Sesungguhnya memahami Kalamullah adalah cita-cita
yang paling mulia dan taqarrub (pendekatan diri kepada Allah) yang
paling agung. Amalan ini telah dilakukan shahabat, tabi’in dan
murid-murid mereka yang menerima dan mendengar langsung dari guru-guru
mereka. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya yang mengikuti
jejak mereka hingga hari kiamat.
Tidak
diragukan, orang pertama yang menerangkan, mengajarkan, dan menafsirkan
Al Qur’an adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para shahabat
telah menerima Al Qur’an dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
secara bacaan dan pemahaman. Mereka mengetahui makna-makna,
maksud-maksud dan rahasia-rahasianya karena kedekatan mereka dengan
Rasulullah, khususnya Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu ‘anhum.
Mereka adalah para shahabat yang terkenal alim
di antara shahabat lainnya. Para shababat adalah guru-guru bagi tabi’in
yang di kemudian hari melahirkan ahli tafsir dari generasi ini di
Makkah, Madinah dan Irak. Dari shahabat dan tabi’in, dilahirkan ahli
tafsir yang mengetahui sejarah tafsir -di madrasah tafsir dengan atsar
(jejak/petunjuk) Nabi dan Shahabat- yaitu imam besar dalam ushul tafsir:
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (wafat 310 H).
Ciri
khas dari madrasah tafsir dengan atsar adalah menafsirkan ayat Al
Qur’an dengan satu atau lebih ayat Al Qur’an lainnya. Bila tidak
memungkinkan maka ditafsirkan dengan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang shahih. Jika tidak ditemukan hadits yang
menjelaskannya maka ditafsirkan dengan ucapan shahabat terutama shahabat
yang telah disebutkan di atas. Jika ucapan shahabat tidak ditemukan
maka dengan ucapan tabi’in seperti Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin
Al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, ‘Atha bin Abi Rabbah dan Al-Hasan
Al-Basri. Namun jika semuanya ada, maka biasanya disebut semua.
Adapun
menafsirkan Al Qur’an dengan akal semata, haram menurut kesepakatan
ulama Ahlus Sunnah, apalagi tafsir yang dilandasi ilmu filsafat
-walaupun terkadang benar- termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam:
“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan akalnya atau tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya dengan api neraka.” (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan)
Di abad
ke-8 Hijriyah lahir seorang ulama ahli tafsir yang merupakan alumnus
akhir madrasah tafsir dengan atsar. Dialah Isma’il bin ‘Umar bin Katsir
rahimahullah, salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah (wafat tahun 774 H). Tafsirnya dijadikan rujukan oleh para
ulama dan penuntut ilmu semenjak jaman beliau hingga sekarang.
Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullah -beliau juga menulis tafsir- mengatakan bahwa
Tafsir Ibnu Katsir adalah salah satu kitab tafsir terbaik, jika tidak
bisa dikatakan sebagai tafsir terbaik, dari kitab-kitab tafsir yang ada.
Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah menilai tafsirnya menakjubkan, belum
ada ulama yang menandinginya. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam bukunya Al-‘Ilmu menganjurkan penuntut
ilmu membaca Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim atau yang lebih dikenal dengan
Tafsir Ibnu Katsir. Wallahu a’lam.
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim, Judul: Tafsir Ibnu Katsir Salah Satu Kitab Tafsir Al Qur’an Terbaik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar