Rabu, 05 Februari 2014

Pembatal Wudhu

sifat-wudhu-nabiTerkait dengan pelaksanaan ibadah, hal sangat mendasar yang paling utama harus diperhatikan dan patut diketahui dan dilaksanakan ialah kebersihan dan kesucian seseorang dalam melaksanakan ibadah, terutama dalam melaksanakan ibadah salat. Anjuran tentang pentingnya pemeliharaan kebersihan dan kesucian banyak terdapat dalam ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw. yang di arahkan bagi kebahagiaan hidup.
Disebutkan dalam hadits ke-25 Riyadhush Shalihin
    وعن أبي مالك الحارث بن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم “الطهورشطر الإيمان, والحمد لله تملأ الميزان, وسبحان الله والحمد لله تملأن أو تملأ ما بين السموات والأرض, والصلاة نور, والصدقة برهان, والصبرضياء, والقران حجة لك أو عليك. كل الناس يغدو فبائع نفسه, فمعتقها أوموبقها”   – رواه مسلم
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari (semoga Allah meridhainya) berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Kesucian adalah setengah daripada iman, dan (ucapan) ‘Alhamdulillah’ (Segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan, dan (ucapan) ‘Subhanallahu wa Alhamdulillah’ (Maha Suci Allah dan Segala Puji bagi Allah) memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi, dan Shalat adalah cahaya, dan Sedekah adalah bukti, dan Kesabaran adalah Pelita, dan Al Qur’an akan menjadi hujjah (argumen) yang membelamu atau yang menuntutmu. Setiap manusia keluar di pagi hari untuk menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya dan ada yang membinasakan dirinya” – Riwayat Muslim
Kesucian adalah sebagian dari Iman. Kata ‘Ath-Thuhur‘ berarti kesucian manusia, dan ‘Syathru al-iman‘ berarti setengah (sebagian) dari iman. Karena keimanan adalah membersihkan dan menghiasai, yaitu membersihkan dari kesyirikan. Hendaknya manusia bersuci secara jasmani, yaitu dari segala bentuk najis, dan secara ruhani, yaitu dari segala bentuk keburukan. Maka dari itu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjadikan kesucian setengah dari iman.
Redaksi ‘Kesucian adalah sebagian dari Iman’ adalah redaksi yang shahih dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan ungkapan ‘Kebersihan adalah bagian dari Iman’ bukanlah hadits yang sah
Thaharah merupakan ciri terpenting dalam Islam yang berarti bersih dan sucinya seseorang secara lahir dan bathin. Dalam kamus bahasa arab, thaharah berasal dari kata طهره , secara bahasa (etimologi) berarti membersikan dan mensucikan.[Kamus Bahasa Arab (Jakarta: PT. Muhammad Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 241.] Sedangkan menurut istilah (terminologi) bermakna menghilangkan hadas dan najis.Thaharah berarti bersih dan terbebas dari kotoran atau noda, baik yang bersifat hissi (terlihat), seperti najis (air seni atau lainnya), atau yang bersifat maknawi, seperti aib atau maksiat. Sedangkan secara istilah adalah menghilangkan hadats dan najis yang menghalangi pelaksanaan shalat dengan menggunakan air atau yang lainnya.
Dengan demikian, thaharah adalah bersih dan suci dari segala hadats dan najis, atau dengan kata lain membersihkan dan mensucikan diri dari segala hadats dan najis yang dapat menghalangi pelaksanakan ibadah seperti shalat atau ibadah lainnya.
F. Pembatal-pembatal wudlu
 Jika terdapat salah satu dari pembatal-pembatal berikut maka seseorang telah batal wudlunya. Pembatal-pembatal tersebut yaitu :
a. Segala yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur). Dan yang termasuk dalam hal ini ialah :
  • Buang air besar dan buang air kecil, dalilnya
Firman Allah ta'ala:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
 Atau salah seorang diantara kalian buang air besar
Dan sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
Tetapi karena buang air besar dan buang air kecil dan tidur (Hadits hasan, irwaul golil no 106)
  • Buang angin, dalilnya :
Dari hadits Abdullah bin Zaid bahwasanya diadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang yang dikhayalkan bahwasanya dia mendapatkan sesuatu (merasa telah buang angin) dalam sholatnya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Janganlah dia berpaling (keluar .dari sholatnya) sampai dia mendengar bunyi (kentut)nya atau sampai dia mencium baunya (Hadits shohih riwayat Bukhori dan Muslim)
Demikian pula ketika Abu Huroiroh ditanya oleh seorang laki-laki dari Hadromaut: "Apakah yang dimaksud dengan hadats wahai Abu Huroiroh?"(yaitu hadats yang disebutkan dalam hadits :"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima sholat seorang dari kalian jika dia berhadats hingga dia berwudlu"-pent). Maka Abu Huroiroh berkata : فُسَاءُ (Kentut yang tidak bersuara) dan ضَرَّاطٌ (kentut yang bersuara). (Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim)
Namun terjadi khilaf diantara para ulama bagaimana jika ada angin yang keluar dari depan (dari kemaluan), yang hal ini kadang terjadi pada kaum wanita ?
Hanafiyah berpendapat bahwa hal ini tidak membatalkan wudlu. Sedangkan selain Hanafiyah menyatakan tetap batal sesuai dengan keumuman hadits :
لاَ وُضُوْءَ إِلاَّ مِنْ صَوْتٍ أوْ رِيْحٍ
Tidak ada wudlu kecuali karena bunyi atau angin (Hadits riwayat Thirmidzi dan Ibnu Majah dan dihasankan oleh Nawawi, lihat Irwaul Golil no 107)
Ibnu Qudamah berkata :"Kami tidak mengetahui adanya wujud angin ini, kami tidak mengetahui adanya angin ini pada seseorang". (Lihat al-fiqh al-islami 1/256-257) Namun yang benar angin seperti ini ada wujudnya dan kadang-kadang menimpa para wanita (Syarhul Mumti' 1/230).
  • Madzi, sesuai dengan Hadits Ali, beliau berkata :
كُنْتُ رَجًلٌ مَذَّاءً فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسْأَلَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ ، فَأَمَرْتُ المِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ؟ فَقَالَ : يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
Aku adalah seorang yang sering keluar madzi dan aku malu untuk bertanya (tentang masalah ini) kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedudukan anak beliau. Maka akupun memerintahkan Miqdad bin Aswad (untuk menanyakan hal ini kepada beliau), maka beliau berkata : "Dia cuci dzakarnya dan dia berwudlu" (Diriwayatkan oleh Bukhori Muslim)
  • Darah istihadloh, sesuai dengan hadits 'Aisyah, bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaisy yang beristihadloh:
تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صّلاَةٍ
"Berwudlulah setiap kali sholat" (Hadits shohih, irwaul golil no 109, 110)
Berkata An-Nawawi : "Maka yang keluar dari qubul atau dubur laki-laki atau perempuan membatalkan wudlu, sama saja baik ia buang air besar, buang air kecil, angin, mikroba perut (ulat, cacing, dan sebagainya), nanah, darah, atau batu kecil, atau lainnya". Dan tidak ada perbedaan dalam hal tersebut antara yang biasanya terjadi maupun yang jarang terjadi. (Sifat wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal 44)
Sedangkan yang keluar selain dari dua jalan (qubul dan dubur) seperti nanah, darah, dan muntah maka tidak membatalkan wudlu. Dan inilah pendapat Malikiyah dan Syafi'iyah dengan dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam namun beliau tidak berwudlu, namun hadits ini dho'if. Mereka juga berdalil dengan kisah ketika ada seorang sahabat Ansor yang sholat pada malam hari lantas kakinya terkena tiga anak panah musuh sehingga mengalir darah dan dia tetap ruku dan sujud melanjutkan sholatnya (Dan ini adalah riwayat yang shohih, shohih Abu Dawud no 193, lihat tamamul minnah hal 51 ). (Lihat al-fiqh al-islami 1/ 267-269)
Ada pendapat yang menyatakan bahwa muntah membatalkan wudlu. Dalilnya :
  • Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muntah dan beliau berwudlu
  • Muntah itu adalah sisa-sisa yang keluar dari badan, maka dia mirip dengan kencing dan tahi.
Namun ini adalah pendapat yang lemah sebab yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (kalaupun haditsnya shohih) hanyalah sekedar fiil dan tidak menunjukan wajib. (Syarhul mumti' 1/224-225)
b. Tidur
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى عَهْدِهِ يَنْتَظِرُوْنَ العِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوْسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَلاَ يَتَوَضَّئًوْنَ
Dari Anas bin Malik, berkata : Adalah para sahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunggu sholat isya' hingga terangguk-angguk kepala mereka kemudian mereka sholat tanpa berwudlu. (Hadits shohih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan asalnya adalah lafal Muslim, Irwaul Golil no 114)
Dan diriwayatkan oleh Thirmidzi dari jalan Syu'bah :
لَقَدْ رَأَيْتُ أَصْحَابَ رَسُوْلِ اللهِ يُوْقَظُوْنَ لِلصَّلاَةِ حَتَّى لأَسْمَعَ لأَحَدِهِمْ غَطِيْطًا، ثُمَّ يَقُوْمُوْنَ فَيُصَلُّوْنَ وَلاَ يَتَوَضَّئُوْنَ ، قَالَ ابْنُ المُبَارَكِ : هَذَا عِنْدَنَا وَهُمْ جُلُوْسٌ
Sungguh aku telah melihat para sahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangunkan untuk sholat hingga aku sungguh mendengar dengkuran salah seorang dari mereka. Kemudian mereka bangun lalu sholat dan mereka tidak berwudlu. Ibnul Mubarok berkata : Ini menurut kami, mereka (tidur) dalam keadaan duduk.
Ada khilaf diantara para ulama tentang masalah ini:
  • Pendapat pertama (ini merupakan pendapat Abu Musa Al-'Asyari, Ibnu Umar, dan Ibnul Musayyib) : Baik tidurnya banyak ataupun sedikit tidaklah membatalkan wudlu selama belum dipastikan timbulnya hadats, karena tidur itu bukanlah pembatal tetapi hanyalah tempat kemungkinan terjadinya hadats. Dan tidak bisa dikatakan batal kecuali sampai yang tidur tersebut yakin bahwa dia berhadats. Para sahabat yang disebutkan dalam hadits diatas sampai ada yang mendengkur (tidurnya lelap), namun bangun dari tidur dan langsung sholat tanpa wudlu.
  • Pendapat kedua (jumhur) : Jika tidurnya banyak maka membatalkan wudlu, namun tidur yang sedikit tidak membatalkan wudlu. Dan mereka (jumhur) memiliki perincan tentang ciri-ciri tidur yang sedikit tersebut yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Diantaranya seperti tidur dalam keadaan duduk (atau dalam keadaan sujud). Karena dalam hadits diatas disebutkan bahwa hingga kepala-kepala para sahabat terangguk-angguk. Dan ini tidaklah terjadi kecuali mereka tidur dalam keadaan duduk (sebagaimana perkataan Ibnul Mubarok). Dan seseorang yang tidur dalam keadaan duduk, dia tidak bisa buang angin kecuali dengan mengerakkan badannya ke kanan atau ke kiri.
Dan jika tidurnya lelap dan tidak dalam keadaan duduk maka batal sebagaimana hadits Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرَ أَنْ لاَ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِهِنَّ إِلاَّ مِنْ جَنَابَة، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
Dari Sofwan bin 'Asal berkata :"Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kami jika kami bersafar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena janabah, tetapi (tidak usah dilepas kalau hanya) karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur".(Hadits shohih riwayat Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi , Irwaul Golil no 104)
Dengan demikian terjama'kanlah semua dalil. (Taudlihul Ahkam 1/225)
  • Pendapat ketiga (ini adalah pendapat Ibnu Hazm) : Bahwasanya tidur membatalkan wudlu secara mutlaq baik tidurnya sedikit maupun tidurnya banyak.
Mereka berdalil dengan hadits Sofwan bin 'Asal di atas yang menunjukan bahwa tidur membatalkan wudlu secara mutlaq karena Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memperincinya. Demikian pula dengan hadits :
عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ فَمَنْ نَامَ فَالْيَتَوَضَّأْ
Dari Mu'awiyah berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;"Mata adalah pengikat lingkaran dubur, maka barang siapa yang tidur hendaknya dia berwudlu" (Hadits hasan , irwaul golil no 113)
Dan pendapat yang ketiga inilah yang rojih dan yang telah dipilih oleh Syaikh Al-Albani (Tamamul Minnah hal 99).
Bantahan terhadap pendapat kedua :
Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani yaitu adanya riwayat yang lain dari Abu Dawud dengan sanad yang shohih :
كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ يَضَعُوْنَ جُنُوْبَهُمْ فَيَنَامُوْنَ، فَمِنْهمْ مَنْ يَتَوَضَّأُ وَمِنْهُمْ مَنْ لاَ يَتَوَضَّأُ
Adalah para sahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaringkan lambung-lambung mereka lalu mereka tidur, maka diantara mereka ada yang berwudlu dan ada yang tidak berwudlu.
Dan lafal ini يَضَعُوْنَ جُنُوْبَهُمْ (membaringkan lambung-lambung mereka) bertentangan dengan lafal تَخْفِقَ رُؤُوْسُهُمْ (terangguk-angguk kepala mereka) yang menunjukan mereka tidur dalam keadaan duduk. Oleh karena itu kita katakan hadits ini mudtorib sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, atau kita jama'kan dua lafal ini yaitu sebagian mereka (para sahabat) tidur dalam keadaan duduk dan sebagian yang lain dalam keadaan berbaring, sebagian sahabat ada yang berwudlu dan sebagian yang lain tidak, dan penjama'an ini lebih benar. Dengan demikian maka ini merupakan dalil bagi yang mengatakan bahwa tidur tidaklah membatalkan wudlu secara mutlak (yaitu pendapat jumhur –pent). Namun ini bertentangan dengan hadits Sofwan bin 'Asal yang marfu' kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih rojih daripada hadits Anas ini yang maquf. Dan bisa jadi juga hadits Anas ini sebelum diwajibkannya berwudlu karena tidur.
Bantahan terhadap pendapat pertama :
Pendapat bahwa tidur bukanlah pembatal wudlu tetapi tempat kemungkinan timbulnya hadats maka kita katakan : Ketika perkaranya demikian maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan semua orang yang tidur untuk berwudlu walaupun tidur dalam keadaan duduk karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa mata adalah pengikat lingkaran dubur. Jika mata tertidur maka lepaslah ikatan itu. Dan orang yang tidur dalam keadaan duduk telah terlepas ikatannya walaupun dalam sebagian keadaan, misalnya dia miring ke kiri atau ke kanan.
Dan inilah pendapat Ibnu Hazm dan Abu 'Ubaid Al-Qosim bin Salam tentang kisahnya yang bagus yang dihikayatkan oleh Ibnu Abdil Bar, beliau (Abu 'Ubaid Al-Qosim bin Salam) berkata :
"Aku berfatwa bahwa barang siapa yang tidur dalam keadaan duduk maka tidak wajib wudlu baginya, sehingga pada suatu hari jum'at ada seorang laki-laki yang duduk disampingku dan dia tidur, lalu dia buang angin. Maka aku berkata :"Berdiri dan berwudlulah", dia berkata :"Aku tidak tidur", Aku berkata :"Bahkan engkau telah buang angin yang membatalkan wudlu!", Maka diapun bersumpah dengan nama Allah ta’ala bahwa dia tidak buang angin dan berkata kepadaku : "Justru engkau yang buang angin". Maka hilanglah apa yang aku yakini tentang tidurnya orang yang duduk (tidak membatalkan wudlu), dan aku meyakini bahwa orang yang tidur dan hatinya telah tidak sadar (maka membatalkan wudlu, meskipun dalam keadaan duduk) (Tamamul Minnah hal 101)
Namun perlu diperhatikan bahwa tidur dan ngantuk berbeda. Tidur menutup hati untuk mengetahui keadaan hal-hal yang dzohir, sedangkan ngantuk memotong hati untuk mengetahui hal-hal yang batin (adapun yang dzohir masih dikenali). Dan orang yang ngantuk tidak diwajibkan wudlu bagaimanapun berat ngantuk tersebut karena orang yang ngantuk masih bisa merasakan jika dia buang angin.
Kehilangan akal. Yaitu hilangnya akal (tidak sadar) dengan cara apapun seperti gila, pingsan, dan mabuk karena orang yang dalam keadaan demikian tidak mengetahui apakah wudlunya batal atau tidak. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. (Sifat wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal 45). Jika tidur membatalkan wudlu maka pingsan dan gila lebih membatalkan lagi.
c. Menyentuh kemaluan tanpa penghalang
Untuk masalah ada empat pendapat dikalangan para ulama
  • Pendapat pertama : Tidak batal wudlunya walaupun dengan syahwat, dalilnya hadits
عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ : قَالَ رَجُلٌ مَسَسْتُ ذَكَرِي، أَوْ قَالَ : الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِيْ الصَّلاَةِ ، أَعَلَيْهِ الوُضُوْءُ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ :لاَ، إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ
Dari Tolq bin Ali berkata :"Seorang laki-laki berkata : “Aku telah menyentuh kemaluanku”, atau beiau berkata : "Seorang laki-laki menyentuh kemaluannya dalam sholat, apakah atasnya wudlu ?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : "Tidak, dia hanyalah bagian dari tubuh engkau"
  • Pendapat kedua: Batal wudlunya walaupun tanpa syahwat, dalilnya hadits :
عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَالْيَتَوَضَّأْ
Dari Busroh binti Shofwan berkata : Adalah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Barang siapa yang menyentuh dzakarnya maka hendaklah dia berwudlu”.
Sedangkan hadits Tolq diatas ada lafal (menyentuh kemaluannya dalam sholat), tidak batal wudlunya karena dia menyentuhnya dengan penghalang, sebab bukan tempatnya orang menyentuh kemaluannya dalam sholat tanpa penghalang. (Taudlihul Ahkam 1/236). Lagipula hadits Tolq diperselisihkan oleh para ulama akan keshohihannya.
  • Pendapat ketiga: Batal kalau dengan syahwat. Pendapat ketiga ini menjamakkan dua pendapat di atas. Hadits Tolq kita bawakan untuk sentuhan tanpa syahwat, sedangkan hadits Busroh kita bawakan untuk sentuhan dengan syahwat. Perkataan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dia hanyalah bagian dari tubuh engkau) menunjukan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan “Karena sesungguhnya engkau telah menyentuh kemaluanmu tanpa syahwat maka seakan-akan engkau seperti menyentuh anggota-anggota tubuh yang lain. Namun jika engkau menyentuhnya dengan syahwat maka batal wudlumu karena ‘illahnya ada”.
  • Pendapat keempat : Hanya disunnahkan untuk berwudlu walaupun menyentuhnya dengan syahwat. Dan ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebab disebutkan dalam lafal hadits Tolq أَعَلَيْهِ الوُضُوْءُ (apakah atasnya wudlu?) maksudnya yaitu “apakah wajib baginya wudlu?”, maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Tidak”, sebab hukumnya cuma sunnah. Jadi perintah wudlu yang ada pada hadits Busroh hanyalah sunnah, tidak wajib. Namun pendapat ini terbantah karena ada hadits lain yang jelas menunjukan wajibnya berwudlu, yaitu hadits :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ وَ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا حِجَابٌ وَلاَ سَتْرٌ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوْءُ 

Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya ke farjinya dan tidak ada hijab dan juga penutup antara tangannya dan farjinya tersebut maka wajib atasnya wudlu. (Hadits dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohihul jami’ no 359 dan Nailul Author 1/199)
Kesimpulannya, sebagaimana perkataan Syaikh Utsaimin : “Seseorang jika menyentuh kemaluannya (dengan syahwat atau tanpa syahwat) maka disunnahkan agar dia berwudlu Namun pendapat akan wajibnya (berwudlu jika menyentuh dengan syahwat) sangat kuat, namun saya tidak menjazemkan (memastikan) hal ini. Namun untuk hati-hati hendaknya dia berwudlu”. (syarhul Mumti’ 1/ 234)
Apakah hukum menyentuh dubur sama dengan menyentuh kemaluan ?. Hukumnya adalah sama, karena dubur masuk dalam dengan keumuman lafal فَرْجٌ hadits Abu Ayub dan Ummu Habibah
مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barang siapa yang menyentuh farjinya (secara bahasa farj artinya lubang -pent) maka hendaklah dia berwudlu. (Hadits shohih, irwaul golil no 117).
Dan juga hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu diatas.
Perhatian :
Dari hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu diatas bisa diambil mafhum mukholafah bahwa jika menyentuhnya tidak dengan menggunakan الكَفُّ (tangan dari jari-jari hingga ke pergelangan tangan, karena jika lafal اليَدُ di-itlaqqan (dimutlakkan) maka maknanya adalah الكَفُّ ). Namun madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa tidaklah membatalkan wudlu kecuali jika menyentuh kemaluan dengan telapak tangan. Sehingga menurut beliau menyentuh kemaluan dengan pungung tangan tidaklah membatalkan wudlu. Beliau berdalil dengan lafal الإِفْضَاءُ dalam hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu yang menunjukan penyentuhan dengan telapak tangan. Namun pendapat ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan juga Ibnu Hajar, sebab makna الإِفْضَاءُ adalah الوُصُوْلُ (sampai) dan ini lebih umum bisa sampai ke kemaluan dengan telapak tangan atau dengan punggung tangan. (Nailul Author 1/199).
d. Menyentuh wanita
 Ada khilaf diantara para Ulama
Pendapat pertama : Batal wudlunya jika menyentuhnya dengan syahwat. Dalilnya :
  • Bahwasanya syahwat adalah memungkinkan timbulnya hadats
  • Dalam hadits yang shohih (riwayat Bukhori dan Muslim) disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah sholat dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh kaki ‘Aisyah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan sujud. Dan ‘Aisyah juga pernah menyentuh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang sujud sholat, beliau berkata :
فَقَدْتُ النَّبِيَّ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَجَعَلْتُ أَطْلُبُهُ بِيَدَيَّ فَوَقَعَتْ عَلَى قَدَمَيْهِ وَهُمَا مَنْصُوْبَتَانِ وَهُوَ سَاجِدٌ
Aku kehilangan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam, maka akupun mulai mencarinya dengan kedua tanganku. Maka tanganku berada (menyentuh) pada kedua kakinya yang tegak dan beliau dalam keadaan bersujud.(Hadits shohih Muslim no 486 dan An-Nasai 1/101)
Dan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatalkan sholatnya. Kalau seandainya sekedar menyentuh wanita tanpa syahwat membatalkan wudlu, tentu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah membatalkan sholatnya ketika itu.
  • Batalnya wudlu hanya dengan sekedar menyentuh sangat menyulitkan, apalagi jika seseorang mempunyai Ibu yang telah tua dan anak pamannya.
Pendapat kedua: Batal wudlunya walaupun menyentuh wanita tanpa syahwat, dalilnya :
  •  Firman Allah ta’ala أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (..atau menyentuh para wanita..), dan Allah ta’ala tidak metaqyidnya dengan syahwat
  • Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh kaki ‘Aisyah mungkin saja karena ada kain penghalangnya (jadi tidak menyentuhnya langsung) atau mungkin beliau menyentuh dengan kukunya.
Pendapat ketiga : Tidak batal wudlu secara mutlaq, walupun menyentuh wanita dengan syahwat bahkan walaupun farji menyentuh farji. Dalilnya :
  • Hadits ‘Aisyah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istri-istrinya, kamudian beliau keluar untuk sholat tanpa berwudlu.
  • Adapun jawaban terhadap pendapat pertama dan kedua, yaitu bahwasanya yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat maksudnya “berjimak” dan ini merupakan tafsir Ibnu Abbas Radhiyallohu'anhu.
  • Selain itu Allah ta’ala berfirman :(Wahai orang-orang yang beriman, jika…….maka cucilah wajah-wajah….dst….hingga kedua mata kaki) ini merupakan perintah untuk menghilangkan hadats kecil. Lalu Allah ta’ala berfirman :(Dan jika kalian berjunub maka bersucilah) ini perintah untuk menghilangkan hadats besar. Kemudian Allah ta’ala menjelaskan sebab-sebab hadats kecil yaitu (..atau salah seorang dari kalian buang air besar), kemudian Allah juga menjelaskan sebab hadats besar yaitu (atau kalian menyentuh wanita). Kalau menyentuh diartikan sekedar menyentuh maka berarti Allah ta’ala tidak menyebutkan sebab hadats besar. Dan ini merupakan kekurangan dalam koidah balagoh. (Syarhul Mumti’ 1/239)
e. Memandikan mayat
 Ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Batal wudlunya, dalilnya:
  • Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya mereka memerintahkan orang yang memandikan mayat untuk berwudlu.
  • Orang yang memandikan mayat pada umumnya menyentuh kemaluan si mayat.
Pendapat kedua (merupakan pendapat Ibnu Taimiyah): Tidak batal wudlu, dalilnya :
  • Jika memang atsar tersebut shohih, maka mungkin saja perintah tersebut untuk istihbab (sunnah)
  • Menyatakan sesuatu membatalkan wudlu harus berhati-hati, sebab jika kita menyatakan wudlunya batal otomatis kita menyatakan bahwa sholatnya juga batal.
  • Tidaklah benar bahwa menyentuh dzakar membatalkan wudlu secara mutlaq (khilaf tentang masalah ini telah lalu). Kalaupun membatalkan, belum tentu yang memandikan ini menyentuh kemaluan si mayat.
Pendapat pertama setuju bahwa jika kita memandikan orang lain yang masih hidup (mungkin karena sakit) maka wudlu kita tidak batal. Maka demikian pula ketika kita memandikan dia setelah mati, tidak membatalkan wudlu.
f. Memakan daging unta
Ada khilaf diantara para ulama
 Pendapat pertama: Batal wudlunya, dalilnya
عَنْ جَابِرٍ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ : أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ الْغَنَمِ ؟قَالَ : إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَ إِنْ شِئْتَ فَلاَ تَتَوَضَّأْ. قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ الإِبِلِ ؟قَالَ : نَعَمْ، فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُوْمِ الإِبِلِ. قَالَ : أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ ؟ قَالَ : نَعَمْ، قَالَ : أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الإِبِلِ ؟ قَالَ :لاَ
 Dari Jabir bin Samuroh bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah saya berwudlu karena (memakan) daging kambing?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Kalau kamu mau maka berwudlulah dan kalau tidak maka janganlah berwudlu”. Dia berkata :”Apakah saya berwudlu karena (makan) daging unta?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya, berwudlulah karena (makan) daging unta!”. Dia berkata : ”Apakah saya (boleh) sholat di kandang kambing? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Ya”. Dia bertanya : “Apakah saya (boleh) sholat di kandang unta?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Tidak”. (Hadits riwayat Muslim no 360)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkaitkan wudlu jika makan daging kambing dengan masyi’ah (pilihan), hal ini menunjukan bahwasanya jika daging unta tidak ada pilihan lain.
  • Hadits Barro’, yaitu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda تَوَضَّؤُوْا مِنْ لُحُوْمِ الإِبِلِ (Berwudlulah karena daging unta). Dan asalnya perintah adalah untuk wajib.
Pendapat kedua : Tidak batal wudlu, dalilnya :
  •  Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
كَانَ آخِرُ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ تَرْكُ الْوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
 “Perkara yang terakhir (yang dipilih oleh) Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua perkara adalah meninggalkan wudlu karena (memakan) apa-apa yang terkena api”.
Dan perkataan (apa-apa yang terkena api) adalah umum mencakup unta, dan hadits ini merupakan nasikh bagi hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang pertama
  • Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : الوُضُوْءُ مِمَّا خَرَجَ، لاَ مِمَّا دَخَلَ (Wudlu itu karena apa-apa yang keluar bukan karena apa-apa yang masuk).
Pendapat ketiga : Hukum berwudlunya hanyalah sunnah (inilah pendapat Imam Syaukani), dengan dalil bahwasanya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan suatu perkara kemudian beliau menyelisihinya maka menunjukan bahwa perintah tersebut tidaklah wajib.
Dan yang rojih adalah pendapat yang pertama.
Bantahan terhadap pendapat kedua dan ketiga :
  • Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang kedua ini umum, sedangkan hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama adalah khusus. Maka yang umum dibawakan kepada yang khusus. Jadi yang benar semua yang disentuh api tidak perlu wudlu kecuali daging unta.
  • Adapun menyatakan hadits ini sebagai nasikh, maka tidaklah benar sebab masih mungkin untuk dijamakkan
  • Adapun hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah dho’if.
Pendapat yang menyatakan perintah berwudlu karena memakan daging unta hanyalah sunnah adalah lemah. Sebab sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup perkataan dan perbuatan beliau. Jika perbuatan beliau menyelisihi perkataan beliau maka jika bisa dijamakkan maka tidak kita bawakan pada khususiah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kita diperintahkan untuk mengikuti perkataan dan perbuatan beliau. (Syarhul Mumti’ 1/247-250)
Apakah yang membatalkan wudlu itu hanya daging (otot)nya saja atau termasuk juga hati, jantung, dan yang lainnya. Ada khilaf diantara para ulama. Diantara mereka ada yang menyatakan bahwa hanya daging yang membatalkan wudlu, dalilnya :
  • Jantung, hati, rempelo, jerohan, itu tidaklah disebut daging. Kalau kita memerintahkan orang lain untuk membelikan daging, lantas dia membelikan kita jerohan maka tentu kita tidak menerimanya.
  • Asal segala sesuatu adalah suci sampai ada dalil yang menunjukan keharamannya.
  • Hikmah bahwa memakan daging unta membatalkan wudlu adalah ta’abbudiyah, oleh karena itu tidak bisa diqiaskan dengan yang lainnya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa seluruh bagian tubuh unta kalau dimakan maka akan membatalkan wudlu, dalilnya :
  • Bahwasanya الَحْمُ (daging) menurut bahasa arab mencakup seluruh bagian tubuh, sebagaimana firman Allah ta’ala(Diharamkan bagi kalian bangkai dan darah dan daging babi). Maka daging di sini mencakup seluruh bagian tubuh babi baik kulit, jerohan, dan yang lainnya.
  • Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan bahwa selain daging tidak membatalkan wudlu, padahal beliau mengetahui bahwa manusia tidak hanya memakan daging unta saja.
  • Tidak ada dalam syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dihalalkan sebagian anggota tubuh hewan dan dihalalkan bagian yang lain.
  • Telah shohih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berwudlu karena meminum susu unta. Maka bagian-bagian yang selain susu lebih aula untuk diperintahkan berwudlu.(Namun hadits tentang masalah ini didhoifkan oleh sebagian ulama)
g. Apa-apa yang mewajibkan mandi
Seluruh yang mewajibkan mandi (seperti keluarnya mani, bertemu dua khitan, mati, dll) maka mewajibkan wudlu. Ini adalah koidah, oleh karena itu perlu diketahui apa-apa saja yang mewajibkan mandi karena hadats besar mencakup hadats kecil. Contohnya keluarnya mani mewajibkan mandi, dan dia keluar dua jalan (qubul dan dubur) maka dia juga membatalkan wudlu. Namun koidah ini masuh perlu diteliti lagi, sebab Allah ta’ala berfirman :(Dan jika kalian junub maka bersucilah), maka Allah ta’ala mewajibkan orang yang junub untuk mandi saja, dan tidak mewajibkan mencuci empat anggota wudlu, oleh karena itu apa saja yang mewajibkan mandi maka dia hanya mewajibkan mandi kecuali ada ijmak atau dalil yang menyelisihinya. Oleh karena itu yang rojih adalah seorang yang junub jika dia berniat mengangkat hadats maka sudah cukup, dan tidak ada hajat untuk berniat mengangkat hadats kecil. (Syarhul mumti’ 1/255-256)
Demikianlah perkara-perkara yang bisa membatalkan wudlu.
Jika seseorang telah bersuci, kemudian timbul keraguan apakah dia telah berhadats atau tidak, maka kembali pada keyakinannya bahwa dia telah bersuci dan dia meninggalkan keraguannya itu.
Contohnya seseorang telah berwudlu untuk sholat magrib, ketika adzan isya’ dan dia hendak sholat isya’ dia ragu apakah wudlunya telah batal atau belum. Maka dia kembali pada asalnya yaitu dia telah berwudlu. Contoh yang lain, seseorang bangun malam lalu dia mendapati bahwa pada celananya ada yang basah namun dia merasa tidak bermimpi, dan dia ragu apakah yang basah itu mani atau bukan, maka dia tidak wajib mandi karena asalnya dia tidak mimpi.
Kalau seseorang melihat pada celananya ada bekas mani, namun dia ragu apakah ini mani semalam atau mani dari malam-malam sebelumnya. Maka hendaknya dia menganggap bahwa itu adalah mani semalam karena ini sudah pasti, sedangkan malam-malam sebelumnya masih diragukan dan dia menqodlo sholat-sholat yang ditinggalkannya semalam. Dalilnya :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : يَأْتِي أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ فِي صَلاَتِهِ فَيَنْفُخُ فِي مَقْعَدَتِهِ فَيُخَيِّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ أَحْدَثَ وَلَمْ يُحْدِثْ, فَإِذَا وَجَدَ ذَلِكَ فَلاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Syaiton mendatangi salah seorang dari kalian ketika dia sedang sholat lalu meniup duburnya maka dia khayalkan kepadanya bahwa dia telah berhadats padahal dia tidak berhadats. Jika dia mendapati hal itu maka janganlah dia berpaling (membatalkan) sholatnya hingga dia mendengar suara atau dia mencium bau”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Al Bazzar, dan asal hadits ini ada di shohihain dari hadits Abdullah bin Zaid y. Dan dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu semisal hadits ini).
Dan Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Sa’id secara marfu’ :
إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ فَقَالَ : إِنَّكَ أَحْدَثْتَ، فَلْيَقُلْ : كَذَبْتَ
Jika syaiton datang kepada salah seorang dari kalian dan berkata “Sesungguhnya engkau telah berhadats” maka hendaknya dia berkata :”Engkau dusta”
 Ibnu Hibban juga mengeluarkannya dengan lafal فَلْيَقُلْ فِي نَفْسِهِ (Hendaknya dia mengucapkannya dalam hatinya).
 Demikian pula sebaliknya jika dia yakin telah berhadats lalu dia ragu apakah dia telah bersuci atau belum maka asalnya dia tetap berhadats. Dan ini adalah qiyas ‘aks yang dibolehkan dalam syari’at. (Syarhul Mumti’ 1/258)
 Dan jika timbul keraguan setelah selesai melakukan ibadah maka tidak ada pengaruhnya keraguan tersebut sama sekali. Misalnya seseorang berwudlu kemudian dia ragu apakah dia telah berkumur-kumur?, atau setelah selesai sholat dia ragu apakah dia telah membaca surat al-fatihah?, atau dia hanya sujud sekali?, maka janganlah ia memperhatikan keraguan tersebut, karena asalnya adalah ibadahnya sah. Dan ini berlaku untuk semua ibadah. (Taudlihul Ahkam 1/256)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar