Kamis, 27 Maret 2014

KEUTAMAAN BERJALAN MENUJU MASJID UNTUK SHOLAT JUMAT, SHOLAT WAJIB, ATAU MENUNTUT ILMU

Di Tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat kemudian berangkat awal, berjalan kaki tidak berkendaraan, duduk mendekat pada Imam, menyimak dengan baik khutbah Imam dan tidak melakukan perbuatan sia-sia, maka setiap langkah kakinya adalah (pahala) amalan setahun berpuasa dan qiyaamul lail (H.R Abu Dawud, anNasaai, Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh al-Albany)
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Barangsiapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhu’nya kemudian mendatangi (sholat) Jumat, menyimak (khutbah Imam) dan diam, akan diampuni antara Jumat (itu) dengan Jumat (sebelumnya) dan ditambah 3 hari. Barangsiapa yang memain-mainkan kerikil, maka ia telah berbuat sia-sia (H.R Muslim)
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لاَ يُرِيْدُ إِلاَّ أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يُعَلِّمَهُ كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حَجَّتُهُ
Barangsiapa yang berangkat pagi menuju masjid, tidak menginginkan kecuali mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka pahalanya seperti berhaji secara sempurna (H.R atThobarony, dishahihkan Syaikh al-Albany)
ثَلاَثَةٌ فِي ضَمَانِ الله ، عَزَّ وَجَلَّ ، رَجُلٌ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ مَسَاجِدِ الله ، عَزَّ وَجَلَّ ، وَرَجُلٌ خَرَجَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ الله وَرَجُلٌ خَرَجَ حَاجًّا
Ada 3 orang yang berada dalam jaminan Allah Azza Wa Jalla: seorang yang keluar dari rumahnya menuju salah satu masjid Allah Azza Wa Jalla, seorang yang keluar berperang di jalan Allah, dan seorang yang keluar untuk berhaji (H.R al-Humaidy dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, dishahihkan Syaikh al-Albany)
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ
Maukah kalian aku tunjukkan pada (amalan-amalan) yang menghapuskan dosa-dosa dan menaikkan derajat-derajat? Para Sahabat berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: menyempurnakan berwudhu’ dalam keadaan yang menyulitkan, memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu sholat (berikutnya) setelah sholat. Itu adalah ribath (berjaga di perbatasan kaum muslimin dalam menghadang musuh) (H.R Muslim)
مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلَّاهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ
Barangsiapa yang berwudhu’ untuk sholat, kemudian menyempurnakan wudhu’nya kemudian berjalan menuju sholat wajib, sholat bersama manusia atau bersama Jamaah atau di masjid, Allah ampuni dosanya (H.R Muslim dari Utsman bin Affan)
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
Sholat seorang laki-laki berjamaah (di masjid) lebih utama dibandingkan sholatnya di rumahnya atau di pasarnya 25 kali lipat. Yang demikian karena ketika ia berwudhu dan menyempurnakan wudhunya kemudian keluar menuju masjid tidak menginginkan kecuali sholat, tidaklah ia melangkahkan satu langkah kecuali ditinggikan satu derajat dan dihapus satu kesalahan. Jika ia sholat Malaikat senantiasa mendoakannya selama ia berada di tempat sholatnya: Ya Allah bersholawatlah kepadanya, Ya Allah rahmatilah ia. Senantiasa seseorang berada dalam keadaan sholat selama ia menunggu sholat (H.R al-Bukhari).
إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى
Sesungguhnya manusia yang paling besar pahalanya dalam sholat adalah yang paling jauh berjalan kaki menuju (tempat sholat)(H.R Muslim)
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ كَانَ رَجُلٌ لَا أَعْلَمُ رَجُلًا أَبْعَدَ مِنْ الْمَسْجِدِ مِنْهُ وَكَانَ لَا تُخْطِئُهُ صَلَاةٌ قَالَ فَقِيلَ لَهُ أَوْ قُلْتُ لَهُ لَوْ اشْتَرَيْتَ حِمَارًا تَرْكَبُهُ فِي الظَّلْمَاءِ وَفِي الرَّمْضَاءِ قَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ مَنْزِلِي إِلَى جَنْبِ الْمَسْجِدِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ يُكْتَبَ لِي مَمْشَايَ إِلَى الْمَسْجِدِ وَرُجُوعِي إِذَا رَجَعْتُ إِلَى أَهْلِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَمَعَ اللَّهُ لَكَ ذَلِكَ كُلَّهُ
Dari Ubay bin Ka’ab –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Ada seseorang yang paling jauh tempat tinggalnya dari masjid. Ia tidak pernah ketinggalan sholat. Dikatakan kepadanya: Kalau seandainya engkau membeli keledai sehingga bisa ia tunggangi di saat gelap atau panas. Orang itu berkata: Saya tidak suka rumah saya berada di samping masjid. Sesungguhnya saya ingin agar tercatat (pahala) langkah saya menuju sholat dan langkah kepulangan saya (dari masjid menuju rumah). Maka Rasulullah shollalahu alaihi wasallam bersabda: Allah telah menggabungkan hal itu semua untukmu (pahala langkah berangkat menuju masjid dan pahala langkah pulang dari masjid)(H.R Muslim).
Catatan : Hadits Ubay bin Ka’ab ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa pahala langkah kaki yang tercatat bukan saja saat berangkat dari rumah menuju masjid, namun juga langkah kaki saat dari masjid pulang ke rumah. Sebagaimana dijelaskan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidzhahullah dalam syarh Sunan Abi Dawud.
Baca SelengkapnyaKEUTAMAAN BERJALAN MENUJU MASJID UNTUK SHOLAT JUMAT, SHOLAT WAJIB, ATAU MENUNTUT ILMU

PENGHIANATAN SYI’AH DALAM LEMBARAN SEJARAH (bagian 1)

Berabad-abad lamanya sekte Syi’ah menyebarkan penyimpangan akidah di tengah
umat. Terkhusus perbuatan mengafirkan para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bahkan termasuk istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Berangkat dari akidah
yang menyimpang tersebut, terjadilah apa yang terjadi seperti pengkhianatan dan
pembantaian terhadap kaum muslimin.
Tulisan berikut ini menghadirkan sejarah pengkhianatan dan pembantaian yang dilakukan
kaum Syi’ah terhadap kaum muslimin berdasarkan fakta. Disuguhkan dari sejumlah
karya tulis para ulama, di antaranya adalah kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Imam
Ibnu Katsir, seorang ulama besar bermadzhab Syafi’i.
Pengkhianatan Daulah Qaramithah
Daulah Qaramithah dinisbahkan kepada Hamdan Qarmath, pemimpin mereka. Didirikan
oleh Abu Said al-Jannabi tahun 278 H berpusat di Bahrain. Mengusung pemikiran Syi’ah
Ismailiyyah, ideologi sesat yang meyakini imamah (kepemimpinan) Ismail bin Ja’far as-
Shadiq. Daulah ini berkuasa selama 188 tahun. Menguasai daerah Ahsa’, Hajar, Qathif,
Bahrain, Oman, dan Syam.
Pada tahun 294 H, Qaramithah dipimpin Zakrawaih menghadang kepulangan jamaah haji
dan menyerang mereka pada bulan Muharram. Terjadilah peperangan besar kala itu. Di
saat mendapat perlawanan sengit, Syi’ah Qaramithah menarik diri dengan nada bertanya,
“Apakah ada wakil sultan di antara kalian?”
Jamaah haji menjawab, “Tidak ada seorang pun (yang kalian cari) di tengah-tengah
kami.” Qaramithah lalu berujar, “Maka kami tidak bermaksud menyerang kalian (salah
sasaran).” Peperangan pun berhenti. Sesaat kemudian, ketika jamaah haji merasa aman
dan melanjutkan perjalanannya, maka para pengikut Syi’ah kembali menyerang mereka.
Banyak jamaah haji yang terbunuh disana. Adapun mereka yang melarikan diri,
diumumkan akan diberi jaminan keamanan oleh Syi’ah. Ketika sisa jamaah haji tadi
kembali, maka pasukan Syi’ah berkhianat dan membunuh mereka.
Peran kaum wanita Syi’ah pun tidak kalah sadisnya. Paska perang, kaum wanita Syi’ah
mengelilingi tumpukan-tumpukan jenazah dengan membawa geriba air. Mereka
menawarkan air tersebut di tengah-tengah korban perang. Apabila ada yang menyahut,
maka langsung dibunuh. Jumlah jamaah haji yang terbunuh saat itu mencapai 20.000
jiwa, ditambah dengan harta yang dirampas mencapai dua juta dinar. Inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un.
Pada tahun 312 H, Qaramithah dipimpin Abu Thahir, putra Abu Said, menyerang jamaah
haji asal Baghdad ketika pulang dari Mekah pada bulan Muharram. Mereka membunuh
dan merampas hewan-hewan bawaan jamaah haji tersebut. Adapun sisa jamaah haji,
ditinggalkan begitu saja sehingga mayoritasnya mati kehausan di tengah teriknya
matahari.
Pada tahun 315 H, Qaramithah berjumlah 1.500 tentara dipimpin oleh Abu Thahir maju
menuju Kufah pada bulan Syawwal. Mereka dihadapi oleh pasukan Khalifah saat itu
sebanyak 6.000 tentara. Walhasil, pasukan Syi’ah memenangkan peperangan dan berhasil
membunuh mayoritas pasukan Kufah.
Pada tahun 317 H, Qaramithah sebanyak 700 tentara dipimpin Abu Thahir, yang berumur
22 tahun, mendatangi Mekah saat musim haji. Selanjutnya, mereka membunuh jamaah
haji yang sedang menunaikan manasiknya. Sementara itu, Abu Thahir duduk di depan
Ka’bah dan berseru, “Aku adalah Allah, demi Allah, aku menciptakan seluruh makhluk
dan yang mematikan mereka.”
Abu Thahir segera memerintahkan pasukannya untuk mengambil pintu Ka’bah, dan
menyobek-nyobek tirai Ka’bah. Salah seorang tentaranya memanjat Ka’bah untuk
mengambil talangnya, namun tewas terjatuh. Ia juga memerintahkan salah satu tentaranya
untuk mengambil Hajar Aswad.Tentara tersebut mencongkelnya dan dengan angkuhnya
berseru, “Mana burung yang berbondong-bondong itu? Mana pula batu dari neraka Sijjil
(yang menimpa pasukan Raja Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’bah menjelang
masa kelahiran Nabi)?” Setelah berlalu enam hari, mereka pulang membawa Hajar
Aswad.
Gubernur Mekah dengan dikawal pasukannya segera menemui pasukan Syi’ah tersebut di
tengah jalan. Berharap agar mereka mau mengembalikan Hajar Aswad dengan imbalan
harta yang banyak. Namun Abu Thahir tidak menggubrisnya. Terjadilah peperangan
setelah itu.
Pasukan Qaramithah menang dan membunuh mayoritas yang ada di sana. Lalu
melanjutkan perjalanan pulang ke Bahrain dengan membawa harta rampasan milik
jamaah haji. Setelahnya, dibuatlah maklumat menantang umat Islam bila ingin
mengambil Hajar Aswad tersebut, bisa dengan tebusan uang yang sangat banyak atau
dengan perang.
Hajar Aswad pun berada di tangan mereka selama 22 tahun. Mereka lalu
mengembalikannya pada tahun 339 H, setelah ditebus dengan uang sebanyak 30.000
dinar oleh al-Muthi’ Lillah, seorang khalifah Daulah Abbas
Sumber: Pengkhianatan Syiah dalam Lembaran Sejarah (bagian 1) - Situs Resmi Ma'had
As-Salafy - http://mahad-assalafy.com/2013/11/25/pengkhianatan-syiah-dalam-lembaransejarah-
bagian-1/
WhatsApp Salafiyyin Jogja
Pengkhianatan Syi’ah dalam Lembaran Sejarah (bagian 2)
Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Kelompok ini terpecah
menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan
Ismailiyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang.
Tulisan berikut adalah kelanjutan catatan kelam daulah Fathimiyyah yang berideologi
Syi’ah. Termuat dari sejumlah karya tulis para ulama, di antaranya adalah kitab al-
Bidayah wan Nihayah karya Imam Ibnu Katsir rahimahullaah, seorang ulama besar
bermadzhab Syafi’i.
Prahara pada Tahun 478 H – 482 H
Pada tahun 478 H, Syi’ah Rafidhah menyerang umat Islam di Baghdad. Terjadilah
peperangan dengan jumlah korban yang sangat banyak dari kedua belah pihak.
Padahal, pada tahun itu terjadi wabah demam di mana-mana, kematian binatang-binatang
ternak secara mendadak, serta wabah tha’un (sejenis penyakit pes) yang menyerang
secara luas di Irak, Mekkah, Madinah, dan Syam.
Pada tahun 481 H, Syi’ah Rafidhah melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin di
Baghdad. Peperangan terjadi sekian kali dengan jumlah korban yang cukup banyak dari
kedua belah pihak.
Pada tahun 482 H, penduduk Karkh yang beraliran Syi’ah Rafidhah menyerang umat
Islam hingga terjadi peperangan yang berkepanjangan. Peristiwa tersebut menelan korban
sebanyak 200 jiwa dari kedua belah pihak.
Prahara pada Tahun 490 H – 494 H
Pada tahun 490 H, daulah Fathimiyyah mengirim menteri yang bernama Badrul Jamali
sebagai duta kepada panglima perang salib pertama. Menyampaikan kesiapan untuk
bekerja sama menyerang kaum muslimin di wilayah Syam yang dikuasai daulah
Salajiqah dari Turki.
Perjanjian tersebut berisi adanya kesepakatan pembagian wilayah. Daerah Syam sebelah
utara akan dikuasai bangsa Eropa, sedangkan bagian selatan Syam akan dikuasai oleh
Syi’ah.
Meski, bangsa Eropa awalnya keberatan dengan perjanjian bilateral tersebut. Karena
tujuan utama bangsa Eropa adalah ingin menguasai Baitul Maqdis. Namun pada akhirnya
mereka menyetujui permohonan Syi’ah.
Pada tahun 492 H, bangsa Eropa tiba dan menyerang wilayah Syam. Orang-orang
Syi’ah membantu mereka dengan bala tentara beserta berbagai senjata. Setelah melewati
peperangan dahsyat, akhirnya pasukan salib sampai kepada pengepungan Baitul Maqdis.
Mereka mempergunakan lebih dari 40 manjaniq (ketapel pelontar ukuran besar) untuk
menghancurkan tembok-tembok pertahanan Baitul Maqdis. Sementara sejumlah uskup
memberikan motivasi kepada tentara-tentara salibis untuk gigih dalam berperang. Dengan
penuh keangkuhan, mereka maju mengatas-namakan perang suci membela agama.
Hari Jum’at 7 Sya’ban, pasukan salib yang berjumlah 1.000.000 tentara berhasil
menduduki Baitul Maqdis. Pasukan Salib menjarah benda-benda berharga dari Baitul
maqdis. Mereka berbuat sewenang-wenang dan membunuh lebih dari 60.000 warga di
sekitar Baitul Maqdis.
Perang salib sendiri berlangsung selama dua abad. Invasi militer pertamanya pada tahun
440 H dengan dukungan dari pihak gereja katolik di Roma. Tahun itu mereka berhasil
menguasai sejumlah wilayah di Syam dan sekitar sungai Eufrat. Pihak gereja
mengirimkan para uskup dalam perang tersebut. Bahkan memprovokasi raja-raja Eropa
untuk turut andil dalam misi besar ini.
Pada tahun 494 H, pasukan Syi’ah menyerang daerah Isfahan dan sekitarnya. Mereka
membunuh umat Islam di sana, menjarah rumah-rumah yang ada, dan mengumumkan
akan membunuh orang-orang yang dianggap terhormat.
Terjadilah pertumpahan darah di daerah tersebut. Sebelumnya, mereka juga merebut
benteng dalam jumlah banyak. Hal ini mengakibatkan kelemahan di tubuh kaum
muslimin, hingga pasukan salib mudah menguasai wilayah-wilayah Islam.
Prahara pada Tahun 496 H – 500 H
Pada tahun 496 H, seorang pengikut Syi’ah Rafidhah membunuh seorang ulama
bernama Abul Muzhaffar al-Khujandi usai mengajar di masjid jami’ di daerah Rayy.
Beliau adalah salah satufuqaha’ bermadzab Syafi’i.
Pada tahun 500 H, seorang menteri bernama Fakhrul Malik terbunuh di Naisabur pada
bulan Dzulhijjah. Ketika beliau keluar dari rumahnya sore hari dalam keadaan berpuasa,
lalu bertemu dengan seseorang yang mau melaporkan pengaduan dengan membawa
berkas.
Beliau pun mendekat dan membacanya. Di kala beliau membaca dengan seksama,
pemuda yang kelak diketahui sebagai pengikut Syi’ah itu, langsung menikamnya dengan
belati hingga meninggal pada usia 66 tahun.
Pemuda tersebut akhirnya ditangkap dan dibawa ke hadapan Sultan. Diapun mengakui
perbuatannya. Bahkan berdusta bahwa dirinya disuruh oleh para sahabat Menteri.
Akhirnya, pemuda itu dan para sahabat Menteri dijatuhi hukuman mati.
Prahara pada Tahun 503 H – 519 H
Pada tahun 503 H, seorang pengikut Syi’ah melakukan percobaan pembunuhan
terhadap menteri yang bernama Abu Nasr, namun upaya tersebut gagal. Hanya saja Abu
Nasr terluka akibat hal itu.
Setelah dinterogasi, akhirnya pengikut Syi’ah itu memberitahukan keberadaan temantemannya
(Syi’ah Ismailiyyah) yang ikut andil dalam misi tersebut. Setelahnya, mereka
semua dijatuhi hukuman mati.
Pada tahun 505 H, umat Islam di bawah pimpinan Maudud bin Zanki, raja Mosul
menyerbu pasukan salib yang berada di Syam. Kaum muslimin meraih kemenangan,
membunuh banyak tentara salibis, dan berhasil merebut benteng dalam jumlah yang
banyak dari tangan bangsa Eropa.
Lalu pasukan Islam kembali. Ketika memasuki Damaskus, Maudud masuk masjid jami’
untuk menunaikan shalat di dalamnya. Datanglah seorang pengikut Syi’ah Ismailiyyah
yang menyamar sebagai pengemis.
Pengemis gadungan tersebut meminta sesuatu kepada Maudud. Ketika beliau mendekat
hendak memberi, pengikut Syi’ah itu langsung menikam tepat di hatinya hingga
meninggal dunia.
Pada tahun 519 H, seorang pengikut Syi’ah tega membunuh hakim senior yang bernama
Abu Sa’d al-Harawi di daerah Hamadan. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un.
Prahara pada Tahun 562 H – 565 H
Pada tahun 562 H, seorang menteri daulah Fathimiyyah bernama Syawir, mengirim
utusan kepada raja Eropa di Baitul Maqdis, untuk meminta bantuan menyerang pasukan
Nuruddin Mahmud di Mesir. Akhirnya pasukan salib dengan bantuan orang-orang Syi’ah
menyerang Mesir.
Setelah terjadi peperangan yang cukup alot di antara kedua belah pihak, pasukan
gabungan tersebut dapat dikalahkan pasukan Islam pimpinan Nuruddin Mahmud.
Pada tahun 564 H, seorang staf khalifah Fathimiyyah bernama at-Thawasyi mengirim
surat dari istana kerajaan kepada bangsa Eropa, agar membantu mengusir pasukan Islam
pimpinan Shalahuddin al-Ayyubi dari Mesir.
Di tengah jalan, utusan yang membawa surat rahasia tersebut dapat ditangkap.
Shalahuddin al-Ayyubi akhirnya mengetahui akan pengkhianatan ini. Lalu at-Thawasyi
dapat dibunuh di kemudian hari.
Pada tahun 565 H, para pejabat Syi’ah mengirim surat meminta bantuan kepada bangsa
Eropa. Pasukan salib pun datang ke Mesir dari segala arah.
Memasuki bulan Safar, bangsa Eropa dengan bantuan orang-orang Syi’ah mengepung
kota Dimyath selama 50 hari dan membunuh kaum muslimin yang ada di sekitarnya.
Shalahuddin al-Ayyubi khawatir mereka nantinya akan menduduki kota al-Quds
(Yerussalem), maka beliau meminta bantuan kepada Nuruddin Mahmud di Damaskus.
Nuruddin segera mengerahkan pasukan besar untuk membantu umat Islam disana.
Akhirnya, bangsa Eropa pergi meninggalkan Dimyath.
Pasukan salib tidak melanjutkan misinya karena terjadi silang pendapat di antara mereka
tentang strategi apa yang akan dilaksanakan. Apalagi, adanya laporan bahwa pasukan
Nuruddin Mahmud menyerbu wilayah mereka, mengepung benteng terkuat di kota Karkh
dan menguasainya.
Selama hidupnya, Nuruddin Mahmud berjuang dengan segenap kemampuannya untuk
membela agama Allah. Menjaga wilayah perbatasan, melawan kejahatan negara kafir.
Beliau berhasil mengembalikan lebih dari 50 kota yang dulunya dikuasai kaum Nasrani.
Catatan tentang Daulah Fathimiyyah
Para pembaca yang mulia, sesungguhnya para khalifah daulah Fathimiyyah adalah
sekumpulan orang yang paling banyak menimbun harta, gemar melakukan kezaliman,
dan paling buruk riwayat hidupnya dalam sejarah.
Kemungkaran dan kebid’ahan banyak terjadi di mana-mana. Orang-orang jahat
bertambah banyak di berbagai tempat, sementara orang-orang shalih semakin sedikit.
Ditambah pula ajaran agama Nasrani berkembang pesat di Syam.
Selama daulah Fathimiyyah berkuasa, banyak tempat yang dihancurkan oleh pasukan
salib. Banyak pula harta yang dirampas oleh orang-orang kafir kala itu.
Bangsa Eropa menguasai wilayah-wilayah Islam yang dahulunya berhasil ditaklukkan
oleh para sahabat Nabi. Umat Islam banyak yang terbunuh, banyak kaum wanita dan
anak-anak ditawan oleh bangsa Eropa. Tidak ada yang mengetahui jumlah-nya secara
persis kecuali Allah l saja. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un.
Syi’ah tega melakukan berbagai kejahatan disebabkan adanya keyakinan sesat bahwa
kaum muslimin di luar kelompoknya adalah kafir dan halal darahnya.
Akhir Kata
Imam Syafi’i rahimahullaah berkata tentang sekte Syi’ah, “Aku tidak pernah melihat
para pengikut hawa nafsu yang lebih dusta dalam ucapan, dan bersaksi dengan persaksian
palsu daripada Syi’ah Rafidhah.” (lihat al-Ibanah al-Kubra)
Hati yang lurus tak akan tenang dengan kejahatan dan pengkhianatan mereka. Luka-luka
di hati kaum muslimin jelas begitu mendalam.
Namun, semestinya kita bersikap sesuai syariat dalam menyikapi permasalahan tersebut.
Yaitu dengan menghindari tindak anarkis dan menyerahkan urusan tersebut kepada
pemerintah.
Bersambung… Insya Allah.
Penulis: Ustadz Muhammad Hadi hafizhahullaahu ta’aalaa
http://mahad-assalafy.com/2013/11/29/pengkhianatan-syiah-dalam-lembaran-sejarahbagian-
2/
Pengkhianatan Syi’ah dalam Lembaran Sejarah (bagian 3)
Betapa mulia nilai sebuah kejujuran. Sebaliknya, kedustaan akan mengubah kejayaan
menjadi kerendahan. Kehancuran sebuah bangsa tidak hanya disebabkan oleh kelemahan
sistem. Dalam tinjauan sejarah, ditengarai di antara sebabnya adalah pengkhianatan. Di
antara pengkhianat itu, Syi’ah sebagai dalangnya.
Paparan berikut ini mengetengahkan sekelumit sejarah runtuhnya daulah Abbasiyyah.
Tersaji dari sejumlah karya tulis para ulama. Di antaranya adalah kitab al-Bidayah wan
Nihayah karya Imam Ibnu Katsir rahimahullah, seorang ulama besar bermadzhab
Syafi’i.
Sekilas Tentang Daulah Abbasiyyah
Daulah ini didirikan pada tahun 132 H berpusat di Kufah, selanjutnya pindah ke
Baghdad. Daulah Abbasiyyah berkuasa selama 524 tahun. Menguasai Bahrain, Oman,
Hijaz, Yaman, Persia, Khurasan, Mosul, Armenia, Azerbaijan, Syam, Mesir, Afrika, dan
India.
Para khalifah yang memimpin daulah Abbasiyyah berjumlah 37 khalifah. Khalifah
pertama daulah ini bernama Abul ‘Abbas as-Saffah. Beliau dibaiat pada bulan Rabiul
Awwal 132 H di Kufah. Merupakan keturunan sahabat Nabi yang bernama ‘Abdullah bin
‘Abbas. Karenanya, daulah ini disebut dengan daulah Abbasiyyah.
Adapun khalifah terakhir daulah ini adalah al-Mus’tashim Billah. Beliau meninggal pada
tahun 656 H di Baghdad, dibunuh oleh pasukan Tartar. Dengan itu maka berakhir pula
masa pemerintahan daulah Abbasiyyah.
Latar Belakang Pengkhianatan
Kabilah-kabilah Tartar (Mongol) yang menetap di pegunungan Mongolia dan Siberia
berhasil dipersatukan oleh Jenghis Khan, nama aslinya adalah Temujin. Para penyembah
matahari ini selanjutnya memulai invasi militernya pada awal tahun 616 H.
Mereka terus maju dan berhasil menguasai sejumlah wilayah Islam seperti Bukhara,
Samarqand, Hamadzan, Maru, Naisabur, dan lainnya secara berurutan.
Sebabnya, karena sebelumnya para pedagang Tartar masuk ke wilayah Islam membawa
harta yang banyak dalam rangka jual beli. Namun mereka dibunuh oleh pasukan
Khawarizm Syah karena dicurigai sebagai mata-mata. Bahkan raja Khawarizm Syah
membunuh utusan Tartar, menyerang pemukiman mereka, dan menawan sebagian
penduduknya.
Pasukan Tartar terus melanjutkan perjalanannya hingga sampai di wilayah Irak, pusat
daulah Abbasiyyah.
Memasuki tahun 656 H, khalifah saat itu adalah ‘Abdullah al-Mus’tashim Billah, dengan
seorang perdana menteri yang bernama Muhammad Ibnul ‘Alqami, pengikut Syi’ah
Rafidhah yang mengafirkan para sahabat dan istri Nabi n. Paham sesat yang
membelenggu sanubarinya membuatnya tega melakukan tindak kejahatan terhadap kaum
muslimin.
Apalagi, pada tahun 655 H telah terjadi peperangan antara Syi’ah Rafidhah dan umat
Islam di daerah Karkh. Syi’ah kalah, dan sejumlah wilayah mereka dikuasai. Termasuk
rumah-rumah kerabat Ibnul ‘Alqami. Dia pun marah dan merencanakan pembalasan yang
jauh lebih besar.
Ditambah pula dengan keberadaan Nashiruddin at-Thusi yang berakidah Syi’ah
Ismailiyyah, mantan menteri Syams as-Syumus penguasa negeri Qila` al-Almut yang
sebelumnya juga sebagai menteri di masa sang ayah (penguasa sebelumnya) yang
bernama ‘Alauddin. Kemudian menjadi antek pasukan Tartar dan orang dekat pemimpin
Tartar, Hulako Khan.
Langkah Awal Pengkhianatan
Ibnul ‘Alqami berusaha keras untuk memperlemah kekuatan daulah saat itu. Dia
mengurangi jumlah tentara dengan alasan keuangan negara sedang defisit. Pada khalifah
sebelumnya, pasukan Abbasiyyah mencapai 100.000 tentara. Jumlah ini terus dikurangi
olehnya hingga menjadi 10.000 tentara saja.
Kondisi ekonomi tentara tersebut sangat memprihatinkan, banyak dari mereka memintaminta
di pasar atau di depan masjid. Ibnul ‘Alqami juga membocorkan rahasia negara
serta kondisi daulah kepada raja Tartar yang bernama Hulako Khan, cucu dari Jenghis
Khan.
Lebih parah dari itu, Ibnul ‘Alqami memprovokasi Tartar untuk menyerbu daulah
Abbasiyyah. Menjelaskan bahwa semuanya akan berjalan dengan mudah, karena dia
telah mengatur segalanya.
Kedatangan Pasukan Tartar
Pada 12 Muharram 656 H, bangsa Tartar datang dengan kekuatan penuh berjumlah
200.000 tentara. Dengan bantuan Badruddin Lu’lu’, raja Mosul yang berakidah Syi’ah,
mereka mengepung Baghdad menggunakan manjaniq (ketapel pelontar berukuran besar)
berjumlah banyak.
Di saat-saat genting, Ibnul ‘Alqami bersama keluarga dan para pegawainya keluar
menemui Hulako Khan, memberikan sambutan dan sejumlah hadiah. Lalu Ibnul ‘Alqami
kembali dan menyarankan Khalifah untuk menemui Hulako Khan, membuat kesepakatan
damai dengan memberikan setengah hasil devisa negara kepada pihak Tartar. Khalifah
pun menyetujuinya.
Khalifah menemui Tartar bersama rombongan berjumlah 700 orang terdiri dari para
pejabat, para hakim, fuqaha’, dan lainnya. Tatkala hampir mendekati markas Hulako
Khan, mereka dilarang masuk kecuali hanya 17 orang saja.
Bertemulah Khalifah dengan Hulako Khan. Ditanyai dengan banyak pertanyaan, al-
Mus’tashim malah menjawab dengan nada bergetar ketakutan.
Adapun mayoritas rombongan yang di luar, seluruhnya dibunuh dan dirampas hartanya
oleh pasukan Tartar. Selanjutnya, Khalifah kembali dengan ditemani Ibnul ‘Alqami dan
Nashiruddin at-Thusi.
Istana kerajaan dalam pengepungan pasukan Tartar. Mereka menyita emas, permata,
mutiara, dan berbagai barang berharga lainnya dari dalam istana. Khalifah, keluarga, dan
para pejabat di dalamnya dirundung ketakutan.
Runtuhnya Daulah Abbasiyyah
Rabu 14 Safar, Khalifah menemui Tartar untuk kedua kalinya. Meski awalnya bimbang,
akhirnya Hulako Khan mengeluarkan perintah bunuh berkat bujukan Ibnul ‘Alqami dan
Nashiruddin at-Thusi. Khalifah dibunuh dengan cara dimasukkan karung agar darahnya
tidak menetes ke tanah, lalu ditendang bertubi-tubi hingga meninggal pada usia 46 tahun.
Setelahnya, seluruh pasukan Tartar menyerbu Baghdad dari segala penjuru tanpa ada
perlawanan yang berarti. Tak bisa dibayangkan apa yang terjadi. Suatu kaum yang gemar
berperang, jika berangkat perang tidak membawa banyak perbekalan karena biasa
menyantap berbagai macam daging atau bangkai hewan yang ada.
Aturan yang berlaku hanyalah hukum Elyasiq buatan Jenghis Khan. Mereka pula tidak
mengharamkan sesuatupun dalam kehidupannya, tak mengenal istilah pernikahan, dan
sangat mengagungkan Jenghis Khan karena diyakini bahwa dia adalah putra dari dewa
matahari.
Selama 40 hari di Baghdad, mereka membunuh siapapun yang ditemui, baik laki-laki
atau perempuan, anak kecil maupun orang tua, hingga warna sungai Tigris berubah
menjadi merah. Banyak yang bersembunyi di dalam rumah, masjid, toko, sumur, dan
tempat sampah.
Bahkan banyak pula yang mencoba bersembunyi di dalam septic tank selama berharihari.
Namun sepertinya usaha tersebut sia-sia, karena pasukan Tartar dapat membunuh
mayoritas mereka.
Tidak ada yang selamat kecuali kaum Yahudi, Nasrani, para konglomerat yang
menyerahkan hartanya, serta orang-orang yang berlindung di kediaman Ibnul ‘Alqami.
Mereka harus menyerahkan harta sebagai jaminan keselamatan.
Masjid-masjid yang ada dilumuri khamr (minuman keras). Dalam satu hari, lebih dari
500 ulama dibunuh. Lalu istana tersebut diberikan kepada seorang Nasrani.
Atas saran dari kaum Nasrani, Tartar memaksa penduduk Baghdad yang tersisa untuk
berbuka pada siang bulan Ramadhan, memakan daging babi, dan minum khamr.
Ibnul ‘Alqami sendiri tak kalah sadisnya. Dia membunuh para ulama, seperti Syaikh
Muhyiddin Yusuf dan Syaikh Shadruddin ‘Ali. Demikian pula dia membunuh para
pejabat, khatib, imam, dan penghafal Al-Qur`an. Lalu menawan gadis-gadis mereka.
Sehingga selama beberapa bulan tidak diadakan shalat berjamaah di masjid-masjid.
Adapun Nashiruddin at-Thusi, dia menyarankan agar buku-buku Islam yang ada di
berbagai perpustakaan Baghdad untuk dibuang ke sungai. Maka seluruh karya tulis para
ulama yang mereka dapati dibuang ke sungai Dajlah, hingga warna airnya berubah
menjadi hitam oleh tinta selama beberapa hari.
Kota Baghdad seakan-akan tak berpenghuni, sunyi senyap mewarnai sudut-sudut kota.
Linangan air mata membasahi tubuh-tubuh yang lemas terkulai. Sementara mayat-mayat
bergelimpangan di jalan-jalan seperti gundukan tanah.
Di tengah puing-puing bangunan, tercium bau tidak sedap dari mayat-mayat yang mulai
membusuk. Pencemaran udara tersebut menimbulkan berbagai wabah penyakit
berbahaya. Hingga wabah tersebut menyebar ke Syam.
Ketakutan, kelaparan, dan isak tangis pun memecah keheningan malam kota itu. Padahal
sebelumnya, Baghdad merupakan kota yang indah menawan dengan tata letak yang
sangat rapi.
Sebagian dari pakar sejarah menyebutkan bahwa jumlah korban kejahatan Tartar
mencapai 2.000.000 jiwa. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Nasihat Ulama
Imam Malik, guru Imam Syafi’i berkata tentang Syi’ah, “Jangan kamu berbincang
dengan mereka, dan jangan pula meriwayatkan hadits dari mereka, karena sungguh
mereka itu selalu berdusta.” (Lihat Minhajus Sunnah)
Akhir Kata
Para pembaca yang mulia, kita tentu tercengang mendapati kenyataan ini. Diketahui
bersama, bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi ini disebabkan oleh ulah manusia.
Di mana mereka selalu bermaksiat, begitu jauh dari agama.
Semestinya kita tidak terlena oleh dunia, mau meluangkan waktu untuk menimba ilmu
Islam. Bersumber dari kalam Ilahi dan tuntunan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, disertai pemahaman para sahabatnya yang mulia.
Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Hadi hafizhahullaahu ta’aalaa
http://mahad-assalafy.com/2013/12/02/pengkhianatan-syiah-dalam-lembaran-sejarahbagian-
3/
PENGHIANATAN SYI’AH DALAM LEMBARAN SEJARAH (Bagian 4 Selesai)

Berapa banyak orang yang mengira bahwa Syi’ah itu baik, karena tak seberapa jauh
mengetahui hakikatnya. Mencintai ahlul bait adalah sebuah keharusan. Ibarat serigala
berbulu domba, justru Syi’ahlah yang mengkhianati ahlul bait dan umat Islam.
Fakta sejarah berikut ini bersandar pada sejumlah karya tulis para ulama, di antaranya
adalah kitab al-Bidayah Wan Nihayah karya al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, seorang
ulama besar bermadzab Syafi’i. Mengajak untuk lebih mengenal identitas Syi’ah dalam
kehidupan.
Pengkhianatan Pada Tahun 658 H
Pada tahun tersebut, bangsa Tartar dapat menduduki Damaskus dengan pasukan pimpinan
panglima bernama Katbugho. Kota Damaskus lalu diserahkan kepada panglima Tartar
bernama Ibil Siyan yang mengagungkan agama Nasrani.
Kaum Nasrani di Damaskus gembira lantas mengelilingi kota dengan membawa salib
besar, membanggakan agama Nasrani, memaksa penduduk untuk berdiri mengagungkan
salib. Mereka tidaklah melewati sebuah masjid melainkan menyiramkan khamr
(minuman keras) di dalamnya. Kaum Nasrani juga menyiramkan khamer di atas kepala
serta pakaian kaum muslimin. Mereka lalu memasuki gereja Maryam.
Ketika mendapat laporan adanya keinginan Tartar untuk menuju Mesir, maka al-
Mudzaffar Quthz, raja Mesir mendahului menyerang Tartar di ‘Ain Jalut, Syam. Pasukan
Islam menang dan membunuh ribuan pasukan Tartar, termasuk Katbugho. Untuk pertama
kalinya, bangsa Tartar kalah dengan kekalahan besar dan berlanjut di sejumlah medan
perang berikutnya.
Umat Islam di Damaskus membakar salib besar yang dulunya diarak dan membakar
gereja Maryam. Di dalam masjid Jami’, mereka membunuh al-Fakhr Muhammad bin
Yusuf al-Kanji. Dia adalah seorang ulama Syi’ah Rafidhah yang jahat.
Ternyata tragedi memilukan di Damaskus disebabkan oleh pengkhianatan kaum Syi’ah,
termasuk al-Fakhr Muhammad bin Yusuf al-Kanji. Dialah yang merampas harta umat
Islam. Bahkan dia tega berkhianat membocorkan kelemahan kaum muslimin kepada
Tartar.
Pengkhianatan Pada Tahun 699 H
Syi’ah Nushairiyyah dinisbahkan kepada pendirinya yang bernama Abu Syuhaib
Muhammad bin Nushair. Aliran ini menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meyakini reinkarnasi,
mengingkari hari kebangkitan, serta menghalalkan khamr dan perzinaan. Sekte ini adalah
pecahan dari Syi’ah Itsna Asy’ariyyah.
Pada tahun 699 H, tersiar kabar bahwa bangsa Tartar memasuki wilayah Syam di bawah
kekuasaan rajanya yang bernama Qazan, cicit dari Hulako Khan. Maka pasukan Islam
dari Damaskus keluar untuk menghadang laju musuh. Kedua pasukan bertemu di dekat
lembah Salimah pada hari Rabu 27 Rabi’ul Awwal. Alhasil, pasukan Islam kalah dan
banyak tentara Islam yang lari menyelamatkan diri.
Tak disangka, Syi’ah Nushairiyyah malah menawan, membunuh, serta merampas kuda
dan persenjataan pasukan Islam yang menyelamatkan diri ke wilayah mereka, di
pegunungan al-Jarad dan Kisrawan.
Pasukan Tartar membunuh siapapun yang ditemui dan melakukan kekejian di perbatasan
wilayah Syam. Semua yang terjadi disebabkan adanya persekongkolan dengan kaum
Syi’ah. Di antaranya dengan ulama Syi’ah bernama as-Syarif al-Qummi Muhammad al-
Murtadha dan juga al-Asyil bin Nashiruddin at-Thusi yang mendapat imbalan uang
sebesar seratus ribu dirham atas pengkhianatannya.
Pengkhianatan Pada Tahun 705 H
Pada tahun tersebut, bangsa Tartar di bawah kekuasaan rajanya yang bernama Kharbanda,
cicit dari Hulako Khan juga dapat membunuh mayoritas pasukan Halab. Hal ini
disebabkan adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh Syi’ah Nushairiyyah yang
menetap di wilayah al-Jarad, al-Rafdh, dan at-Tayaminah.
Di kemudian hari, mereka (sekte syi’ah tersebut) dapat ditumpas oleh para mujahidin
pimpinan seorang ulama Ahlus Sunnah bernama Ibnu Taimiyyah rahimahullah, dibantu
pasukan Syam pimpinan wakil Sultan. Kaum muslimin berhasil membunuh banyak
tentara Syi’ah dan menguasai mayoritas wilayah mereka.
Pengkhianatan Pada Tahun 717 H
Pada tahun tersebut, seorang tokoh Syi’ah Nushairiyyah bernama Muhammad bin al-
Hasan al-Mahdi al-Qaim Biamrillah bersama pengikutnya melakukan pemberontakan.
Dia meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah tuhan, kadang-kadang
beranggapan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penguasa
negeri-negeri.
Dia bersama pasukannya keluar dengan mengafirkan umat Islam. Lalu mereka memasuki
kota Jabalah, membunuh penduduknya, dan merampas harta benda. Setelahnya, mereka
berhasil menghancurkan masjid-masjid, kemudian dijadikan sebagai tempat minum
khamr.
Para tentara Syi’ah tersebut menyuruh kepada setiap tawanan muslim untuk mengatakan,
“Bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah melainkan ‘Ali, sujudlah kepada al-
Mahdi tuhanmu yang menghidupkan dan mematikan,” supaya kamu tidak terbunuh dan
sebuah pernyataan dituliskan untukmu.
Mereka bertekad untuk menguasai kota-kota yang ada. Namun sebelum merealisasikan
hal tersebut, pasukan pemerintah islam berhasil membunuh mayoritas mereka, termasuk
al-Mahdi pimpinannya.
Pengkhianatan Pada Tahun 920 H
Pada tahun tersebut, pasukan Syi’ah dipimpin oleh Syah Ismail as-Shafawi menyerang
kota Baghdad. Mereka membunuh penduduknya dan menghancurkan masjid-masjid yang
ada. Mereka pula membongkar kuburan-kuburan kaum muslimin.
Maka daulah Utsmaniyyah mengirim pasukan untuk meredam kejahatan sekte Syi’ah
tersebut. Terjadilah pertempuran yang cukup dahsyat antara kedua kubu di gurun
Jalidiran. Hasil akhir pertempuran ini berpihak kepada pihak pemerintah.
Pengkhianatan Pada Tahun 933 H
Pada tahun tersebut, seorang tokoh Syi’ah Rafidhah bernama Baba Dzunnun
mengerahkan pasukannya untuk menduduki kota Buzghad. Berjumlah lebih dari 3.000
tentara, mereka melakukan berbagai kejahatan di kota tersebut.
Pasukan Syi’ah ini beberapa kali sempat mengalahkan pasukan pemerintah yang dikirim
kepada mereka. Hingga akhirnya daulah Utsmaniyyah berhasil menumpas para pengikut
Syi’ah tersebut.
Pengkhianatan Pada Tahun 928-974 H
Pada rentang waktu tersebut, kota Quniyyah dan Mar’asy (di Turki) diserbu oleh pasukan
Syi’ah pada masa sultan Sulaiman al-Qanuni. Tokoh Syi’ah Rafidhah bernama Qalandar
Jalabi membawa pasukan sebanyak 30.000 tentara, membunuh kaum muslimin di dua
kota tersebut.
Qalandar mengumumkan bahwa barangsiapa yang mampu membunuh seorang muslim,
maka dia mendapat pahala yang melimpah. Di kemudian hari, mereka bisa dihancurkan
oleh pemerintah.
Pengkhianatan Pada Tahun 1007 H
Pada tahun tersebut, Syi’ah Rafidhah dipimpin oleh Syah Abbas as-Shafawi menduduki
Baghdad. Mereka membunuh pemimpinnya dan mendirikan negara baru. Syah Abbas
menetapkan hukuman bunuh atas setiap muslim, atau dibutakan kedua matanya kecuali
mau pindah menjadi pengikut Syi’ah.
Syah Abbas juga menjalin kerjasama dengan bangsa Eropa untuk menghancurkan daulah
Utsmaniyyah. Bersamaan dengan hal itu, Syah Abbas membolehkan penyebaran agama
Nasrani dan mengijinkan pembangunan gereja-gereja. Sampai akhirnya mereka diperangi
oleh daulah Utsmaniyyah pada masa sultan Marad IV. Pasukan pemerintah berhasil
membunuh 20.000 tentara Syi’ah.
Pengkhianatan Pada Tahun 1250 H
Pada tahun tersebut, sekte Syi’ah menyerang kota Adzaqiyyah (di Suria). Mereka
membunuh kaum muslimin dan menjarah harta benda mereka di kota tersebut.
Daulah Utsmaniyyah berniat mengembalikan mereka kepada jalan yang benar. Maka
dibangun masjid-masjid untuk mereka. Lalu kaum Syi’ah melaksanakan shalat di masjidmasjid
tersebut.
Ketika pemerintah mengetahui bahwa mereka sudah bertaubat, maka pemerintah
membiarkan mereka tinggal di sana. Setelah itu, mereka justru membakar masjid-masjid
tersebut.
Pengkhianatan Pada Tahun 1339 H
Pada tahun tersebut, pasukan Islam keluar hendak mengusir Perancis yang sedang
menduduki Suriah. Syi’ah Itsna Asy’ariyyah yang berada di daerah Salimah dan
sekitarnya malah bergabung dengan kubu Perancis menyerang pasukan daulah
Utsmaniyyah.
Setelah melewati pertempuran besar, umat Islam akhirnya dapat mengalahkan pasukan
gabungan tersebut. Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang telah
menghancurkan musuh-musuh Islam.
Keruntuhan Daulah Utsmaniyyah
Di akhir waktu, daulah Utsmaniyyah semakin condong kepada filsafat. Kesyirikan,
kebid’ahan, dan kemaksiatan pun berkembang pesat. Ditambah dengan pendudukan
Perancis atas Mesir dan Syam pada tahun 1213 H/1798 M di masa sultan Salim III. Lalu
kekalahan terus berlanjut.
Diperparah dengan kekalahan pada perang dunia pertama (1914 M-1918 M) yang
membuat kemerosotan dalam segala bidang. Hingga Mustafa Kamal dapat membubarkan
kekhilafahan pada 3 Maret 1924 M. Sultan Abdul Majid II sendiri dilengserkan melalui
parlemen Turki.
Waktu berjalan dengan cepat, bangsa Yahudi dapat menduduki Masjidil Aqsha. Mereka
pula mendeklarasikan pembentukan negara pada 14 Mei 1948 M di wilayah Palestina.
Keberhasilan mereka tak lepas dari makar Perancis dan Inggris. Demikian pula adanya
konspirasi dengan Syi’ah di Suriah. Dan, Syi’ah Nushairiyyah di Lebanon turut
bergabung dengan militer Yahudi dan Nasrani. Mereka mengatasnamakan diri sebagai
Pasukan Karbala melakukan blokade, membantu pihak kafir, dan membunuh umat Islam.
Akhir Kata
Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah berkata tentang Syi’ah, “Mereka lebih pantas
untuk dicela dan mereka adalah orang-orang zindiq (menampakkan keislaman dan
menyembunyikan kekafiran).” (Lihat al-Kifayah lil Khathib al-Baghdadi)
Para pembaca yang mulia, demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah dalam sejarah.
Sebuah potret nyata yang jarang diketahui oleh jiwa. Semoga bisa menjadi pelita dalam
kegelapan dan menjadi secercah cahaya bagi pencari kebenaran.
Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Hadi hafizhahullah
〰〰〰〰〰
WhatsApp Salafiyyin Jogja
Baca SelengkapnyaPENGHIANATAN SYI’AH DALAM LEMBARAN SEJARAH (bagian 1)

Ketika Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jum’at!

Fatwa No. 2358
Pertanyaan: “Tahun ini terkumpul dua id, hari Jum’at dan hari raya Iduladha, manakah yang benar, apakah kita mengerjakan shalat Zuhur jika belum mengerjakan shalat Jumat atau shalat Zuhur jatuh jika belum shalat Jumat?”
Jawaban: “Barangsiapa yang melaksanakan shalat Id pada hari Jumat diberikan keringanan baginya untuk tidak menghadiri shalat Jumat pada hari itu kecuali Imam, maka wajib baginya mendirikan shalat Jumat dengan yang hadir untuk shalat Jum’at baik dari orang yang sudah melaksanakan shalat Id atau yang belum melaksanakan shalat Id, jika tidak ada seorangpun yang hadir maka gugur kewajiban shalat Jumat itu atas imam dan ia melakukan shalat Zuhur, dengan dalil sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunannya:
عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِى رَمْلَةَ الشَّامِىِّ قَالَ شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ رضي الله عنه وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رضي الله عنه قَالَ أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
Artinya: “Dari riwayat Iyas bin Abi Ramlah Asy Syami, beliau berkata: “Aku pernah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu bertanya Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu: “Apakah kamu pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi dua id terkumpul dalam satu hari?”, ia menjawab: “Iya (pernah)”, Mu’awiyah bertanya: “Bagaimanakah yang beliau lakukan”, ia menjawab: “Beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) shalat ‘ied kemudian memberikan keringanan untuk shalat Jum’at, beliau bersabda: “Barangsiapa yang hendak shalat maka shalatlah ia”. HR. Ahmad (4/372), Abu Daud (1/646, no. 1070), An Nasa-i (3/193, no. 1591), Ibnu Majah (1/415, no. 1310), Ad Darimi (1/378), Al Baihaqi (3/317), Al Hakim (1/ 288), Ath Thayalisi (hal. 94, no. 685) (dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Abu Daud, no.1070, pent)
Dan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya juga, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Artinya: “Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan (shalat id) dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama”. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), Al Hakim (1/277), Al Baihaqi (3/318-319) dan Al Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al- Jami’ (no. 4365), pent).
Hadits ini menunjukkan akan keringanan untuk tidak mendirikan shalat Jum’at bagi siapa yang telah melaksanakan shalat id pada hari itu, dan diketahui pula tidak ada keringanan bagi imam berdasarkan sabda beliau di dalam hadits: “Tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama “.
Dan juga dengan sebuah riwayat dari Imam Muslim, bahwa An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat di shalat Jum’at dan shalat ‘Ied dengan Surat Al ‘Ala dan Surat Al Ghasyiyah, dan terkadang keduanya (shalat ‘Ied dan shalat Jum’at) terkumpul di dalam satu hari maka beliau membaca kedua surat tersebut di dalam dua shalat (‘Ied dan Jum’at)”. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), al-Hakim (1/277), al-Baihaqi (3/318-319) dan al-Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’ (no. 4365), pent)
Dan Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat ‘Ied maka wajib atasnya untuk melaksanakan shalat Zhuhur sebagai pengamalan atas keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang belum melaksanakan shalat Jum’at.
Semoga Allah memberi taufik dan semoga shalawat dan salam selalu kepada Nabi Muhammad, para kerabat beliau dan shahabat.
Komite Tetap untuk pembahasan Ilmiah dan fatwa untuk Kerajaan Arab Saudi
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil : Abdurrazzaq Afifi
Anggota : Abdullah bin Qu’ud dan Abdullah bin Ghudayyan
Diterjemahkan oleh: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, Lc
Jumat, 03 Dzulhijjah 1433H
Dammam, Arab Saudi.
Artikel: DakwahSunnah.com publish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com
Baca SelengkapnyaKetika Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jum’at!

Senin, 17 Maret 2014

Hukum Shalat Di Kuburan

Oleh:
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA [1]


“RIWAS (Ritual Ziarah Wali Songo)” sebuah istilah yang amat familiar di telinga sebagian kalangan. Mereka seakan mengharuskan diri untuk melakukannya, minimal sekali setahun. Apapun dilakukan demi mengumpulkan biaya perjalanan tersebut. Manakala ditanya, apa yang dilakukan di sana ? Amat beragam jawaban mereka. Ada yang ingin shalat, berdoa untuk kenaikan pangkat, kelancaran rizki atau agar dikaruniai keturunan dan lain-lain.

Kepada siapa meminta ? Ada yang terang-terangan meminta kepada mbah wali. Namun ada pula yang mengatakan bahwa ia tetap meminta kepada Allâh Azza wa Jalla, tapi supaya cepat dikabulkan mereka sengaja memilih makam orang-orang ‘linuwih’ tersebut.

Yang akan dibahas dalam tulisan sederhana berikut bukan hukum ziarah kubur. Karena itu telah maklum disunnahkan dalam ajaran Islam, jika sesuai dengan adab-adab yang digariskan. Namun yang akan dicermati di sini adalah: hukum shalat di kuburan dan berdoa di sana. Semoga paparan berikut bermanfaat !

PERTAMA: SHALAT DI KUBURAN
Shalat di kuburan hukumnya haram, bahkan sebagian Ulama mengkategorikannya dosa besar. [2] Praktek ini bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik dan tindakan menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena itulah agama kita melarang praktek tersebut. Amat banyak nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menegaskan hal tersebut. Di antaranya :

1. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا

Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. [Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad Radhiyallahu anhu]

Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat menghadap ke arah kuburan. Imam Syâfi’i rahimahullah mengatakan, ‘Aku membenci tindakan pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya.”[3]

al-‘Allâmah al-Munawi rahimahullah (w. 1031 H) menambahkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan; dalam rangka mengingatkan umatnya agar tidak mengagungkan kuburannya, atau kuburan para wali selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab bisa jadi mereka akan berlebihan hingga menyembahnya.” [4]

Berdasarkan hukum asal, larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menunjukkan bahwa perbuatan yang dilarang hukumnya adalah haram. Demikian keterangan dari Imam ash-Shan’ani rahimahullah (w. 1182 H). [5]

2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan. [HR. Bukhâri (I/528-529 no. 432) dari Ibn Umar Radhiyallahu anhuma]

Hadits ini menerangkan agar rumah jangan dikosongkan dari shalat, sebab rumah yang tidak dipakai untuk shalat, terutama shalat sunnah, bagaikan kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat.

Imam al-Baghawi rahimahullah (w. 510 H), setelah membawakan hadits di atas, menyimpulkan, “Hadits ini menunjukkan bahwa kuburan bukanlah tempat untuk shalat.” [6]

Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Ibn Batthal rahimahullah (w. 449 H) [7] dan Ibn Rajab rahimahullah (w. 795 H). [8]

Ibnu Hajar al-‘Asqalany rahimahullah (w. 852 H) menyimpulkan lebih luas lagi. Kata beliau rahimahullah, “Kuburan bukanlah tempat untuk beribadah.” [9]

3. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ

Bumi seluruhnya adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi. [HR. Ahmad (XVIII/312 no. 11788) dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu. Sanadnya dinilai kuat oleh al-Hâkim[10] , Ibnu Taimiyyah rahimahullah [11] dan al-Albâni[12].

Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah (w. 620 H) menjelaskan bahwa bumi secara keseluruhan bisa menjadi tempat shalat kecuali tempat-tempat yang terlarang untuk shalat di dalamnya, seperti kuburan[13].

Keterangan serupa juga disampaikan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah [14] dan al-Hâfizh al-‘Iraqi rahimahullah (w. 806 H) [15].

4. Doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah. Allâh sangat murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka masjid [16]

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah (w. 463 H) menerangkan, “Dahulu orang Arab shalat menghadap berhala dan menyembahnya. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa khawatir umatnya akan melakukan apa yang dilakukan umat sebelum mereka. Biasanya, jika nabi mereka wafat, mereka akan berdiam di sekeliling kuburannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap berhala. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah”, dengan bershalat menghadap kepadanya, sujud ke arahnya dan menyembah. Allâh Azza wa Jalla sangat murka atas orang yang melakukan hal itu.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan para sahabat dan umatnya agar tidak terjerumus kepada perilaku buruk kaum terdahulu. Mereka shalat menghadap kuburan para nabi dan menjadikannya sebagai kiblat dan masjid. Sebagaimana praktek para pemuja berhala terhadap berhala mereka. Ini merupakan syirik akbar!” [17]

5. Hadits-hadits yang berisikan larangan untuk menjadikan kuburan sebagai masjid. Di antaranya yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga Allâh membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. [HR. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim (I/376 no. 530) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menuturkan bahwa hadits di atas mengandung “larangan untuk sujud di atas kuburan para nabi. Semakna dengan itu juga haramnya sujud kepada selain Allâh Azza wa Jalla. Hadits ini juga bisa diartikan larangan untuk menjadikan kuburan para nabi sebagai kiblat shalat. Setiap makna dalam bahasa Arab yang terkandung dalam hadits ini; maka itu termasuk perbuatan yang terlarang.” [18]

Setelah membawakan salah satu hadits yang berisikan larangan membangun masjid di atas kuburan, Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah (w. 804 H) berkata, “Hadits ini dalil dibencinya shalat di kuburan … Baik shalat di atasnya, di sampingnya atau menghadap ke arahnya. Tidak ada bedanya, semuanya dibenci (agama).” [19]

HIKMAH DI BALIK TERLARANGNYA SHALAT DI KUBURAN

Para Ulama Islam sepakat bahwa menyengaja shalat di kuburan adalah terlarang.[20] Tidak ada yang membolehkannya, apalagi menganjurkannya. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan ‘illah (sebab) terlarangnya perbuatan tersebut; [21]

Sebagian Ulama memandang bahwa sebabnya adalah karena kuburan identik dengan najis. Sebab tanahnya bercampur dengan nanah bangkai manusia. Ada juga Ulama lain yang berpendapat bahwa sebabnya adalah karena khawatir umat ini akan terjerumus ke dalam perbuatan syirik.

Di antara yang memilih pendapat kedua ini: Abu Bakr al-Atsram rahimahullah (w. 273)[22] , al-Mawardi rahimahullah (w. 450 H)[23] , Ibn Qudâmah rahimahullah [24] , Ibn Taimiyyah rahimahullah (w. 728 H)[25] , as-Suyuthi (w. 911 H)[26] dan yang lainnya.

Setelah menjelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan akan mengakibatkan tindakan menjadikan kuburan sebagai berala, Imam Suyuthi memperjelas njelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan umat ini akan menjadikan kuburan sebagai berhala, Imam as-Suyuti memeperjelas, “Inilah sebabnya mengapa syariat melarang perbuatan tersebut. Dan ini pula yang menjerumuskan banyak orang terdahulu ke dalam syirik akbar atau syirik di bawahnya.

Tidak jarang engkau dapatkan banyak kalangan sesat yang amat merendahkan diri di kuburan orang salih, khusyu’, tunduk dan menyembah mereka dengan hati. Sebuah bentuk peribadatan yang tidak pernah mereka lakukan, sekalipun di rumah-rumah Allâh; maksudnya adalah masjid! …

Inilah mafsadah (keburukan) yang dicegah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sumbernya. Hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang secara mutlak shalat di kuburan, sekalipun tujuannya bukan untuk mencari berkah tempat tersebut. Demi menutup pintu atau celah yang berpotensi menghantarkan kepada kerusakan yang bisa memicu peribadatan kepada berhala.” [27]

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan adalah karena kuburan tempat yang najis, maka ini kurang pas dan tidak didukung oleh nas. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (w. 751 H) telah berpanjang lebar dalam menjelaskan hal itu. Di antara argumen yang beliau rahimahullah paparkan :

1. Seluruh hadits yang berisikan larangan shalat di kuburan tidak membedakan antara kuburan yang baru maupun kuburan lama yang digali kembali.

2. Tempat masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulunya adalah kuburan kaum musyrikin. Sebelum dibangun masjid di atasnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kuburan tersebut digali lalu tanahnya diratakan kembali. Dan beliau tidak menyuruh supaya tanahnya dipindahkan. Bahkan setelah diratakan, langsung dipakai untuk shalat.

3. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid. Telah maklum dengan jelas bahwa larangan itu bukan karena najis, karena jika demikian niscaya larangan tersebut tidak khusus untuk kuburan para nabi. Apalagi kuburan mereka adalah tempat yang suci, dan tidak mungkin dianggap najis, karena Allâh k melarang bumi untuk memakan jasad mereka. [28]

HUKUM ORANG SHALAT DI KUBURAN
Secara umum shalat di area kuburan itu terlarang, namun bagaimana dengan orang yang melakukannya ? Apakah hukumnya satu atau bagaimana ?
Kalau kita lihat faktanya, orang-orang yang shalat di area kuburan itu memiliki tujuan beragam. Berdasarkan ini, maka hukum bagi masing-masing pelaku juga berbeda berdasarkan niatnya.

Pertama: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan mempersembahkan shalatnya untuk penghuni kubur.

Ini jelas masuk dalam kategori syirik akbar (besar); karena ia telah mempersembahkan ibadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menegaskan :

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allâh, maka janganlah kalian menyembah apa pun selain Allâh. [al-Jinn/72:18]

Kedua: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan bertabaruk (memohon berkah) dengan tempat kuburan tertentu. Perbuatan seperti ini termasuk bid’ah yang mungkar dan penyimpangan dari ajaran Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik kuburan tersebut berada di arah kiblatnya maupun tidak. Karena itu termasuk mengada-adakan suatu yang baru dalam praktek beribadah.

as-Suyuthi rahimahullah menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan doanya terkabul di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . (Dan ini ) menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah yang tidak dizinkan oleh Allâh k dalam agama, juga Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para imam kaum Muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.” [29]

Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H)[30] , al-Munawa[31] dan ar-Rumi (w. 1043 H)[32] juga menyampaikan keterangan senada.

Ketiga: Shalat di kuburan tanpa di sengaja, hanya karena kebetulan bertepatan dengan masuknya waktu shalat. Tanpa ada tujuan bertabarruk (ngalap berkah darinya) atau mempersembahkan ibadah untuk selain Allâh Azza wa Jalla.

Tentang yang ketiga ini, para Ulama berbeda pendapat [33]. Namun yang lebih kuat adalah pendapat yang melarang, karena larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersifat umum serta demi menutup rapat pintu yang berpotensi menghantar kepada kesyirikan. Dan ini merupakan pendapat mayoritas Ulama, sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Mundzir (w. 319 H). [34]

Keempat: Shalat di kuburan dengan tujuan shalat jenazah.
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berikut menunjukkan hal itu boleh dilakukan :

أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا، فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ، فَقَالُوا: "مَاتَ". قَالَ: "أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي؟". قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ. فَقَالَ: "دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ!" فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَ: "إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ"

“Dikisahkan seorang wanita hitam atau pemuda biasa menyapu masjid. Suatu hari Rasûlullâh Shallalalhu ‘alaihi wa sallam kehilangan dia, sehingga beliaupun menanyakannya.
“Dia sudah meninggal” jawab para sahabat.
“Mengapa kalian tidak memberitahuku?”
Mereka seakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap orang tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunjukkan padaku di mana kuburannya?”
Setelah ditunjukkan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat atasnya, lalu bersabda, “Sesungguhnya para penghuni kuburan ini diliputi kegelapan. Sekarang Allâh meneranginya lantaran aku shalat atas mereka”. [HR. Bukhâri (I/551 no. 438) dan Muslim (II/659 no. 956) dengan redaksi Muslim].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari tesis kami yang berjudul Mazhâhirul Inhirâf fî Tauhîdil ’Ibâdah ladâ Ba’dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islam minhâ (hlm. 974-990).
[2]. Lihat az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ’ir karya Ibn Hajar al-Haitamy (I/148).
[3]. Syarh Shahîh Muslim (VII/42).
[4]. Faidh al-Qadîr (VI/318).
[5]. Lihat Subul as-Salâm (I/403).
[6]. Syarh as-Sunnah (II/411).
[7]. Lihat Syarh Shahih al-Bukhari (II/86).
[8]. Lihat Fathul Bâri karya Ibn Rajab (III/232).
[9]. Fathul Bâri karya beliau (I/528).
[10]. Al-Mustadrak (I/251).
[11]. Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/189).
[12]. Irwâ’ al-Ghalîl (I/320).
[13]. Lihat al-Mughni (II/472).
[14]. Cermati Syarah Shahîh Muslim (V/5).
[15]. Sebagaimana dinukil oleh al-Munawi dalam Faidhul Qadîr (III/349).
[16]. HR. Mâlik dalam al-Muwattha’ (II/72 no. 452) dari ‘Atha’ bin Yasar t . Hadits ini mursal sahih. Dalam Musnadnya (I/220 no. 440 –Kasyf al-Astâr) al-Bazzar menyambung sanad hadits ini hingga menjadi marfû’. Begitu pula Ibn ‘Abd al-Barr dalam at-Tamhîd (V/42-43) menyambungnya dari jalan al-Bazzar. Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini sahih dalam Tahdzîrus Sâjid (hlm. 25 no. 11) dan Ahkâmul Janâ’iz (hlm. 217).
[17]. At-Tamhîd (V/45).
[18]. At-Tamhîd (VI/383).
[19]. Al-I’lâm bi Fawâ’id ‘Umdatil Ahkâm (IV/502).
[20]. Cermati Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488).
[21]. Lihat al-Hâwiy al-Kabîr karya al-Mawardy (III/60), Raddul Muhtâr karya Ibn ‘Abidin (II/42-43) dan Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190).
[22]. Sebagaimana dinukil Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ighâtsatul Lahfân (I/357).
[23]. Periksa al-Hâwiy al-Kabîr (III/60).
[24]. Cermati al-Mughni (II/473-474 dan III/441).
[25]. Lihat Iqtidhâ’ush Shirâthil Mustaqîm (II/190-191).
[26]. Baca al-Amr bi al-Ittibâ’ (hlm. 136-139).
[27]. al-Amr bi al-Ittibâ’ (hlm. 136-139).
[28]. Lihat: Ighâtsah al-Lahfân (II/353-356). Masih ada argumen lain, bisa dibaca di Mujânabah Ahlits Tsubûr al-Mushallîn fî al-Masyâhid wa ‘inda al-Qubûr karya Abdul Aziz ar-Rajihy (hlm. 28-30).
[29]. Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hlm. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193).
[30]. Cermati Az-Zawâjir (I/148).
[31]. Periksa Faidhul Qadîr (VI/407).
[32]. Lihat Majâlisul Abrâr (hlm. 126, 358-359, 364-365) sebagaimana dalam Juhûd ‘Ulamâ’ al-Hanafiyyah fî Ibthâl ‘Aqâ’idil Quburiyyah karya Syamsuddin al-Afghany (III/1593-1594).
[33]. Untuk mengetahui pendapat mereka, baca; untuk referensi Madzhab Hanafi : al-Ikhtiyâr li Ta’lîl al-Mukhtâr karya al-Mushily (I/97), Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (I/380), Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kasany (I/335-336) dan al-Mabsûth karya as-Sarkhasy (I/206-207). Madzhab Maliki : al-Mudawwanah karya Abu al-Walid Ibn Rusyd (I/182) dan Mawâhib al-Jalîl karya al-Hathab (II/63-64). Madzhab Syafi’i: Al-Umm karya Imam Syafi’i (II/632), al-Muhadzab karya asy-Syirazy (I/215-216) dan al-Majmû’ karya an-Nawawy (III/163-165). Madzhab Hambali: Al-Mughny karya Ibn Qudamah (II/473-474), al-Inshâf karya al-Mardawy (I/489) dan ar-Raudh al-Murbi’ karya Ibn al-Qasim (I/537). Madzhab Dzahiri: Al-Muhallâ karya Ibn Hazm (IV/27-33).
[34]. Cermati al-Ausath (V/185).
http://almanhaj.or.id/content/3313/slash/0/hukum-shalat-di-kuburan/
Baca SelengkapnyaHukum Shalat Di Kuburan

Minggu, 16 Maret 2014

8 (Delapan) Penyebab Batalnya Wudhu Seseorang

Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.
Pembatal wudhu yang disepakati
1. Kencing (buang air kecil/BAK)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135)
Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil.
2.Buang Air Besar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yang mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat):
أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغآئِطِ
Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” (Al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.
3. Keluar angin dari dubur (kentut)
Angin yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal.
Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini radhiallahu ‘anhu berkata: “Diadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 135)
Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti apa hadats itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Angin yang keluar dari dubur (kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata: “Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296)
Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau istrinya Abu Rafi‘ maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab: “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah t, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
4. Keluar Madzi
Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali berkata: “Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya (Fathimah radhiallahu ‘anha) yang menjadi istriku. Maka akupun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiallahu ‘anhu untuk menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
5. Keluar Wadi
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
6. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hal. 50)
7. Keluarnya Mani
Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/ janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
8. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
Sekalipun ia tidak keluar mani.”
Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara yang membatalkan wudhu.
Pembatal wudhu yang diperselisihkan
Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari Al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga timbullah beragam pandangan. Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.
Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mana mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih. Mungkin penulis memberikan contoh waqi‘iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang di sisi penulis). Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz (ganjil). Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau berbangga dengan keberadaan murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut tanpa dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil sekalipun harus berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan.
1. Menyentuh wanita
Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ
Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43)
Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu.
Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu.
Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri1 dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini) adalah jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).
Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)
Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)
Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengabarkan:
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)
2. Muntah
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
- Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)
- Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234). Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.
4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ…
Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men-dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36)
3. Darah yang keluar dari tubuh
Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
1 Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.
2 Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)
3 Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu‘ (2/63).
4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)
Dikutip dari: http://www.asysyariah.com Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari Judul: Pembatal-Pembatal
Baca risalah terkait ini:   Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu ?
Baca Selengkapnya8 (Delapan) Penyebab Batalnya Wudhu Seseorang