguh akan terpecah umat ini menjadi 73 firqah.” (HR.
Ahmad dalam Al-Musnad, 4/102, Abu Dawud dalam As-Sunnah Bab Syarhus
Sunnah no. 4597 dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah
no. 204)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya
Allah meridhai bagi kalian tiga (perkara) dan membenci bagi kalian tiga
perkara: Meridhai bagi kalian untuk hanya beribadah kepada-Nya, jangan
kalian sekutukan Dia dengan sesuatu apapun, dan kalian semua berpegang
teguh kepada tali Allah dan jangan kalian berpecah belah…” (HR. Muslim Bab An-Nahyu ‘an Katsratil Masail no. 1715)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Berpegang
teguh dengan tali Allah adalah berpegang dengan apa yang telah dibawa
Rasulullah: Al Qur`an, As Sunnah, dan yang mencakup semua bimbingan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berupa perkara akidah, ibadah,
akhlak, muamalah. Tidak boleh bagi seorang muslim baik secara pribadi
ataupun golongan/masyarakat muslimin, atau suatu negeri muslim dari
rakyat dan pemerintah, untuk keluar dari perkara ushuluddin atau
furu’nya. Akan tetapi wajib bagi umat untuk beriman dan berpegang teguh
secara menyeluruh dengan apa yang telah dibawa oleh penutup para nabi
dan pemimpin para rasul, serta selalu mendahulukan bimbingan (ajaran
nabi) dari semua ucapan dan bimbingan yang lainnya.” (Mudzakkiratul Hadits An-Nabawi hal. 39)
Tunduk dan taat di atas al-haq merupakan landasan persatuan yang hakiki. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan
patuhlah kalian semua kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian
berselisih sehingga kalian akan melemah dan pudar kekuatan kalian dan
bersabarlah sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Agama
(Islam) adalah satu, yaitu apa yang telah dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam . Tidak bisa dipecah menjadi beberapa sekte
atau madzhab. Bahkan agama (kebenaran) adalah satu dan datang dari
Allah, yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
dan apa yang beliau tinggalkan kepada umatnya. Yaitu beliau tinggalkan
umatnya di atas kemurnian (kejelasan). Malamnya seperti siangnya, tidak
ada yang menyeleweng darinya kecuali akan binasa.” (Lamhah ‘Anil Firaq Ad-Dhallah hal. 10)
Abul Qasim Al-Ashbahani berkata: “Allah
telah memerintahkan kepada kalian untuk menjadi orang yang mengikuti
(taat), mendengar, dan patuh. Seandainya umat dibebaskan dengan akalnya,
qias, dan hawa nafsunya dalam memahami tauhid dan mencari keimanan,
sungguh mereka akan sesat.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah hal. 141)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sungguh
jelas bahwa sebab persatuan dan keutuhan adalah mengumpulkan (menerima)
semua bagian agama dan mengamalkanya secara keseluruhan. Hal itu
merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang Esa tidak ada sekutu baginya,
yang diwujudkan secara lahir dan batin sebagaimana yang telah
diperintahkan. Dan faedah dari berjamaah adalah tercurahkannya rahmat
Allah, keridhaan-Nya, keselamatan, kebahagiaan dunia dan akhirat, muka
yang putih/cemerlang. Adapun buah dari perpecahan adalah adzab Allah,
laknat, muka yang hitam dan berlepasdirinya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam darinya.” (Majmu’ Fatawa, 1/17)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Berpegang teguh dengan Kitabullah sesuai dengan apa yang Allah inginkan (bisa) terealisasikan dalam tiga perkara:
1.
Menerima ayat-ayat Al Qur`an Al-Karim dan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam yang shahih dengan penuh kejujuran secara
lahir dan batin tanpa ada keraguan sedikitpun dalam menerima perkara
itu. Sikap penerimaan ini harus tegak di atas keyakinan yang kokoh bahwa
Al Qur`anul Karim dan As Sunnah yang suci terjaga dengan penjagaan dari
Yang Maha mengetahui perkara ghaib. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman
yang artinya:
“Sungguh telah Kami turunkan Ad-Dzikr dan sungguh Kami akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
2.
Memahami Al Qur`an dan As Sunnah di atas pemahaman para shahabat dan
siapa saja yang selalu mengikuti mereka dengan baik. Sungguh tidak ada
keselamatan dari penyelewengan/kesesatan dalam memahami Al Qur`an dan As
Sunnah kecuali dengan cara ini. Kebanyakan firqah-firqah yang
menyeleweng dari jalan Allah disebabkan tidak adanya penyandaran kepada
pemahaman para Salafush Shalih. Dan Ahlus Sunnah adalah umat yang paling
bahagia dengan pemahaman para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan
baik.
3.
Beramal dengan Al Qur`anul Karim dan As Sunnah yang suci secara lahir
dan batin sebagaimana yang telah diamalkan para shahabat dan yang
mengikuti mereka dengan baik. (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal.
21-22)
Berjamaah
dengan generasi pertama merupakan dasar persatuan yang hakiki karena
para shahabat merupakan pemimpin bagi umat yang setelahnya dalam
beragama. ‘Abbad bin ‘Abbad berkata: “Al Qur`an adalah imam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam adalah pemimpin bagi para shahabatnya, dan
shahabat-shahabat beliau adalah pemimpin bagi umat yang setelahnya.” (Min Washaya Salaf hal. 28).
‘Umar bin Abdul ‘Aziz berkata: “Sungguh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya telah
memberikan bimbingan. Barangsiapa yang mengambilnya maka hal itu adalah
suatu sikap membenarkan Kitabullah, penyempurnaan ketaatan, dan sebuah
ketegaran dalam beragama. Barang siapa mengambil petunjuk dengannya
sungguh dia akan terbimbing dan barangsiapa menolongnya maka dia akan
ditolong. Siapa yang menyelisihinya serta mengikuti selain dari jalan
orang-orang yang beriman (para shahabat) maka Allah akan palingkan dia
sebagaimana dia telah berpaling dan akan masukkan dia ke jahannam
sebagai tempat kembali yang paling jelek.” (Min Washaya Salaf hal. 84-85)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan
barangsiapa yang menentang Ar-Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan
mengikuti selain jalan orang-orang mukminin niscaya dia Kami palingkan
sebagaimana dia telah berpaling dan akan Kami masukkan dia ke neraka
jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Abu Muhammad Abdullah bin Abi Zaid Al-Qairuwani berkata: “Bimbingan
As Sunnah harus diterima dengan tidak membenturkannya dengan pikiran
(akal) atau melawannya dengan qiyas. Kita harus menafsirkan dengan apa
yang telah ditafsirkan para Salafush Shalih, beramal dengan apa yang
telah mereka amalkan, meninggalkan apa yang telah ditinggalkannya, dan
menahan diri dari apa yang mereka diam, mengikuti mereka pada apa yang
telah mereka terangkan, menjadikan mereka sebagai qudwah dalam pemahaman
dari apa yang telah mereka alami, dan kita tidak keluar dari jamaah
mereka dalam perselisihan atau penafsiran.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 87)
Ibnu Abi Zamanin berkata: “Sesungguhnya
As Sunnah adalah penjelas Al Quran dan As Sunnah tidak dapat diraih
sekedar dengan qiyas dan akal, akan tetapi diraih dengan ittiba’
(meneladani) kepada para imam dan apa yang sebagian besar dari umat ini
telah berjalan di atasnya. Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyebut dan
memuji segolongan umat dengan firman-Nya:
“Berilah
kabar gembira para hamba-Ku yang mendengarkan suatu ucapan kemudian
mengikuti apa yang terbaik. Mereka adalah orang-orang yang telah diberi
petunjuk Allah dan mereka adalah orang-orang yang memiliki akal.” (Az-Zumar: 18)
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan hambanya dengan firman-Nya yang artinya:
“Ini
merupakan jalan-Ku yang lurus maka ikutlah dan janganlah kalian
mengikuti berbagai jalan, niscaya kalian akan berpecah dari jalan-Nya,
hal itu merupakan wasiat bagi kalian semoga kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153) (Ushulus Sunnah karya Ibnu Abi Zamanin hal. 35)
Al-Imam Al-Ashbahani berkata saat menerangkan posisi shahabat dalam berjamaah (bersatu): “Barangsiapa menyelisihi para shahabat Rasulullah dalam suatu perkara agama maka sungguh dia akan sesat.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/440)
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Asas
ditegakkannya jamaah adalah para shahabat Nabi Muhammad -semoga Allah
merahmati mereka semua- dan mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Maka
barangsiapa yang tidak mengambil dari mereka maka sungguh telah sesat
dan berbuat bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan
dan pelakunya tempatnya adalah neraka.” (Syarhus Sunnah hal. 68)
Berjamaah dengan pemahaman para shahabat merupakan asas persatuan yang harus dijaga. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Sesungguhnya
Ahlus Sunnah merasakan kedamaian yang sejuk di hati mereka, hal ini
disebabkan jelas dan kokohnya kebenaran di dalam hati mereka. Karena
sesungguhnya lafadz As Sunnah memberikan makna keharusan beramal dengan
apa yang telah dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yaitu Al
Qur`an dan As Sunnah. Adapun lafadz al-jamaah maknanya adalah bersatu di
atas al-haq, mengamalkannya dan berjalan di atas jejak salaf.” (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal. 12)
Asy-Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alusy-Syaikh berkata: “Merupakan
suatu kewajiban untuk kita berpegang teguh dengan Ahlus Sunnah wal
Jamaah, berpegang dengan ucapan-ucapan mereka, tidak keluar dari
landasan-landasan, ketentuan-ketentuan dan dari apa-apa yang telah
ditetapkan dari para ulama, karena mereka mengetahui landasan-landasan
Ahlus Sunnah wal Jamaah, dalil-dalil syariah yang tidak diketahui
kebanyakan dari umat manusia bahkan juga mereka yang menisbatkan dirinya
sebagai ulama. Hal ini dikarenakan mantapnya ilmu mereka, sisi pandang
yang tepat, dan kokoh di atas ilmu.” (Adh-Dhawabith Asy-Syar’iyyah Limauqifil Muslim Minal Fitan hal. 27)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bahkan berwasiat untuk memegangi petunjuk para shahabat:
“Hendaknya
kalian pegangi sunnahku dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin, gigitlah
dia dengan gigi gerahammu dan hati-hati kalian dari perkara yang
diada-adakan sungguh setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad, 4/126, At-Tirmidzi no. 2676, Abu Dawud no. 4607, Ibnu Majah no. 34)
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin berkata: “Yang
dimaksud dengan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin adalah mereka yang mewarisi
ilmu yang bermanfaat dan amalan yang baik. Dan umat yang paling berhak
dengan sifat ini adalah para shahabat yang Allah meridhai mereka.
Sungguh Allah telah memilih mereka untuk menyertai Nabi-Nya dalam
menegakkan agama. Dan tidaklah Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana memilih untuk menyertai Nabi-Nya kecuali umat yang paling
sempurna keimanannya, paling benar akalnya, paling lurus amalannya,
paling kuat tekadnya, paling lurus jalan mereka. Sungguh mereka adalah
umat yang paling berhak untuk diikuti setelah Nabi dan juga para imam
yang mengetahui petunjuk dan kebaikan.” (Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah hal. 8 )
Menjauh dari pemahaman para shahabat merupakan tindakan memecah persatuan sebagaimana yang dijelaskan Al-Imam Al-Barbahari: “Ketahuilah
semoga Allah merahmatimu! Sesungguhnya tidak sempurna Islam seseorang
sehingga dia menjadi orang yang muttabi’ (meneladani), membenarkan,
menyerahkan/yakin. Maka barangsiapa menganggap bahwa masih ada urusan
agama yang tidak disampaikan para shahabat Rasulullah kepada kita,
sungguh dia telah menuduh mereka dengan kedustaan. Dan cukup apa yang
dia lakukan sebagai suatu sikap memisahkan diri dan menikam mereka, maka
dia telah berbuat bid’ah, sesat, menyesatkan, membikin suatu perkara
yang baru dalam agama yang bukan darinya.” (Syarhus Sunnah hal. 70)
Persatuan
yang dilandasi dengan kesatuan akidah, manhaj, akhlak serta kemurnian
syariah merupakan rahmat Allah. Adapun perpecahan adalah adzab.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, yang artinya:
“Wajib
bagi kalian berjamaah dan hati-hati dari perpecahan. Sesungguhnya setan
bersama orang yang menyendiri dan dia akan lebih jauh apabila (kalian)
berdua.” (HR. Ahmad, 1/18, At-Tirmidzi no. 2165, An-Nasa`i dalam
Sunanul Kubra no. 9219. Dishahihkan oleh At-Tirmidzi, Al-Hakim, dan
Asy-Syaikh Ahmad Syakir (dinukil dari Al-Wardul Maqthuf, hal. 142), ed)
Dari Ibnu ‘Abbas , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tangan Allah bersama jamaah.”
(HR. At-Tirmidzi no. 2127, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Zhilalul Jannah hal. 40 (diambil dari Al-Wardul Maqthuf, hal. 142), ed)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan kita untuk bersatu di atas
Al Kitab dan As Sunnah serta melarang kita dari perpecahan dan
perselisihan. Karena dalam persatuan di atas Al Kitab dan As Sunnah
terdapat kebaikan yang akan didapatkan baik sekarang atau di masa yang
akan datang, dan di dalam perpecahan terdapat kerusakan baik sekarang
atau di masa yang akan datang.
Hal
ini membutuhkan perhatian yang besar karena dengan berjalannya waktu,
perpecahan, seruan-seruan, sempalan-sempalan sesat, madzhab-madzhab,
jamaah-jamaah yang saling berpecah belah akan semakin banyak. Sehingga
wajib atas seorang muslim untuk hati-hati. Apa yang sesuai dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah harus diambil dari yang menyerukan,
siapun dia karena al-haq merupakan sesuatu yang dicari seorang mukmin.
Adapun
yang menyelisihi apa yang ada dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam maka tinggalkan dia walaupun itu ada pada jamaahnya atau
berada pada orang yang berloyalitas kepadanya, selama dia menyelisihi
Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena tentunya manusia menginginkan keselamatan
dan tidak menginginkan kebinasaan dan kehancuran untuk dirinya. Tidak
perlu dalam masalah seperti ini untuk berbasa-basi, karena
permasalahannya adalah antara jannah (surga) dan an-naar.
Manusia
tidak perlu berbasa-basi, bersikap fanatik, dan membela hawa nafsu
dalam menghadapi selain Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena hal itu akan
bermudharat terhadap dirinya bahkan akan mengeluarkannya dari jalan
keselamatan menuju jalan kebinasaan. Tidak akan berbahaya bagi Ahlus
Sunnah wal Jamaah siapa saja yang menyelisihinya, baik saat engkau
bersama mereka atau saat engkau menyelisihinya. Saat mereka bisa
bersamamu maka segala puji bagi Allah, niscaya mereka akan bersuka cita
dengannya, berarti mereka menginginkan kebaikan untuk umat manusia.
Tetapi saat engkau menyelisihinya sungguh engkau tidak berbuat jahat
kepadanya mereka. Oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
bersabda yang artinya:
“Terus
akan ada segolongan dari umatku yang selalu menang di atas kebenaran,
tidak bermudharat bagi mereka orang-orang yang ingin menghinakannya,
hingga datang ketentuan dari Allah maka mereka tetap seperti itu.” (HR. Muslim no. 1920, Abu Dawud no. 4252, Ahmad, 5/109)
Sungguh
seorang yang menyelisihi (kebenaran) hanya berakibat kebinasaan
terhadap diri sendiri. Dan bukanlah kebenaran diukur dari banyaknya
orang, namun diukur dari kecocokan terhadap al-haq, walaupun yang berada
di atasnya hanya segelintir orang. Bahkan walaupun di suatu masa tidak
ada umat manusia yang mengikutinya kecuali satu orang, maka tetap dia
dikatakan di atas al-haq dan dia berjamaah.” (Lamhah ‘Anil Firaq Adh-Dhallah hal. 24-25)
Hal ini sebagaimana yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud: “Al-Jamaah adalah yang mencocoki al-haq walaupun engkau sendiri.” (Ighatsatul Lahfan, 1/70)
Menjaga
persatuan dalam semua aspek kehidupan dengan batasan dan ketentuan Al
Qur`an dan As Sunnah yang dibangun di atas pemahaman salaf merupakan
kewajiban bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan hal ini terwujudkan dengan:
1. Membangun persatuan dengan hanya mengharap wajah Allah. Allah berfirman yang artinya:
“Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya memurnikan agama bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
2. Memegangi tali Allah. Allah berfirman yang artinya:
“Berpeganglah kalian semua kepada tali Allah dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Ketahuilah,
sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang berat pada kalian, salah
satunya Kitabullah k dan dia adalah tali Allah. Barangsiapa
mengikutinya dia berada di atas hidayah dan barangsiapa yang
meninggalkannya ia di atas kesesatan.” (Lihat Ash-Shahihah no. 2024 dan Shahihul Jami’ no. 4472)
3. Mengusung dan membela pemahaman para shahabat.
Ibnu Mas’ud berkata: “Barangsiapa
ingin mengambil uswah maka hendaknya mengambil uswah dari para shahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Mereka adalah umat yang
paling bersih hatinya, paling dalam ilmunya, tidak suka membebani diri,
mendapatkan petunjuk yang paling lurus, dan memiliki kondisi yang paling
mulia. Suatu kaum yang telah Allah pilih untuk menyertai Nabi-Nya, dan
menegakkan agamanya. Ketahuilah kemuliaan mereka dan ikuti jalan-jalan
mereka. Sungguh mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlihi, 2/97)
4. Membela dan menjaga kehormatan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir: 28)
“Bertanyalah kalian kepada ahludz-dzikr apabila kalian tidak mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7)
“Katakanlah: apakah sama antara mereka yang berilmu dan mereka yang tidak berilmu?” (Az-Zumar: 9)
Al-Imam Al-Barbahari t berkata: “Hendaknya
kalian berpegang teguh dengan atsar-atsar dan para ulamanya.
Bertanyalah kepada mereka dan duduklah bersama mereka, serta raih ilmu
dari mereka.” (Syarhus Sunnah hal. 111)
Beliau juga berkata: “Takutlah
kepada Allah! Takutlah kepada Allah dalam dirimu! Hendaknya kamu
berpegang dengan atsar dan dan para ulamanya, hendaknya kalian
mengikuti. Sesungguhnya agama itu dengan mengikuti (ittiba’).” (Syarhus Sunnah hal. 128)
Salamah bin Sa’id berkata: “Para ulama adalah lentera yang dengannya umat akan mencari secercah cahaya.” (Sallus Suyuf wal Asinnah hal. 68)
5. Menjaga jama’atul muslimin dan imam mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa menginginkan bagian tengah dari jannah maka hendaknya ia berpegang dengan jamaah.” (HR. Ahmad, 1/18)
6. Berkumpul di bawah satu amir (pemimpin). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa
taat kepadaku sungguh dia telah taat kepada Allah dan barangsiapa
bermaksiat kepadaku sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Dan
barangsiapa patuh kepada amir sungguh dia telah patuh kepadaku dan
barangsiapa bermaksiat kepada amir maka sungguh dia telah bermaksiat
kepadaku.” (HR Muslim,Syarah Shahih Muslim, 12/223)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Penguasa
adalah naungan Allah di bumi, barangsiapa memuliakannya maka sungguh
dia telah memuliakan Allah dan barang siapa menghinakannya maka sungguh
Allah akan menghinakannya.” (Hasan, HR Ibnu Abi Ashim lihat Silsilah Ash-Shahihah, 5/376)
Adapun ketaatan kita tentunya dalam perkara yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Mendengar
dan patuh merupakan kewajiban baik dalam perkara yang disukai atau
dibenci, selama tidak diperintahkan dalam kemaksiatan dan apabila
diperintahkan dengan kemaksiatan maka tidak didengarkan dan jangan
dipatuhi.” (Fathul Bari, 13/121)
Umat
dahulu selalu terpecah, karena sikap dan perilaku mereka yang menjauh
dari ittiba’ (tunduk untuk meneladani). Berikut ini beberapa sebab
perpecahan yang harus dijauhkan dalam kehidupan Muslimin:
1. Mengikuti hawa nafsu.
Mengikuti
hawa nafsu merupakan sumber bencana yang akan menyeret dalam berbagai
noda kehidupan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya menjadi
sesembahan dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup di
atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberikannya petunjuk
sesudah Allah, tidakkah kalian mengingat.” (Al-Jatsiyah: 23)
Ikrimah berkata: “(Makna
ayat ini adalah) menyembah apa yang diinginkan hawa nafusnya atau yang
dianggap baik. Apabila dia sudah menganggap baik (hawa nafsunya-ed) maka
sungguh dia telah mengambil sebagai sesembahan.” (Fathul Qadir, 5/11)
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.” (Al-Qashash: 50)
“Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Shad: 26)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bahkan berlindung dari kemungkaran hawa nafsu:
“Ya Allah, jauhkan kami dari kemungkaran akhlak, hawa nafsu, dan penyakit.” (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim: 12)
Ibnu ‘Abbas c berkata: “Setiap hawa nafsu adalah sesat.” (Syarhu Ushulil I’tiqad, 1/130 karya Al-Lalikai)
Abul ‘Aliyah berkata: “Aku
tidak tahu mana anugrah yang lebih besar bagiku, apakah saat aku
dibimbing Allah dari kesyirikan menuju Islam ataukah ketika Allah
menjaga keislamanku dari berbagai hawa nafsu?” (Syarhu Ushulil I’tiqad, 1/131 karya Al-Lalikai)
Al-Imam Al-Barbahari t berkata: “Semua hawa nafsu adalah jelek dan akan menyeru kepada pemberontakan.” (Syarhus Sunnah no. 135 hal. 122)
Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Mengikuti hawa nafsu adalah sikap menyeleweng dari Shirathil Mustaqim.” (Al-I’tisham: 401)
2. Kebodohan/jahil dalam memahami kandungan makna Al Qur`an, As Sunnah,
atsar-atsar para shahabat, atsar tabi’in, dan atsar para ulama Ahlus
Sunnah yang diikuti tanpa difahaminya kaidah-kaidah fiqhiyyah yang akan
menyempurnakan ilmu mereka. Juga minimnya ilmu ushul fiqih, al-’amm,
al-khash, al-muthlaq, al-muqayyad, an-nasikh wal mansukh, al-manthuq,
al-mafhum, asbaabun nuzul, dll. (Sallus Suyuf hal. 111)
Perkara
ini akan menjebak mereka sehingga terjatuh dalam berbagai pemahaman
yang batil, bahkan membangun keyakinan di atas prasangka (dugaan).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirma, yang artinya:
“Sesungguhnya dia (setan) menyuruh kalian berbuat jelek dan keji, dan kalian berkata atas nama Allah dengan tanpa ilmu.” (Al-Baqarah: 169)
“Dan janganlah kamu berkata dengan tanpa ilmu.” (Al-Isra: 36)
Al-Imam Al-Auza’i berkata: “Ilmu
adalah apa yang telah datang dari shahabat-shahabat Nabi Muhammad . Dan
sesuatu yang tidak datang dari mereka bukan dinamakan ilmu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 1/29)
Sungguh suatu pribadi yang mulia dan sikap kehati-hatian yang tinggi saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata:
“Sesungguhnya
aku adalah manusia, apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu
perkara agama maka ambillah. Dan apabila aku perintahkan kalian dengan
sesuatu yang itu adalah hasil pikiranku maka ketahuilah bahwa aku adalah
manusia.” ( Shahih, HR. Muslim no. 2326 dalam Kitab Al-Fadha`il)
‘Umar bin Al-Khaththab z berkata: “Hati-hati
kalian dari ashhabur ra`yi (pengagum akal). Sesungguhnya mereka adalah
musuh-musuh As Sunnah. Mereka tidak mampu/lemah untuk menghafal
hadits-hadits, sehingga mereka berkata dengan akal. Sesatlah mereka dan
menyesatkan.” (Ushulus Sunnah karya Ibnu Abi Zamanin hal. 25 dan Al-Lalikai dalam Syarh Ushululil I’tiqad, 1/123)
Ibnu Mas’ud berkata: “Telah
pergi (hilang) para pembaca dan ulama kalian, sehingga manusia
mengambil para pemimpin bodoh, yang hanya mengiyakan suatu perkara
dengan akal.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih, 2/136)
Abu Bakr bin Abi Dawud berkata: “Tinggalkan
oleh kalian pendapat-pendapat dan ucapan-ucapan orang, sungguh ucapan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam lebih suci dan lebih jelas.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih, 2/135)
Ibnul Mubarak ditanya: “Kapan seseorang boleh berfatwa?” Beliau menjawab: “Ketika dia berilmu tentang atsar dan berakal dengan baik.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih, 2/47)
Al-Imam
Asy-Syafi’i berkata: “Semua perkara yang telah Allah tegakkan sebagai
Hujjah di dalam Al-Kitab (Al-Quran) atau yang melalui lisan Nabi-Nya
merupakan suatu nash yang jelas tidak boleh bagi orang yang telah
berilmu untuk menyelisihinya.” (Ar-Risalah hal. 560)
Muhammad bin Salamah berkata: “Tidak
boleh bagi seseorang yang tidak berilmu tentang Al-Quran, As-Sunnah,
dan apa yang telah dilakukan oleh generasi yang dahulu dari ulil amr
(Ulama Salaf) untuk berijtihad dengan akalnya, sehingga mengakibatkan
ijtihadnya menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah serta apa yang telah di
sepakati.” (Jami’ Bayanil Ilm wa Fadhlih, 2/73)
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah
semoga Allah merahmatimu! Sungguh siapa yang berkata dalam agama Allah
dengan akal, qiyas dan takwil tanpa menyertakan hujjah dari As Sunnah
dan Al-Jamaah (bimbingan shahabat) maka sungguh dia telah berkata atas
nama Allah tanpa ilmu dan barangsiapa yang berkata atas nama Allah tanpa
ilmu, maka sungguh dia termasuk orang yang membebani diri.” (Syarhus Sunnah, hal. 105)
Tegar di atas ilmu yang benar serta membangun kewaspadaan dalam beramal adalah pondasi persatuan yang kokoh.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas: “Akan ditimpakan dalam hati mereka kekufuran, kemunafikan, atau kebid’ahan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/373)
Asy-Syaikh As-Sa’di berkata: “(Maknanya adalah) kesyirikan dan kejelekan.” (Taisirul Karimir Rahman hal. 525)
Kebodohan
terhadap dasar-dasar ilmu (ushulul ‘ilm) merupakan bencana yang akan
mencabik-cabik persatuan yang hakiki dan ahlul bid’ah merupakan benalu
yang meracuni persatuan.
Ibnu Baththah berkata: “Semoga
Allah menyelamatkan kami dan kalian semuanya dari pemikiran-pemikiran
yang muncul dari hawa nafsu yang selalu mengekor dan madzhab-mazdhab
yang bid’ah. Sungguh pelakunya telah keluar dari persatuan menuju
percerai-beraian, dari suatu kestabilan menuju perpecahan, dari
kedamaian menuju ketakutan, dari kesepakatan menuju perselisihan, dari
cinta menjadi kebencian, dari keikhlasan nasehat dan loyalitas menjadi
kecurangan dan permusuhan. Dan semoga kami dan kita semua dilindungi
dari berloyalitas terhadap segala bentuk nama/gerakan yang menyelisihi
Islam dan As Sunnah.” (Sallus Suyuf hal. 25 karya Tsaqil bin Shalfiq)
3.Mengikuti suatu yang mutasyabih (samar)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah
dan untuk mencari-cari ta’wilnya.” (Ali ‘Imran: 7)
Asy-Syaikh
As-Sa’di berkata: “Adapun orang-orang yang di hatinya ada penyakit,
penyimpangan, penyelewengan yang dikarenakan jeleknya tujuan, maka
mereka mengikuti suatu yang mutasyabih darinya (Al Qur`an) kemudian
menjadikannya dalil atas ucapan mereka yang batil dan pemikirannya yang
hina, dalam rangka mencari fitnah dan menyelewengkan pemahaman terhadap
Kitab-Nya, serta mentakwilkannya sesuai dengan aliran dan madzhab mereka
yang batil sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Adapun para ulama
yang kokoh (ilmunya) terhadap Al Qur`an, yang ilmu dan keyakinan
menancap di dada mereka sehingga melahirkan baginya suatu amalan dan
berbagai pengetahuan. Mereka mengetahui bahwa Al Qur`an semuanya datang
dari Allah, semuanya haq, baik yang muhkam atau yang mutasyabih. Dan
suatu yang haq tidak akan bertentangan. Ketika mereka mengetahui dan
memahami makna al-muhkam dengan sebenar-benarnya sehingga mereka mampu
mengembalikan suatu yang samar kepadanya (al-muhkam), yang sebelumnya
merupakan suatu yang rumit dikarenakan kurangnya ilmu dan kurangnya
pengetahuan. Saat mereka mengembalikan suatu yang mutasyabih kepada
al-muhkam, maka semuanya menjadi al-muhkam.” (Taisirul Karimir Rahman,
hal. 101-102)
Kaum
pengekor hawa nafsu selalu mencari sesuatu yang samar atau belum jelas,
sebagai pijakan untuk memperkuat kebatilan. Sehingga persatuan yang
mereka bangun bagai merajut benang dalam kegelapan. Terperosoknya
orang-orang Khawarij disebabkan mereka mengambil suatu keyakinan dari
sesuatu yang belum jelas bagi mereka.
Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Yang
menjelaskan perkara ini adalah, apa yang telah diriwayatkan Ibnu Wahb
dari Bukair, sesungguhnya dia telah bertanya kepada Nafi’ bagaimana
pendapat Ibnu ‘Umar tentang Haruriyah (Khawarij)? Beliau berkata: Ia
memandang mereka sebagai orang yang terjelek di antara makhluk Allah.
Mereka mengambil ayat-ayat yang diturunkan kepada orang-orang kafir dan
diarahkan kepada orang-orang yang beriman. Sa’id bin Jubair menerangkan
perkara ini dengan berkata: Haruriyah mengikuti sesuatu yang mutasyabih
dari firman Allah: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang
telah diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir” dan
digandengkan dengan: “Kemudian orang-orang yang kufur menyeleweng dari
Rabb mereka.” Apabila mereka melihat pemimpin yang tidak berhukum dengan
al-haq, mereka berkata: ‘Telah kufur, telah kufur, menyeleweng dari
Rabbnya, dan barang siapa yang menyeleweng dari Rabbnya sungguh dia
telah musyrik, maka mereka orang-orang musyrik telah keluar dari umat
(Islam).’ Mereka perangi siapa saja yang menyelisihinya, dengan
mentakwilkan ayat ini.” (Al-I’tisham hal. 707)
4. Ta’ashshub dan Hizbiyyah
Sebuah loyalitas mutlak hanya untuk al-haq. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Katakanlah,
inilah jalan agamaku. Aku dan orang yang mengikutiku mengajak kamu
kepada Allah dengan bashirah (ilmu) maha suci Allah dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)
Ahlus
Sunnah akan selalu berupaya komitmen terhadap al-haq yang telah
diserukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan diamalkan para
shahabatnya. Adapun seruan hizbiyah yang menggaung di tengah-tengah
umat saat ini dengan mengajak kepada golongan, kelompok, partai, dan
menjauh dari bimbingan serta manhaj salaf, maka hakekatnya mereka adalah
penyeru kepada perpepecahan dan perselisihan. Kita bisa melihat
bagaimana NII, Ikhwanul Muslimin, Jama’atut-Tabligh, Jama’atut-Takfir
wal Hijrah, Islam Jama’ah (LDII), JIL, Al-Qaeda dll, membingungkan umat
dengan berbagai konsep yang notabene adalah suatu kaum yang mengajak
bernafas dalam lumpur.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Yaitu
orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan mereka menjadi
beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang di
golongan mereka.” (Ar-Rum: 32)
Asy-Syaikh As-Sa’di berkata dalam menafsirkan ayat di atas: “Setiap
golongan akan berkelompok dan ber-ta’ashshub, untuk membela apa yang
dimiliki dari kebatilan, menggilas dan memerangi yang lain.” (Taisirul Karimir Rahman hal. 590)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdillah Al-Imam berkata: “Seruan fanatisme terhadap tokoh
tertentu, merupakan perkara yang tertolak menurut syariat Allah,
walaupun diiringi dengan kalimat-kalimat yang mempersatukan berbagai
firqah tanpa melihat akidah dan manhaj, bahkan tanpa mempedulikan
bimbingan para ulama salaf. Ini merupakan seruan hizbiyah yang jauh dari
makna persatuan yang sebenarnya.
Sebagaimana terjadi pada Ikhwanul Muslimin, Asy-Syaikh Tsaqil bin Shalfiq berkata: “Sungguh
keberadaannya membawa perpecahan di antara kaum muslimin, hizbiyah,
permusuhan, pertentangan, fanatisme golongan, serta mengikat tali
loyalitas dengan fanatik pada golongan (tak peduli) siapapun mereka baik
seorang Asy’ari, Rafidhah, Sufi, pengkultus kuburan, dan melepaskan
ikatan tali loyalitas terhadap mereka yang tidak bergabung dengan
partainya walupun mereka adalah ulama Sunni.” (Sallus Suyuf wal Asinnah ‘ala Ahlil Hawa wa Ad’iyatus Sunnah hal. 120)
Beliau juga berkata: “Muncul
di zaman ini jamaah-jamaah dan berbagai golongan yang menisbatkan
dirinya kepada As Sunnah dan dakwah di jalan Allah seperti Ikhwanul
Muslimin dan berbagai sempalannya seperti Jamaah Takfir wal Hijrah, atau
para pengikut Sayyid Quthub yang dipelopori dalam mengibarkan panjinya
oleh Muhammad Surur Zainal Abidin yang meninggalkan negeri Islam dan
“hijrah” ke negeri kafir, negara gereja dan salibis serta merasa tenang
menetap di sana (Birmingham, Inggris). Kemudian dia meniupkan berbagai
konsep yang busuk dan memecah kekuatan kaum muslimin, menikam para
ulama, mengacau para hukkam (penguasa) dengan serial majalahnya yang
bernama As-Sunnah (menurut versi mereka) yang diikuti dengan mencetak
berbagai tulisan yang merendahkan karya para ulama salaf, yang kemudian
jejak dan langkah ini diikuti oleh segolongan orang yang menyangka bahwa
mereka adalah penuntut hak-hak yang syar’i bagi kaum muslimin dan
pembela dari berbagai kedzaliman. Yang seakan-akan negara ini (Arab
Saudi) tidak memiliki mahkamah-mahkamah syar’iyyah dan ulama-ulama yang
adil dan jujur!” (Sallus Suyuf wal Asinnah, hal. 114)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi berkata: “Sebagian
umat tidak memperdulikan akidah dan manhaj Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam . Bahkan mereka menempuh prinsip dan akidah lain yang
hakikatnya adalah produk setan bagi orang yang Allah hinakan dari
seorang mubtadi’ dan penyesat.” (Al-Hatstsu ‘alal Wudd Wal I`tilaf wat Tahdzir Minal Furqah wal Ikhtilaf hal. 18)
Macam-macam Khilaf
Memahami
macam-macam perselisihan merupakan lentera yang penting bagi seorang
Ahlus Sunnah, sehingga mereka tidak terjatuh dalam sikap yang salah,
baik dalam meletakkan loyalitas dan permusuhan, cinta karena Allah dan
benci karena Allah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam berkata: “Macam-macam khilaf yang masyhur ada tiga:
1.
Ikhtilaf Tadhadh yaitu khilaf yang menabrak/melawan nash-nash. Hal ini
sebagaimana yang terjadi pada firqah-firqah yang keluar dari Ahlus
Sunnah.
2. Ikhtilaf Tanawwu’: Ini merupakan bagian dari syariat.
3. Ikhtilaf Afham (beda pemahaman): Hal ini diperbolehkan selama mengikuti ketentuan/batasan syariat, di antaranya:
1. Orang yang menyelisihi berada di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, baik dalam ilmu, ta’lim, dan amalan.
2. Tidak memperbanyak perbedaan dari sesuatu yang telah diamalkan Ahlus Sunnah.
3. Kembali (ruju’) kepada al-haq ketika telah jelas kesalahan-kesalahannya.
4. Termasuk golongan yang sudah memiliki keahlian dalam berijtihad.
Hendaknya
ketentuan-ketentuan ini (berjalan) di bawah pengamatan para ulama Ahlus
Sunnah wal Jamaah. (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal. 79)
Asy-Syaikh
Sulaiman bin Abdillah mencontohkan ikhtilaf tanawwu’, di antaranya
adalah macam-macam qira`at (bacan-bacaan Al Qur`an), sebagaimana yang
telah terjadi terhadap para shahabat, sehingga Rasulullah menegur
mereka: “Kalian berdua adalah benar!” Juga perbedaan dalam sifat adzan, sifat iqamah, doa istiftah, dll. (Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, 2/776)
Jenis
khilaf yang kedua dan ketiga seharusnya dihadapi dengan dada yang
lapang, saling mengasihi dan memberikan nasehat karena Allah. Adapun
yang tercela adalah saat kita berbuat dzalim kepada setiap orang yang
berselisih (dalam kriteria 2-3) dengan kita, karena hal ini akan meniup
api dalam sekam. (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, 2/779)
Apabila
al-haq nampak dan jelas, tidak boleh bagi seorang muslim untuk
berselisih. Ibnu ‘Abbas c meriwayatkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam berkata saat beliau dalam keadaan sakit yang menjadikan beliau
wafat: “Berikan kepadaku satu kitab, aku tuliskan untuk kalian suatu
kitab niscaya kalian tidak akan berselisih!” Maka terjadi perselisihan
di kalangan para shahabat, sehingga beliau berkata: “Pergilah kalian dariku, sungguh tidak pantas berselisih di sisi Nabi.” (HR. Al-Bukhari, 1/181, Muslim, 11/256)
Akibat dari perpecahan adalah:
1. Mengagungkan hawa nafsu.
2. Mewariskan permusuhan, perselisihan, pertentangan dan kebencian.
3. Menjauhkan mereka dari pondasi yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam .
4. Membangun akidah, agama secara keseluruhan dengan akal.
5. Merendahkan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Lihat Sallus Suyuf wal Asinnah hal. 119)
Wallahu
a’lam bish-shawab. Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat-Nya kepada
kita dan menyatukan kita dalam suatu keutuhan di atas Al Qur`an dan As
Sunnah dengan pemahaman para shahabat, dan semoga Allah satukan kita di
jannah-Nya. Amin.
Dikutip dari http://www.asysyariah.com,
Penulis : Al-Ustadz Abu ‘Utsman ‘Ali Basuki, Lc. , Judul : Persatuan
Hakiki adalah Kesepakatan Mengikuti Jejak Para Shahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar