Sutrah
(pembatas) harus ada di hadapan orang yang sedang shalat karena dengan
shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus
munajat tersebut serta mengganggu hubungan ia dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam shalatnya. Oleh sebab itu, siapa yang sengaja lewat di
depan orang shalat, ia telah melakukan dosa yang besar.
Pengertian Sutrah
Sutrah
adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghalang, apa pun
bentuk/jenisnya. Sutrah orang yang shalat adalah apa yang ditancapkan
dan dipancangkan di hadapannya berupa tongkat atau yang lainnya ketika
hendak mendirikan shalat atau sesuatu yang sudah tegak dengan sendirinya
yang sudah ada di hadapannya, seperti dinding atau tiang, guna mencegah
orang yang hendak berlalu-lalang di depannya saat ia sedang shalat.
Sutrah harus ada di hadapan orang yang sedang shalat karena dengan
shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus
munajat tersebut serta mengganggu hubungan ia dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam shalatnya. Oleh sebab itu, siapa yang sengaja lewat di
depan orang shalat, ia telah melakukan dosa yang besar. (Al-Mausu’atul
Fiqhiyah, 24/178, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939, Taudhihul Ahkam,
2/58)
Hukum Sutrah
Hukum sutrah diperselisihkan oleh ahlul ilmi, antara yang berpendapat wajib dengan yang berpendapat sunnah. Jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, sehingga berdasarkan pendapat ini
bila ada yang lewat di hadapan orang yang shalat sementara tidak ada
sutrah di hadapannya tidaklah membatalkan shalatnya1, namun hanya
mengurangi (nilai) shalatnya. Di samping itu, sutrah merupakan
penyempurna shalat yang dikerjakan, ia tidak masuk dalam amalan shalat.
Dengan begitu, hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang mengeluarkan
perkaranya dari wajib kepada mustahab. (Asy-Syarhul Mumti’1/728,
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939-940, Taudhihul Ahkam, 2/58).
Pendapat jumhur ini berdalil dengan:
- Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyAllahu ‘anhu secara marfu’:
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ
أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبى
فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila
salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa
menghalanginya dari manusia, lalu ada seseorang ingin lewat di
hadapannya, hendaknya ia menolak/mencegahnya. Bila orang yang hendak
lewat itu enggan tetap memaksa untuk lewat maka hendaknya ia
memeranginya karena dia itu setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)
Ucapan
Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila salah seorang dari
kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia,”
menunjukkan bahwa orang yang shalat bisa jadi di depannya ada sesuatu
yang menghalanginya dan bisa pula tidak ada. Karena konteks seperti ini
menunjukkan demikian, tidak semua orang shalat menghadap sutrah.
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu ‘anhuma:
أَقْبَلْتُ
رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ
الْاِحتِلاَمَ وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
بِالنَّاسِ بـِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ
بَعْضِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتاَنَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ
فيِ الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku
datang dengan menunggang keledai betina, saat itu aku menjelang ihtilam
(mimpi basah/baligh) sementara Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam
sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di
hadapan beliau. Lalu aku lewat di hadapan sebagian shaf, setelahnya aku
turun dari keledai tersebut dan aku membiarkannya pergi merumput.
Kemudian aku masuk (bergabung) ke dalam shaf. Tidak ada seorang pun yang
mengingkari perbuatanku tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 493 dan Muslim no. 1124 namun tanpa lafadz: إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ)
Dari
lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada tembok/dinding di hadapan
beliau) dipahami bahwa Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat
tanpa ada sutrah di hadapannya.
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu ‘anhuma juga, ia berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.” (HR. Ahmad 1/224 dan Al-Baihaqi 2/273)
Pendapat yang lain adalah sutrah hukumnya wajib. Dalilnya antara lain sabda Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ
تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ
يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
“Janganlah
engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan
jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu
menolak (tetap ngotot ingin lewat, –pent.), perangilah karena bersamanya
ada qarin (setan).” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan
berkata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi
ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, 1/115: “Sanadnya jayyid.”)
Demikian
pula perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah untuk
shalat yang ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyAllahu ‘anhuma
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 494) dan Muslim (no. 1115) dalam
Shahih keduanya. Dan inilah pendapat yang rajih dan menenangkan hati
kami. WAllahu a’lam bish-shawab.
Adapun dalil yang dipakai oleh jumhur dijawab sebagai berikut:
1.
Hadits Abu Sa’id radhiyAllahu ‘anhu yang menunjukkan bahwa seseorang
yang shalat terkadang di hadapannya ada sutrah dan terkadang tidak ada,
hal ini terjawab dengan adanya hadits di atas yang sharih (jelas) yang
melarang shalat tanpa sutrah, dan juga perintah beliau untuk menancapkan
tombak sebagai sutrah.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu ‘anhuma:
وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِـمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
“Sementara
Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat mengimami
manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau.”
Tidaklah
menampik kemungkinan beliau shalat menghadap selain tembok/dinding.
Ibnu Daqiqil ‘Id tmenyatakan bahwa tidak adanya tembok/dinding bukan
berarti meniadakan sutrah. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, bab
Al-Murur baina Yadayil Mushalli, hadits no. 109)
Hadits
ini diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dengan Bab:
Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum/orang yang shalat di belakangnya.
Dengan demikian, berarti Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu tidak memahami
tidak adanya sutrah dari hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani
rahimahullahu menjelaskan, “Seakan-akan Al-Bukhari membawa perkara ini
pada kebiasaan yang ma’ruf dilakukan oleh Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi
wa sallam, yaitu tidaklah beliau melakukan shalat di tanah lapang
melainkan sebuah tombak ada di hadapan beliau (sebagai sutrahnya).”
(Fathul Bari, 1/739)
Di
samping itu, ada perselisihan para rawi yang membawa riwayat dari
Al-Imam Malik rahimahullahu pada lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada
tembok/dinding di hadapan beliau). Ada di antara mereka yang
menyebutkannya dan ada yang tidak. Dan ternyata rawi yang tidak
menyebutkan lafadz ini lebih banyak jumlahnya dan lebih tinggi
kedudukannya dibanding rawi yang menyebutkannya.
Karena
itulah kebanyakan penyusun kitab hadits shahih seperti Al-Imam Muslim,
Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan selainnya, tidak
membawakan lafadz ini. Bahkan Ibnu Khuzaimah rahimahullahu dalam
Shahih-nya mengisyaratkan tidak tsabit (shahih)nya lafadz ini dengan
adanya kepastian bahwa Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat
bersutrah dengan tombak. (Adh-Dha’ifah oleh Al-Imam Al-Albani,
pembicaraan pada hadits 5814)
3. Sedangkan hadits:
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.”
adalah
hadits yang lemah karena dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Arthah,
seorang rawi yang lemah. Kata Al-Hafizh rahimahullahu dalam Taqrib-nya
hal.92, “Ia adalah rawi yang shaduq, namun banyak salahnya dan melakukan
tadlis.” (Adh-Dha’ifah no. 5814)
Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu ketika membantah ucapan Sayyid Sabiq dalam
Fiqhus Sunnah-nya berkata, “Pendapat yang mengatakan sutrah itu mustahab
menentang nash yang berisi perintah shalat di hadapan sutrah yang
disebutkan dalam sejumlah hadits, salah satunya bahkan dibawakan oleh
penulis (Sayyid Sabiq). Pada sebagian hadits tersebut ada larangan
mengerjakan shalat bila di depan seorang yang shalat tidak ada sutrah.
Ibnu Khuzaimah menjadikan hadits ini sebagai judul bab dalam kitab
Shahih-nya. Beliau dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar
radhiyAllahu ‘anhuma secara marfu’:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ …
“Jangan engkau shalat kecuali menghadap sutrah….”
Beliau
rahimahullahu juga berkata, “Termasuk perkara yang menguatkan kewajiban
sutrah, adanya sutrah di hadapan orang yang shalat merupakan sebab
syar’i tidak batalnya shalat orang tersebut dengan lewatnya wanita yang
sudah baligh, keledai, dan anjing hitam di hadapan sutrahnya,
sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih. Juga dengan adanya
sutrah, orang yang shalat tersebut berhak menahan orang yang ingin lewat
di hadapannya. Demikian pula hukum-hukum lain yang berkaitan dengan
sutrah. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Nailul Authar (3/2) dan
As-Sailul Jarar (1/176) memegang pendapat yang mewajibkan sutrah ini.
Dan pendapat ini merupakan dzahir ucapan Ibnu Hazm rahimahullahu dalam
Al-Muhalla (4/8-15).” (Tamamul Minnah, hal. 300)
Mendekat kepada Sutrah
Orang
yang meletakkan sutrah atau menjadikan sesuatu yang ada di hadapannya
sebagai sutrah, harus mendekat dengan sutrahnya tersebut agar setan
tidak mengganggu shalatnya. Sebagaimana hal ini diperintahkan Rasulullah
ShallAllahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ
“Apabila
salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di
hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak
memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dishahihkan Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)2
Yang
dimaksud dengan “agar setan tidak memutus shalatnya” adalah agar setan
tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan
menguasainya dalam shalatnya.
Kata
Asy-Syaikh ‘Ali Al-Qari , “Diambil faedah dari hadits ini bahwa sutrah
dapat mencegah berkuasanya setan terhadap seseorang yang sedang shalat
dengan memasukkan was-was ke dalam hatinya. Bisa jadi seluruh shalatnya
dikuasai oleh setan, bisa pula sebagian shalatnya. Semuanya tergantung
kejujuran orang yang shalat tersebut serta bagaimana penghadapan hatinya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shalatnya. Sementara, tidak
memakai sutrah akan memungkinkan setan untuk menghilangkan apa yang
sedang dihadapinya berupa perasaan khusyuk, tunduk, tadabbur Al-Qur`an,
dan dzikir.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam,
1/115)
Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyAllahu ‘anhu berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ
“Jarak
antara tempat berdirinya Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam dalam
shalatnya3 dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa
merupakan perkara sunnah seorang yang shalat mendekat dengan
sutrahnya.” (Al-Minhaj, 4/449)
Salamah ibnul Akwa’ radhiyAllahu ‘anhu menyebutkan:
كَانَ جِدَارُ الْـمَسْجِدِ عِنْدَ الْـمِنْبَر، مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوْزُهَا
“Dinding masjid Rasulullah di sisi mimbar, hampir-hampir seekor kambing tidak dapat melewatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 497)
Maksudnya,
jarak antara mimbar dengan dinding masjid dekat, sementara ketika
shalat Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam berdiri di samping
mimbar, karena tidak ada mihrab dalam masjid beliau. Sehingga, jarak
antara beliau dengan dinding sama dengan jarak antara mimbar dengan
dinding, yaitu sekadar hanya bisa dilewati seekor kambing.
Ibnu
Baththal rahimahullahu berkata, “Ini jarak minimal seseorang yang
shalat dengan sutrahnya, yaitu sekadar bisa dilewati seekor kambing.”
Ada yang mengatakan jaraknya tiga hasta dan ini pendapat kebanyakan
ahlul ‘ilmi. (Raddul Mukhtar Hasyiyatu Ibnu ‘Abidin 2/402, Al-Mughni
Kitabus Shalah, fashl Dunu minas Sutrah, Al-Hawil Kabir 2/209, Al-Majmu`
3/226)
Dalilnya adalah hadits Bilal radhiyAllahu ‘anhu:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ ثَلاَثَةُ أَذْرُعٍ
“Sesungguhnya Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat di Ka’bah, jarak antara beliau dan dinding sejauh tiga hasta.”
(Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu berkata: “Hadits ini
diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jama’ah dari Malik, dan sanad hadits ini
lebih shahih4 dari sanad hadits Sahl ibnu Sa’d.” Lihat At-Tamhid 5/37,
38 dan Al-Istidzkar 6/171)
Ad-Dawudi
ketika mengompromikan pendapat yang ada menyatakan bahwa yang paling
minim adalah sekadar lewatnya seekor kambing dan maksimalnya tiga hasta.
Sebagian ulama yang lain juga mengompromikan dengan menyatakan bahwa
jarak yang awal adalah pada keadaan berdiri dan duduk, sedangkan jarak
yang kedua pada keadaan ruku’ dan sujud. (Fathul Bari, 1/743,
Adz-Dzakhirah, 2/157-158)
Al-Baghawi
rahimahullahu berkata, “Ahlul ilmi menganggap mustahab untuk mendekat
kepada sutrah, di mana jarak antara orang yang shalat dengan sutrahnya
sekadar memungkinkan untuk sujud. Demikian pula jarak antar shaf.”
(Syarhus Sunnah, 2/447)
Faedah
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Apabila
seseorang masbuq dalam shalatnya, sementara tiang masjid ada di sebelah
kanan atau kirinya, maka boleh dia bergeser ke kanan atau ke kiri
mengarah ke tiang itu untuk dijadikan sutrah, jika memang tiang itu
dekat dengannya. Begitu pula jika tiang itu ada di depannya atau di
belakangnya, dia boleh maju atau mundur sedikit ke arah tiang tersebut
selama tidak jauh darinya. Adapun bila tiang itu jauh, maka dia tetap
shalat di tempatnya dan berusaha mencegah segala sesuatu yang lewat di
hadapannya semampunya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)
Bergeser
seperti ini dengan mencari sesuatu yang menghalanginya lebih ringan
daripada mencegah orang yang lewat di hadapannya. (Adz-Dzakhirah,
2/156). WAllahu a’lam.
1
Di antara mereka juga terdapat silang pendapat dalam batal atau
tidaknya shalat seorang yang dilewati oleh wanita, keledai, dan anjing
hitam.
2
Dipahami dari hadits di atas adalah bila seseorang shalat sementara di
hadapannya ada sutrah namun jarak antara dia dengan sutrahnya jauh,
berarti dia memberi peluang kepada setan untuk mengganggu shalatnya.
Sehingga bagaimana kiranya bila ada orang yang shalat sementara di
hadapannya tidak ada sutrah? Hadits ini bisa menjadi dalil tentang
wajibnya sutrah.
3 Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menafsirkan mushalla dalam hadits di atas dengan tempat sujud. (Al-Minhaj, 4/449)
4 Karena rangkaian sanadnya adalah dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Bilal.
Sutrah dalam Shalat
- Tiang masjid
Tiang
yang ada di masjid dapat dijadikan sebagai sutrah sebagaimana
ditunjukkan dalam riwayat berikut. Yazid bin Abi ‘Ubaid berkata, “Adalah
Salamah ibnul Akwa’ radhiyAllahu ‘anhu memilih shalat di sisi tiang
masjid tempat menyimpan mushaf. Maka aku tanyakan kepadanya, ‘Wahai Abu
Muslim, aku melihatmu menyengaja memilih shalat di sisi tiang ini.’
Beliau menjawab:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَهَا
“Aku melihat Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam memilih shalat di sisinya.” (HR. Al-Bukhari no. 502 dan Muslim no. 1136)
- Tongkat yang ditancapkan
Ibnu ‘Umar radhiyAllahu ‘anhuma memberitakan:
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ
يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْـحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ
فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي
السَّفَرِ
“Rasulullah
ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bila keluar ke tanah lapang untuk
mengerjakan shalat Id, beliau memerintahkan pelayannya untuk membawa
tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat
menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau. Dan
beliau juga melakukan hal tersebut dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim no. 1115)
- Hewan tunggangan
Ibnu Umar radhiyAllahu ‘anhuma mengabarkan perbuatan Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam:
أَنَّهُ كَانَ يُعَرِّضُ رَاحِلَتَهُ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا
“Adalah
Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam melintangkan hewan tunggangannya
(antara beliau dengan kiblat), lalu shalat menghadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no. 1117)
- Pohon
Sekali
waktu Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap sebuah pohon,
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad
rahimahullahu (1/138) dari Ali bin Abi Thalib radhiyAllahu ‘anhu, ia
berkata:
لَقَدْ
رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ، وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ
إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ n، فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي إِلَى شَجَرَةٍ
وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ
“Sungguh
aku melihat kami pada malam Badr, tidak ada seorang pun dari kami
melainkan tertidur kecuali Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam,
beliau sedang mengerjakan shalat menghadap ke arah sebuah pohon sebagai
sutrahnya dan berdoa hingga pagi hari.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
berkata: “Sanadnya shahih.” Lihat Ashlu Shifah Shalatin Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, 1/120)
- Dinding/tembok
Sebagaimana
ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyAllahu ‘anhu
yang telah disebutkan ketika membahas tentang mendekat dengan sutrah.
- Tempat tidur
Pada
kali yang lain, beliau ShallAllahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tempat
tidur sebagai sutrahnya sebagaimana berita dari istri beliau, Aisyah
radhiyAllahu ‘anha:
لَقَدْ
رَأَيْتُنِي مُضْطَجِعَةً عَلَى السَّرِيْرِ فَيَجِيْءُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَتَوَسَّطُ السَّرِيْرَ فَيُصَلِّي
“Sungguh
aku melihat diriku dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur lalu
Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam datang, beliau berdiri menghadap
bagian tengah tempat tidur, kemudian shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 508 dan Muslim no. 1144)
Dalam lafadz lain, Aisyah radhiyAllahu ‘anha berkata:
لَقَدْ
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي
لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ
“Sungguh
aku melihat Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam shalat sementara aku
berada di antara beliau dan kiblatnya dalam keadaan berbaring di atas
tempat tidur.” (HR. Al-Bukhari no. 511 dan Muslim no. 1143)
- Benda yang tinggi
Boleh
menjadikan sesuatu yang tinggi semisal mu`khiratur rahl sebagai sutrah.
Mu`khiratur rahl adalah kayu yang berada di bagian belakang pelana
hewan tunggangan yang dijadikan sebagai sandaran si penunggang hewan
tersebut. Tingginya sekitar 2/3 hasta. (Nailul Authar 3/4, Taudhihul
Ahkam, 2/64, Asy-Syarhul Mumti` 1/731)
Aisyah
radhiyAllahu ‘anha berkata, “Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam pernah
ditanya dalam Perang Tabuk tentang tinggi sutrah orang yang shalat. Maka
beliau menjawab:
مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Semisal mu’khiratur rahl.” (HR. Muslim no. 1113)
Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
“Apabila
salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu`khiratur rahl di
hadapannya maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang
lewat di belakang sutrahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 1111)
Tidak Cukup dengan Garis
Adapun sekadar garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Subulus Salam, 1/227)
Al-Qarafi rahimahullahu mengatakan, “Ini adalah pendapat jumhur fuqaha.” (Adz-Dzakhirah, 2/154)
Walaupun
ada sebagian ahlul ‘ilmi berpandangan garis dapat dijadikan sebagai
sutrah. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/255), Abu Dawud
(no. 689), dan Ibnu Hibban (no. 2369) dari Abu Hurairah radhiyAllahu
‘anhu:
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَـمْ
يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصَبْ عَصًا، فَإِنْ لـَمْ يَكُنْ مِنْ عَصًا
فَلْيَخُطَّ خَطًّا وَلاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Apabila
salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia menjadikan sesuatu di
hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapatkan sesuatu hendaklah
ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia membuat
sebuah garis dan tidak memudaratkannya apa yang lewat di hadapannya.”
Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Tamamul Minnah, “Hadits ini
sanadnya dhaif tidak shahih. Walaupun orang-orang yang disebutkan oleh
penulis Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq) menganggapnya shahih. Namun ulama
yang lebih banyak jumlahnya selain mereka telah mendhaifkan hadits ini
dan mereka lebih kuat argumennya. Terlebih lagi adanya perselisihan
dalam riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu tentang permasalahan ini.
Al-Hafizh
rahimahullahu telah menukilkan dalam At-Tahdzib dari Al-Imam Ahmad t,
di mana disebutkan beliau berkata, “Permasalahan garis yang digunakan
sebagai sutrah, haditsnya dhaif.”
Sementara
dalam At-Talkhish, Al-Hafizh rahimahullahu menyebutkan penshahihan
Ahmad sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullahu dalam
Al-Istidzkar terhadap hadits di atas, kemudian beliau (Al-Hafizh)
berkata, “Sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi`i, Al-Baghawi rahimahumullah dan
selain mereka, telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini.”
Dalam
At-Tahdzib juga disebutkan, “Ad-Daraquthni rahimahullahu berkata,
‘Hadits ini tidak shahih, tidak tsabit.’ Asy-Syafi`i rahimahullahu
berkata dalam Sunan Harmalah, ‘Seseorang yang shalat tidak cukup membuat
garis di depannya untuk dijadikan sebagai sutrah kecuali bila di sana
ada hadits yang tsabit.’ Al-Imam Malik rahimahullahu berkata dalam
Al-Mudawwanah, ‘Garis yang digunakan sebagai sutrah adalah batil.’
Dari
kalangan ulama muta’akhirin yang mendhaifkan hadits ini adalah Ibnush
Shalah, An-Nawawi, Al-’Iraqi, dan yang lainnya. Inilah pendapat yang
benar karena hadits ini memiliki dua illat (penyakit yang mencacati),
yaitu idhthirab dan jahalah, yang menghalanginya untuk dihukumi hasan,
terlebih lagi dihukumi shahih.” (Tamamul Minnah, hal. 300-301)
Al-Qadhi
Iyadh rahimahullahu berdalil dengan hadits mu`khiratur rahl untuk
menyatakan garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai
sutrah. (Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh 2/414)
Faedah
Al-Qarafi rahimahullahu berkata menukil dari penulis kitab An-Nawadir, “bahwa
lubang dan sungai maupun segala sesuatu yang tidak tertancap dengan
tegak, seperti garis misalnya, bukanlah termasuk sutrah.” (Adz-Dzakhirah, 2/155)
Dikutip dari: http://www.asysyariah.com, Penulis: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari, Judul Asli: Sutrah dalam Shalat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar