- Dipublikasikan: 05 January 2013
- Dibaca: 1895 kali.
Terkait
dengan pelaksanaan ibadah, hal sangat mendasar yang paling utama harus
diperhatikan dan patut diketahui dan dilaksanakan ialah kebersihan dan
kesucian seseorang dalam melaksanakan ibadah, terutama dalam
melaksanakan ibadah salat. Anjuran tentang pentingnya pemeliharaan
kebersihan dan kesucian banyak terdapat dalam ayat al-Qur’an dan hadis
Nabi saw. yang di arahkan bagi kebahagiaan hidup.
Disebutkan dalam hadits ke-25 Riyadhush Shalihin
وعن
أبي مالك الحارث بن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال: قا ل رسول الله صلى
الله عليه وسلم “الطهورشطر الإيمان, والحمد لله تملأ الميزان, وسبحان الله
والحمد لله تملأن أو تملأ ما بين السموات والأرض, والصلاة نور, والصدقة
برهان, والصبرضياء, والقران حجة لك أو عليك. كل الناس يغدو فبائع نفسه,
فمعتقها أوموبقها” – رواه مسلم
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim
Al-Asy’ari (semoga Allah meridhainya) berkata: Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Kesucian adalah setengah daripada
iman, dan (ucapan) ‘Alhamdulillah’ (Segala puji bagi Allah) memenuhi
timbangan, dan (ucapan) ‘Subhanallahu wa Alhamdulillah’ (Maha Suci Allah
dan Segala Puji bagi Allah) memenuhi apa yang ada diantara langit dan
bumi, dan Shalat adalah cahaya, dan Sedekah adalah bukti, dan Kesabaran
adalah Pelita, dan Al Qur’an akan menjadi hujjah (argumen) yang
membelamu atau yang menuntutmu. Setiap manusia keluar di pagi hari untuk
menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya dan ada yang membinasakan
dirinya” – Riwayat Muslim
Kesucian adalah sebagian dari Iman. Kata
‘Ath-Thuhur‘ berarti kesucian manusia, dan ‘Syathru al-iman‘ berarti
setengah (sebagian) dari iman. Karena keimanan adalah membersihkan dan
menghiasai, yaitu membersihkan dari kesyirikan. Hendaknya manusia
bersuci secara jasmani, yaitu dari segala bentuk najis, dan secara
ruhani, yaitu dari segala bentuk keburukan. Maka dari itu Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam menjadikan kesucian setengah dari iman.
Redaksi ‘Kesucian adalah sebagian dari
Iman’ adalah redaksi yang shahih dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, sedangkan ungkapan ‘Kebersihan adalah bagian dari Iman’
bukanlah hadits yang sah
Thaharah merupakan ciri terpenting dalam
Islam yang berarti bersih dan sucinya seseorang secara lahir dan
bathin. Dalam kamus bahasa arab, thaharah berasal dari kata طهره ,
secara bahasa (etimologi) berarti membersikan dan mensucikan.[Kamus
Bahasa Arab (Jakarta: PT. Muhammad Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 241.]
Sedangkan menurut istilah (terminologi) bermakna menghilangkan hadas dan
najis.Thaharah berarti bersih dan terbebas dari kotoran atau noda, baik
yang bersifat hissi (terlihat), seperti najis (air seni atau lainnya),
atau yang bersifat maknawi, seperti aib atau maksiat. Sedangkan secara
istilah adalah menghilangkan hadats dan najis yang menghalangi
pelaksanaan shalat dengan menggunakan air atau yang lainnya.
Dengan demikian, thaharah adalah bersih
dan suci dari segala hadats dan najis, atau dengan kata lain
membersihkan dan mensucikan diri dari segala hadats dan najis yang dapat
menghalangi pelaksanakan ibadah seperti shalat atau ibadah lainnya.
Wajibnya wudlu jika ingin menyentuh mushafKhilaf diantara para ulama,
Pendapat pertama (ini merupakan pendapat jumhur): Wajib berwudlu jika menyentuh mushaf, dalilnya :
- Sesuai firman Allah لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْنَ (Tidak menyentuhnya kecuali yang disucikan), karena dhomir (هُ) kembali kepada Al-Qur’an sesuai dengan awal ayat tersebut تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (Yang diturunkan dari Robbul alamin). Sedangkan yang dimaksud الْمُطَّهَّرُوْنَ adalah orang yang berwudlu dan mandi dari janabah sesuai dengan firman Allah وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ (melainkan untuk mensucikan kalian). Dan walaupun ayat ini adalah khobar bukan perintah (sebab kalau perintah dia mestinya majzum لاَ يَمَسَّهُ karena لاَ adalah nahiyah), namun dia adalah khobar yang bermakna perintah. Dan yang seperti ini lebih mengena dalam amr.
- Sesuai dengan hadits :
أَبُو
بَكْرٍ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنِ عَمْرٍو بْنِ حَزْم عَنْ أَبِيْهِ عَنْ
جَدِّهِ ٍ أَنَّ النَّبِيَّ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا
وَفِيْهِ "لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِر"ٌ
Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya
:(Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuliskan kepada
penduduk Yaman sebuah kitab yang padanya (ada tulisan) “Tidaklah
menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” (Hadits shohih, irwaul
golil no 122)
Syaikh Utsaimin pada mulanya condong
kependapat Daud Adz-Dzohiri (akan disampaikan setelah ini), namun
setelah beliau memperhatikan hadits لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ
طَاهِرٌ maka beliau berpendapat dengan pendapat jumhur, karena bermakna
suci dari hadats besar atau hadats kecil, sesuai dengan firman Allah
وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ (melainkan untuk mensucikan kalian).
Dan bukanlah termasuk kebiasaan Nabi mengungkapkan mukmin dengan tohir
karena menggunakan mukmin lebih mengena daripada tohir. (Syarhul Mumti’
1/265)
Dan ini adalah pendapat imam Ahmad, sebagaimana yang dikataka oleh Ishaq al-Mawarzi :
Aku bertanya (kepada Imam Ahmad)
:”Apakah seorang laki-laki (boleh) membaca Al-Qur’an tanpa
wudlu?”,beliau menjawab : “Ya, tetapi janganlah dia membaca dengan
(menyentuh) mushaf selama dia belum berwudlu.”
Ishaq berkata :”(Hukumnya) sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Ahmad karena telah shohih dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang
suci”, dan demikianlah praktek para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para tabiin”.
Berkata Syaikh Al-Albani : “Dan yang
shohih dari para sahabat yaitu yang diriwayatkan oleh Mus’ab bin Sa’ad
bin Abi Waqos bahwasanya dia berkata : “Aku memegang mushaf dihadapan
Sa’ad bin Abi Waqos, lalu aku menggaruk, maka berkata Sa’ad :”Mungkin
engkau menyentuh kemaluanmu?”, aku berkata :”Ya”, maka dia berkata
:”Berdirilah dan berwudlulah”, maka akupun berdiri dan berwudlu kemudian
aku kembali”. Diriwayatkan oleh Malik dan Baihaqi darinya dengan sanad
yang shohih. (Irwaul golil 1/161)
Adapun kitab-kitab tafsir, maka boleh
menyentuhnya tanpa wudlu sebab jumlah tafsirnya lebih banyak
dibandingkan jumlah Al-Qur’annya. Dan demikan pula dengan kitab-kitab
yang lain yang terdapat ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya namun jumlahnya
sedikit. Dalilnya bahwasanya Nabi menulis kitab kepada orang-orang kafir
dan dalam kitab tersebut ada ayat-ayat Al-Qur’an (Syarhul Mumti’ 1/267)
Pendapat kedua (ini adalah pendapat Dawud Adz-Dzohiri) : Tidak wajib berwudlu bila menyentuh mushaf, dalilnya :- Al-Qur’an adalah dzikir, dan telah shohih dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir dalam seluruh keadaan (suci maupun tidak).
كَانَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
Adalah Nabi berdzikir kepada Allah dalam seriap keadaan. (Riwayat Bukhori dan Muslim)- Yang asal adalah seseorang tidak dikenai kewajiban, maka tidak boleh kita menyatakan seseorang berdosa tanpa bersandar kepada nash.
- Adapun makna طَاهِرٌ yang ada dalam hadits (kalau haditsnya shohih) memiliki banyak kemungkinan, yaitu :
إِنَّمَا الْمُشْرِكِيْنَ نَجْسٌ , dan hadits إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ jadi maksudnya suci secara maknawi (suci aqidah)
b. Bermakna suci dari najis haqiqi (‘aini/dzati) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kucing إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ
c. Bermakna suci dari janabah, sebagaimana firman Allah : إِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا
d. Bermakna suci dari hadats kecil, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: دَعْهُمَا فَإِنِّيْ أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ (Nailul Author 1/206, Taudlihul ahkam 1/248)
Dan jika terdapat dua kemungkinan makna pada suatu dalil maka tidak dapat dijadikan hujjah, bagaimana pula jika terdapat empat kemungkinan.
- Adapun dhomir (هُ) yang terdapat ayat kembalinya pada فِي كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ yang kemungkinan maksudnya adalah lauhul mahfuz atau kitab yang berada di tangan para malaikat bukan Al-Qur’an, karena dhomir kembali kepada yang paling terdekat (sehingga tidak kembali ke تَنْزِيْلٌ نِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ yang lebih jauh). Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam ayat (عَبَسَ) ayat 11-16 yaitu فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ sama dengan فِي كِتَابٍ مَكْنُوْن dan بِأَيْدِي سَفَرَةٍ sama dengan لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْن , dan Al-Qur’an saling menafsirkan antara ayat yang satu dengan yang lainnya.
- Dan dalam ayat الْمُطَّهَّرُوْنَ menggunakan wazan isim maf’ul bukan isim fa’il. Kalau maknanya orang yang bersuci mestinya menggunakan wazan isim fa’il. Sehingga maksudnya adalah para malaikat bukan manusia (Nailul Author 1/206)
- Adapun anggapan bahwa ayat adalah khobar bermakna perintah, ini memang bisa demikian namun harus ada korinah yang menunjukan akan hal itu. Jika tidak terdapat korinah maka kita kembali pada asal yaitu khobar tetap bermakna khobar.
- Adanya hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam نَهَى عَنِ السَّفَرِ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ (melarang bersafar dengan (membawa) Al-Qur’an ke negeri musuh, Muttafaqun alaih). Hal ini dikhawatirkan karena orang kafir yang najis hatinya akhirnya menyentuh Al-Qur’an tersebut. (Tamamul Minnah hal 107).
- Adapun riwayat dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos, kalaupun seandainya shohih maka mungkin saja perintah Sa’ad bin Abi Waqos kepada Mush’ab hanyalah karena mustahab.
- Asalnya adalah boleh bagi seseorang memegang mushaf untuk membaca Al-Qur’an. Dan tidak boleh bagi seorangpun mengharamkannya kecuali dengan hadits yang shohih dan shorih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar