Segala
puji hanyalah bagi Allah, yang telah menyempurnakan agamaNya bagi kita,
dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam
selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam, pengajak ke pintu taubat dan pembawa rahmat. Amma
ba’du :
Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :
] اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا [.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah, 3).
] أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله ولولا كلمة الفصل لقضي بينهم وإن الظالمين لهم عذاب أليم [.
“Apakah
mereka mempunyai sesembahan sesembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diridloi Allah ? Sekiranya tak ada
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang orang yang dhalim itu akan
memperoleh azab yang pedih” (QS. As syuro, 21).
Dari Aisyah, Radliyallahu ‘anhu berkata : bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
" من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ".
“Barang siapa yang mengada adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka tidak akan diterima”.
Dan dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah bersabda :
" من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ".
“Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.
Dalam
shahih Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata : bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu
khutbah Jum’at nya :
" أما بعد, فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة ".
“Amma
ba’du : sesungguhnya sebaik baik perkataan adalah Kitab Allah (Al
Qur’an), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan (dalam agama) adalah yang
diada adakan, dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) itu sesat” (HR. Muslim).
Masih
banyak lagi hadits hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana
semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan
untuk umat ini agamanya, Dia
telah mencukupkan nikmatNya bagi mereka, Dia tidak akan mewafatkan Nabi
Muhammad kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian
risalahnya kepada umatnya, dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat
Allah, baik melalui ucapan maupun perbuatan.
Beliau
menjelaskan bahwa segala sesuatu yang akan diada adakan oleh sekelompok
manusia sepeninggalnya dan dinisbatkan kepada ajaran Islam baik berupa
ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bad’ah yang ditolak, meskipun
niatnya baik.
Para
Sahabat dan para Ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari
perbuatan perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita dari padanya, hal itu
disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang penerapan Sunnah dan
pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Waddhoh At Thorthusyi dan As Syaamah
dan lain lain.
Diantara
bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah mengadakan
upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban (tanggal 15 sya'ban, red),
dan menghususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu, padahal
tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadits-hadits
yang menerangkan tentang fadlilah malam tersebut, tetapi hadits-hadits
tersebut dhoif, sehingga tidak dapat dijadikan landasan, adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan sholat pada hari itu adalah maudlu /palsu.
Dalam
hal ini, banyak diantara para ulama yang menyebutkan tentang lemahnya
hadits-hadits yang berkenaan dengan penghususan puasa dan fadlilah
sholat pada hari Nisfu Sya’ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian
dari ucapan mereka.
Pendapat
para ahli Syam diantaranya Al Hafidz Ibnu Rajab dalam bukunya
“Lathoiful Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam nisfu sya’ban
adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya semuanya
lemah, hadits yang lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya
didukung oleh hadits yang shoheh, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu
Sya’ban tidak ada dasar yang shohih, sehingga tidak bisa didukung
dengan dalil hadits-hadits yang dlo’if.
Ibnu
Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini, dan kami akan menukil pendapat
para ulama kepada para pembaca, sehingga masalahnya menjadi jelas. Para
ulama telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk
mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah
(Al-Qur’an) dan sunnah Rasul (Al Hadits), apa saja yang telah
digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu dari padanya, maka
wajib diikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus
ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah
disebutkan (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) adalah bid’ah, tidak boleh
dikerjakan, apalagi mengajak untuk mengerjakannya dan menganggapnya
baik.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat An Nisa’ :
]
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن
تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر
ذلك خير وأحسن تأويلا [
“Hai
orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul(Nya), dan
Ulil Amri (pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesutu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rasul (Al Hadits), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya” (QS. An nisa’, 59).
] وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله ذلكم الله ربي عليه توكلت وإليه أنيب [
“Tentang
sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah
(yang mempunyai sifat sifat demikian), itulah Tuhanku, KepadaNya-lah
aku bertawakkal dan kepadaNya-lah aku kembali” (QS. Asy syuro, 10).
] قل إن كنتـم تحـبون الله فاتبعـوني يحببكـم الله ويغفر لكـم ذنوبكـم [.
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu ” (QS. Ali Imran, 31).
] فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلم تسليما [.
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya ” (QS. An Nisa’, 65).
Dan
masih banyak lagi ayat ayat Al Qur’an yang semakna dengan ayat ayat
diatas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar
supaya masalah masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al
Qur’an dan Al Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum
yang ditetapkan oleh keduanya. Sesungguhnya hal itu adalah konsekwensi
iman, dan merupakan perbuatan baik bagi para hamba, baik di dunia atau
di akherat nanti, dan akan mendapat balasan yang lebih baik.
Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban, Ibnu Rajab berkata dalam bukunya “Lathoiful Ma’arif”
: para Tabi'in penduduk Syam (Syiria sekarang) seperti Kholid bin
Ma’daan, Makhul, Luqman bin Amir, dan lainnya pernah mengagung-agungkan
dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfi Sya’ban, kemudian
orang-orang berikutnya mengambil keutamaan dan bentuk pengagungan itu
dari mereka.
Dikatakan
bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya
cerita-cerita israiliyat, ketika masalah itu tersebar ke penjuru dunia,
berselisihlah kaum muslimin, ada yang menerima dan menyetujuinya, ada
juga yang mengingkarinya, golongan yang menerima adalah ahli Bashrah dan
lainnya, sedangkan golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas
penduduk Hijaz (Saudi Arabia sekarang), seperti Atho dan Ibnu Abi
Mulaikah, dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Ulama
fiqih Madinah, yaitu ucapan para pengikut Imam Malik dan lain lainnya ;
mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah, adapun pendapat
ulama Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan adanya dua pendapat :
1- Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid dengan berjamaah adalah mustahab (disukai Allah).
Dahulu
Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut
dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar kemenyan, memakai
sipat (celak), dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di
masjid, ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih, ia berkata : "Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara berjamaah tidak dibid’ahkan", keterangan ini dicuplik oleh Harbu Al Karmaniy.
2-
Berkumpulnya manusia pada malam Nisfi Sya’ban di masjid untuk shalat,
bercerita dan berdoa adalah makruh hukumnya, tetapi boleh dilakukan jika
menjalankan sholat khusus untuk dirinya sendiri.
Ini
pendapat Auza’iy, Imam ahli Syam, sebagai ahli fiqh dan ulama mereka,
Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkan pendapat
Imam Ahmad tentang malam Nisfu Sya’ban ini, tidak diketahui.
Ada
dua riwayat yang menjadi sebab cenderung diperingatinya malam Nisfu
Sya’ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari
raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha), dalam satu riwayat berpendapat bahwa
memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak
disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, riwayat yang lain
berpendapat bahwa memperingati malam tersebut dengan berjamaah
disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah
mengerjakannya, dan ia termasuk Tabi’in. Begitu pula tentang malam nisfu
sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk
juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan Tabiin ahli fiqh
(yuris prudensi) yang di Syam (syiria), demikian maksud dari Al Hafidz
Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).
Ia
mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfi
Sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para Sahabat. Adapun
pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan sholat
pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al Hafidz Ibnu Rajab
dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dloif, karena segala perbuatan
syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil dalil syar’i tidak boleh
bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada-adakan dalam Islam, baik
itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan
secara sembunyi sembunyi ataupun terang terangan, landasannya adalah
keumuman hadits Nabi :
" من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد ".
“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.
Dan banyak lagi hadits hadits yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.
Imam Abu Bakar At Thorthusyi berkata dalam bukunya “Al Hawadits wal bida”
: diriwayatkan oleh Wadhoh dari zaid bin Aslam berkata : kami belum
pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqh kami yang
menghadiri perayaan malam nisfu sya’ban, tidak mengindahkan hadits
Makhul yang dloif, dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam
tersebut terhadap malam malam lainya.
Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwasanya Zaid An numairy berkata : "Pahala
yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala
lailatul qadar, Ibnu Abi Mulaikah menjawab : "Seandainya saya
mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat pasti saya pukul, Zaid adalah seorang penceramah".
Al ‘Allamah Asy Syaukani menulis dalam bukunya “Al Fawaidul Majmuah” sebagai berikut : bahwa hadits yang mengatakan :
"
يا علي، من صلى مائة ركعة ليلة النصف من شعبان يقرأ في كل ركعة بفاتحة
الكتاب وقل هو الله عشر مرات إلا قضى الله له كل حاجة ... إلخ.
“Wahai
Ali, barang siapa yang melakukan sholat pada malam Nisfu Sya’ban
sebanyak 100 rakaat, ia membaca setiap rakaat Al fatihah dan Qul
huwallah ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala
kebutuhannya … dan seterusnya.
Hadits ini adalah maudhu’,
pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima
oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal,
sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal), hadits ini diriwayatkan dari
kedua dan ketiga jalur sanad, kesemuanya maudhu dan perawi-perawinya
tidak diketahui.
Dalam kitab “Al Mukhtashor” Syaukani melanjutkan : hadits yang menerangkan tentang sholat Nisfu Sya’ban adalah bathil, Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu : jika datang malam Nisfu Sya’ban bersholat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dloif.
Dalam buku “Allaali” diriwayatkan bahwa : "Seratus
rakaat pada malam Nisfi sya’ban (dengan membaca surah) Al ikhlas
sepuluh kali (pada setiap rakaat) bersama keutamaan keutamaan yang lain, diriwayatkan oleh Ad Dailami dan lainya bahwa itu semua maudlu’ (palsu), dan mayoritas perowinya pada ketiga jalur sanadnya majhul (tidak diketahui) dan dloif (lemah).
Imam As Syaukani berkata : Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan (membaca surat) Al Ikhlas tiga puluh kali itu maudlu’ (palsu), dan hadits empat belas rakaat … dan seterusnya adalah maudlu’ (tidak bisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).
Para
fuqoha (ahli yurisprudensi) banyak yang tertipu dengan hadits hadits
diatas, seperti pengarang Ihya Ulumuddin dan lainnya, juga sebagian dari
para ahli tafsir, karena sholat pada malam ini, yakni malam Nisfu
Sya’ban telah diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad, semuanya adalah
bathil / tidak benar dan haditsnya adalah maudlu’.
Hal
ini tidak bertentangan dengan riwayat Turmudzi dan hadits Aisyah, bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan turun
ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban, untuk mengampuni dosa sebanyak
jumlah bulu domba dan bulu kambing, karena pembicaraan kita berkisar
tentang sholat yang diadakan pada malam Nisfu Sya’ban itu, tetapi hadits
Aisyah ini lemah dan sanadnya munqothi’ (tidak bersambung) sebagaimana
hadits Ali yang telah disebutkan diatas, mengenai malam Nisfu Sya’ban,
jadi dengan jelas bahwa sholat (khusus pada) malam itu juga lemah dasar
hukumnya.
Al Hafidz Al Iraqi berkata : hadits (yang menerangkan) tentang sholat Nisfi Sya’ban itu maudlu dan pembohongan atas diri Rasulallah”.
Dalam kitab “Al Majmu” Imam Nawawi berkata : sholat
yang sering kita kenal dengan sholat Roghoib ada (berjumlah) dua dua
belas rakaat, dikerjakan antara maghrib dan Isya’, pada malam Jum’at
pertama bulan Rajab, dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban,
dua sholat ini adalah bid’ah dan munkar, tidak boleh seseorang
terpedaya oleh kedua hadits itu, hanya karena disebutkan di dalam buku
“Quutul qulub” dan “ Ihya Ulumuddin” (Al Ghozali, red) sebab pada
dasarnya hadits hadits tersebut bathil (tidak boleh diamalkan), kita
tidak boleh cepat mempercayai orang orang yang tidak jelas bagi mereka
hukum kedua hadits itu, yaitu mereka para imam yang kemudian mengarang
lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits itu, karena
ia telah salah dalam hal ini.
Syekh
Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Al Maqdisi telah mengarang
sebuah buku yang berharga, beliau menolak (menganggap bathil) kedua
hadits diatas (tentang malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada
bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku
tersebut, sebaik mungkin, dalam hal ini telah banyak pendapat para
ulama, jika kita hendak menukil pendapat mereka itu, akan memperpanjang
pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup
memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang
haq.
Dari
penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al Qur’an dan beberapa
hadits, serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq)
bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan sholat atau
lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa, itu semua adalah
bid’ah dan munkar, tidak ada landasan dalilnya dalam syariat Islam,
bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa para
sahabat Radhiyallahu ‘anhum, marilah kita hayati ayat Al Qur’an di bawah
ini :
] البوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا [.
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah, 3).
Dan
banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas,
selanjutnya marilah kita hayati sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam :
” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد “.
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka ia tertolak”.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
” لا تخصوا ليلة الجمعة بقيام من بين الليالي، ولا تخصوا يومها بالصيام من بين الأيام، إلا أن يكون في صوم يصومه أحدكم “. رواه مسلم.
“Janganlah
kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at dari pada malam malam lainnya
dengan sholat tertentu, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang
harinya dari pada hari-hari lainnya dengan berpuasa tertentu, kecuali
jika hari bertepatan dengan hari yang ia biasa berpuasa (bukan puasa
khusus tadi)” (HR. Muslim).
Seandainya
pengkhususan malam itu dengan ibadah tertentu diperbolehkan oleh Allah,
maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik dari pada malam malam
lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari oleh
matahari ? hal ini berdasarkan hadits hadits Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam yang shohih.
Ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk
mengkhususkan sholat pada malam hari itu dari pada malam lainnya, hal
itu menunjukkan bahwa pada malam lainpun lebih tidak boleh dihususkan
dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shohih yang
mengkhususkan/menunjukkan adanya pengkhususan, ketika malam Lailatul
Qadar dan malam malam bulan puasa itu disyariatkan supaya sholat dan
bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu, maka Nabi mengingatkan dan
menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga
mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih :
” من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه، ومن قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه “.
“Barang
siapa yang berdiri (melakukan sholat) pada bulan Ramadlan dengan penuh
rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan
mengampuni dosanya yang telah lewat, dan barang siapa yang berdiri
(melakukan sholat) pada malam lailatul qadar dengan penuh rasa iman dan
harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah
lewat” (Muttafaqun ‘alaih).
Jika
seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab,
serta malam isra’ dan mi’raj itu diperintahkan untuk dikhususkan, dengan
upacara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam menjelaskan kepada umatnya, atau beliau melaksanakannya
sendiri, jika memang hal itu pernah terjadi niscaya telah disampaikan
oleh para sahabat kepada kita ; mereka tidak akan menyembunyikannya,
karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan paling banyak memberi
nasehat setelah para Nabi.
Dari
pendapat para ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada
ketentuan apapun dari Rasulullah, ataupun dari para sahabat tentang
keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab.
Dan
dari sini kita mengetahui bahwa memperingati perayaan kedua malam
tersebut adalah bid’ah yang diada adakan dalam Islam, begitu pula
pengkhususan malam tersebut dengan ibadah tertentu adalah bid’ah
mungkar, sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang
sebagai malam Isra’ dan Mi’raj, begitu juga tidak boleh dihususkan
dengan ibadah ibadah tertentu, selain tidak boleh dirayakan dengan
upacara upacara ritual, berdasarkan dalil dalil yang disebutkan tadi.
Hal
ini, jika (malam kejadian Isra’ dan Mi’raj itu) diketahui, padahal yang
benar adalah pendapat para ulama yang menandaskan tidak diketahuinya
malam Isra’ dan Mi’raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra’ dan
Mi’raj itu pada tanggal 27 Rajab adalah bathil, tidak berdasarkan pada
hadits-hadits yang shahih, maka benar orang yang mengatakan :
وخير الأمور السالفات على الهدى * وشر الأمور المحدثات البدائع
“Sebaik-baik
perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para Salaf, yang telah
mendapatkan petunjuk dan sejelek-jelek perkara (dalam agama) adalah yang
diada adakan berupa bid’ah bid’ah”
Allahlah
tempat bermohon untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum
muslimin semua, taufiq untuk berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten
kepada ajarannya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan
dengannya, karena hanya Allah lah Maha Pemberi dan Maha Mulia.
Semoga
sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada hamba-Nya dan RasulNya
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula kepada keluarga dan
para sahabatnya, Amien.
(Dikutip
dari الحذر من البدع Tulisan Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz,
Mufti Saudi Arabia dalam Majmu’ Fatawa Samahat al-Shaykh ‘Abdul-‘Aziz
ibn Baz, 2/882. Penerbit Departemen Agama Saudi Arabia. Edisi
Indonesia “Waspada terhadap Bid’ah”.)
Dikutip dari http://www.salafy.or.id, Penulis: Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz, Judu asli: Perayaan Nifsu Syaban dalam sorotan Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar