Sebagai
beban dan amanah ilmiah, kami turunkan takhrij hadits adzan di telinga
bayi, sekaligus menyebutkan rujuknya Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albaniy -rahimahullah- dari meng-hasan-kan hadits tersebut, setelah
nyata bagi beliau bahwa semua jalur periwayatannya lemah, tidak bisa saling
menguatkan satu dengan lainnya agar para pembaca yang budiman
mengetahuinya dan bisa meralat segala kekeliruan yang ia yakini dan
lakukan sebelumnya, berupa adzan di telinga bayi saat baru dilahirkan ke
dunia.
Menurut
pemeriksaan para ulama terhadap riwayat-riwayat dan jalur-jalur hadits
adzan di telinga bayi, cuma ada tiga jalur atau empat:
Hadits Pertama
Hadits ini berasal dari Abu Rofi’, bekas budak Rasulullah, ia berkata: “Saya melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adzan, seperti adzan sholat, di telinga Al-Hasan bin Ali, ketika Fathimah -radhiyallahu ‘anha- melahirkannya”.
HR.
Abu Dawud (5105), At-Tirmidziy (4/1514), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro
(9/300), dan dalam Asy-Syu’ab (6/389-390), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir
(931-2578), dan dalam Ad-Du’a (2/944), Ahmad (6/9-391-392), Abdur-Razzaq
(7986), Ath-Thoyalisiy (970), Al-Hakim (3/179), dan Al-Baghowiy dalam
Syarh As-Sunnah (11/273).
Al-Hakim berkata, “Shohih sanadnya sekalipun keduanya (Al-Bukhoriy dan Muslim)
tidak mengeluarkannya”. Akan tetapi, ia disanggah oleh Adz-Dzahabi
seraya berkata : “Ashim dho’if (lemah)”. At-Tirmidzi berkata, “Semua meriwayatkannya dari jalur Sufyan Ats-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari bapaknya”.
Ini
juga merupakan HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (926,2579), dan
dibawakan hadits ini oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id (4/60)
dari jalur Hammad bin Syu’aib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin
Al-Husain dari Abi Rofi’ dengan sedikit tambahan, “Beliau adzan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain”. Dia berkata di akhirnya, “Beliau memerintahkan hal itu kepada mereka”.
Di dalam sanad hadits ini terdapat Hammad bin Syu’aib. Ibnu Ma’in telah men-dho’if-kannya. Al-Bukhoriy berkata, “Mungkar haditsnya”. Pada tempat lain, ia berkata: “Mereka meninggalkan haditsnya”. Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma’ (4/60), “Di dalamnya terdapat Hammad bin Syu’aib, sedang ia itu lemah sekali”.
Di
dalamnya juga terdapat Ashim bin Ubaidillah, seorang yang dho’if
(lemah). Selain itu, Hammad telah menyelisihi Sufyan Ats-Tsaury, baik
dalam hal sanad maupun redaksi hadits, sebab ia telah meriwayatkannya
dari Ashim dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rofi’. Dia menggantikan
Ubaidullah bin Abi Rofi’ dengan Ali bin Al-Husain, dan ia juga
menambahkan lafazh pada redaksi hadits, “…Al-Husain”, dan
perintah beradzan. Hammad yang ini termasuk orang yang tidak diterima
haditsnya, jika menyendiri dalam meriwayatkan hadits, karena kelemahan
pada dirinya yang telah anda ketahui. Apalagi ia menyelisihi orang yang
lebih tsiqoh (terpercaya) dan teliti daripada dirinya seperti
Ats-Tsaury. Dengan ini, hadits Hammad menjadi mungkar karena
kelemahannya pertama, dan kedua, penyelisihannya terhadap orang yang
lebih tsiqoh.
Adapun
jalur kedua dari Sufyan, terdapat seorang yang bernama Ashim bin
Ubaidillah. Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata dalam At-Taqrib,
“Dia lemah”. Al-Hafizh juga menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42), Syu’bah berkata, “Andaikan Ashim ditanya, “Siapakah
yang membangun Masjid Bashrah, niscaya ia akan menjawab, “Fulan dari
fulan dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau telah
membangunnya”. Ini untuk menggambarkan rowi ini mudah meriwayatkan
hadits, tanpa memperhatikan hadits yang ia riwayatkan sehingga ia banyak
menyelisihi orang yang lebih tsiqoh.
Adz-Dzahaby berkata dalam Al-Mizan (2/354), “Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata: Ashim adalah haditsnya mungkar . Ad-Daruquthny berkata: Ia ditinggalkan, orangnya lalai”. Lalu ia membawakan hadits hadits Abu Rofi’, “Bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengadzani telinga Al-Hasan dan Al-Husain”. Ringkasnya, hadits ini dho’if (lemah) karena masalahnya ada pada Ashim, sedang Anda telah tahu keadaan dirinya.
Ibnul
Qoyyim menyebutkan dalam dalam kitabnya Tuhfah Al-Wadud (hal.17) hadits
Abu Rofi’, lalu membawakan dua hadits :satunya dari Ibnu Abbas, dan
lainnya lagi dari Al-Husain bin Ali . Beliau menjadikan kedua hadits ini
sebagai penguat bagi hadits Abu Rofi’ dan membuatkan judul, “Bab: Dianjurkannya adzan ditelinga bayi”. Hal ini sebenarnya kurang tepat sesuai dengan pembahasan yang akan anda ketahui sebentar, Insya Allah Ta’ala.
Hadits Kedua
Adapun
hadits kedua dari Ibnu Abbas , diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam
Syu’abul Iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amer
bin Saif As-Sadusy, ia berkata, Al-Qosim bin Muthoyyib Telah
menceritakan kami dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu
Abbas: ”Bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adzan di
telinga Al-Hasan bin Ali pada hari ia dilahirkan, di telinga kanannya.
Beliau melakukan iqomat pada telinga kirinya”.
Setelah itu, Al-Baihaqi berkata: “Pada sanadnya terdapat kelemahan”. Kami katakan, “Bahkan hadits ini palsu”. Penyakitnya ada pada Al-Hasan bin Amer . Al-Hafizh berkata dalam At-Taqrib, “Orangnya matruk/ditinggalkan”.
Ibnu Abi Hatim berkata dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (1/2/26), biografi
(no.109), “Saya pernah mendengarkan bapakku berkata:[Kami pernah melihat
Al-Hasan bin Amer di Bashrah, dan kami tak menulis hadits darinya,
sedang dia itu ditinggalkan haditsnya]”. Adz-Dzahaby berkata dalam
Al-Mizan, “Al-Hasan bin Amer dikatakan pendusta oleh Ibnul Madiny.
Al-Bukhory berkata, “Dia pendusta”. Ar-Rozy berkata, “Dia ditinggalkan”.”.
Sebagaimana
yang kita ketahui bersama, diantara kaedah-kaedah Ilmu Mushtholah
Hadits bahwa hadits dho’if (lemah) tak akan bisa meningkat menjadi
hadits shohih atau hasan, kecuali ia datang dari jalur periwayatan yang
lain, dengan syarat: Tak ada orang yang parah
ke-dho’if-annya/kelemahannya dalam jalur tersebut, apalagi sampai ada
pendusta. Jadi, hadits kedua dari Ibnu Abbas ini -sedang kondisinya
begini- tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if dan tidak bisa
dijadikan hujjah. Di antara konsekuensi ilmu hadits, hadits Ibnu Abbas
tersebut tidak bisa dijadikan sebagai penguat bagi hadits Abu Rofi’.
Jadi, hadits Abu Rofi’ tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if, sedang hadits Ibnu Abbas adalah palsu!!
Hadits Ketiga
Adapun
hadits Al-Hasan bin Ali, hadits ini diriwayatkan oleh Yahya ibnul Ala’
dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubaidillah dari Al-Hasan bin Ali,
ia berkata: Bersabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Barang
siapa yang dikaruniai seorang anak, lalu ia mengadzani pada telinga
kanannya dan beriqomat pada telinga kirinya, niscaya anak itu tak akan
dimudhorotkan/dibahayakan oleh Ummu Shibyan”. [HR. Al-Baihaqiy
dalam Syu’abul Iman (6/390) , Ibnus Sunni dalam Amal Al-Yaum wa
Al-Lailah (623). Hadits ini dibawakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma’’
(4/59) seraya berkata, “HR.Abu Ya’la(6780), di dalamnya terdapat seorang
rawi yang bernama Marwan bin Salim Al-Ghifary, sedang ia itu matruk
/ditinggalkan”.
Bahkan
hadits Al-Husain bin Ali di atas adalah palsu, di dalamnya terdapat
seorang rawi yang bernama Yahya Ibnul Ala’ dan Marwan bin Salim,
keduanya memalsukan hadits sebagaimana hal ini disebutkan oleh Syaikh
Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (321). Nah, Hadits Abu
Rofi’ tetap kondisinya sebagai hadits dho’if sebagaimana yang dikatakan
oleh Al-Hafizh dalam At-Talkhish (4/149): “Inti permasalahannya pada Ashim bin Ubaidillah, sedang ia itu dho’if.”
Dulu Syaikh Al-Albany meng-hasan-kan
hadits ini dalam Shohih Sunan At-Tirmidzy (1224), Shohih Sunan Abu
Dawud (4258), Al-Irwa’ (4/401), dan Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah
(1/493).
Namun
belakangan Syaikh Al-Albany meralat peng-hasan-an beliau terhadap
hadits Abu Rofi’ (hadits pertama) dalam Adh-Dho’ifah pada cetakan
terakhir yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Ma’arif (1/494/no.321), “Sekarang
saya tegaskan –sekalipun kitab Asy-Syu’ab telah dicetak-, bahwa hadits
Ibnu Abbas tidak cocok untuk dijadikan penguat (bagi hadits Abu
Rofi’-pent.), karena di dalamnya terdapat rawi pendusta dan matruk
(ditinggalkan). Saya amat heran terhadap Al-Baihaqy dan Ibnul Qoyyim,
bagaimana keduanya cuma men-dho’if-kan hadits tersebut sehingga saya
hampir memastikan cocoknya hadits itu dijadikan sebagai penguat.
Makanya, sekarang aku pandang diantara kewajiban saya untuk mengingatkan
hal itu dan mentakhrijnya pada pembahasan akan datang (no.6121)”.
Disana ada sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam kitab “Manaqib Al-Imam Ali”
(113) dari Ibnu Umar secara marfu’. Cuma sayangnya hadits ini lagi-lagi
tidak bisa dijadikan penguat karena di dalamnya ada pendusta. Abu Ishaq
Al-Huwainy berkata dalam Al-Insyirah (hal.96), “Kesimpulannya, tak ada satu haditspun menjadi penguat bagi hadits ini menurut yang saya ketahui, Wallahu a’lam”.
Jadi,
tiga hadits di atas tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan
sunnahnya meng-adzan-i, dan meng-iqomat-i telinga bayi yang baru lahir,
karena kelemahan dan kepalsuannya.
Dikutip dari http://almakassari.com
dari Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 02 Tahun I. Penerbit :
Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne
No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab :
Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri
Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul
Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan
hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp). Judul asli: Adzan
ditelinga bayi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar