- Dipublikasikan: 08 August 2011
- Dibaca: 2791 kali.
Pendapat Pertama: Duduk Dalam sholat Adalah Mutlak Iftirasy, Baik Duduk Diantara Dua Sujud, Tasyahud Awal, Maupun Tasyahud Akhir
Yaitu pendapat Imam Hanafi dan yang sepaham dengannya, bahwa duduk dalam sholat adalah mutlak iftirasy, baik duduk di antara dua sujud, tasyahud awal, maupun tasyahud akhir
Pendapatnya ini berdalil dengan beberapa hadits, diantaranya yaitu:
Perkataan Aisyah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
”Beliau Rasulullah mengucapkan tahiyyat pada setiap dua rekaat/rekaat kedua, saat itu beliau hamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” (Shahih Muslim no. 498).
Perkataan Wail bin Hujr:
”Aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika duduk dalam shalat; beliau hamparkan telapak kaki kirinya dan
menegakkan telapak kaki kanannya.” (Ibnu Khuzaimah no.691, Al-Baihaqi
no.72, Ahmad no.316), Al-Thabrani no.33). Dalam riwayat Tirmidzi dengan
lafal: ”Tatkala duduk tasyahud beliau hamparkan kaki kirinya dan tangan
kirinya diletakan pada pahanya sementara itu kaki kanannya
ditegakkannya.” (Sunan Tirmidzi no.292).
Hadit-hadits tersebut, dan hadits lain yang senada, menunjukkan disebutkannya duduk iftirasy baik waktu tasyahud maupun bukan.
Pendapat Kedua: Duduk Dalam Shalat Adalah Tawaruk, Baik Pada Tasyahud Awal, Atau Akhir, Maupun Diantara Dua Sujud
Adalah pendapat Imam Malik, dan yang
sepaham dengannya, bahwa duduk dalam shalat adalah tawaruk, baik pada
tasyahud awal, atau akhir, maupun di antara dua sujud
Pandangan ini dibangun di atas hadits-hadits berikut:
Perkataan Abdullah Ibnu Umar :
”Bahwasanya sunnah shalat (ketika duduk)
adalah engkau tegakkan telapak kaki kananmu dan melipat yang kiri!”
(Shahih al-Bukhari no.793, bersama Fatul Bari).
Perkataan Abdullah Ibnu Mas’ud :
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan tasyahud kepadaku dipertengahan shalat dan di akhirnya.”
Katanya lagi,
”Beliau mengucapkan (tasyahud tersebut)
jika duduk di pertengahan shalat dan di akhirnya di atas warik (bagian
atas paha/pantat)-nya yang kiri…” (Musnad Ahmad 4369)
Hadits-haduts tersebut menyebutkan adanya duduk tawaruk dalam shalat, baik di tengah maupun akhirnya.
Mereka juga mendasarkan pada kiyas,
bahwa perbuatan tersebut adalah diulang-ulang dalam shalat, maka sesuatu
yang diulang-ulang dalam shalat mestinya mempunyai satu sifat/bentuk.
Seperti halnya berdiri dan sujud. (Syarh Muwatha, oleh Qadhi Abul Walid
Sulaiman al-Naji)
Pendapat Ketiga: Duduk Akhir Didalam
Shalat Yang Memiliki Satu Tasyahud, Yakni Duduk Iftirasy dan Jika
Memiliki Dua Tasyahud, Tasyahud Awal Dengan Iftirasy dan Yang Akhir
Dengan Tawaruk
Pendapat Imam Ahmad dan yang sepaham.
bahwa shalat yang memiliki satu tasyahud dengan yang memiliki dua
tasyahud cara duduknya berbeda. Shalat yang memiliki satu tasyahud,
duduk akhirnya sama dengan cara duduk di antara dua sujud, yakni
iftirasy. Sementara bila shalatnya memiliki dua tasyahud, maka tasyahud
awal dengan cara iftirasy, sedangkan yang kedua dengan cara tawaruk. Ini
merupakan pendapat yang masyur dari Imam Ahmad. (Fathul Bari, Ibnu
Rajab al-Hambali V/164).
Pendapat Hambali. ”Tidak boleh duduk
tawaruk kecuali dalam shalat yang mempunyai dua tasyahud, duduk tawaruk
dilakukan pada tasyahud yang akhir.” (Zadul Mustaqni’ Ahmad bin Hambal)
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengisahkan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memulai shalat dengan takbir dan membaca dengan ‘alhamdulillahi
rabbil ‘alamin’. Bila beliau rukuk, beliau tidak menegakkan kepalanya
dan tidak pula menundukkannya, namun antara keduanya. Bila beliau
mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau tidak langsung sujud hingga
tegak lurus. Apabila beliau bangun dari sujud, beliau tidak langsung
sujud lagi hingga duduk sempurna. Serta tiap dua rekaat, beliau
mengucapkan tahiyat dan duduk iftirasy.” (HR. Muslim)
Jadi pendapat yang rajih (kuat), wallahu
a’lam bish shawab, adalah tahiyat akhir untuk sholat yang memiliki satu
tasyahud dilakukan dengan iftirasy.
Pendapat Keempat: Duduk Yang Bukan
Duduk Akhir Adalah Iftirasy, Sedangkan Duduk Yang Dilakukan Pada
Tasyahud Akhir Dengan Tawaruk
Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan
yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa duduk yang bukan duduk akhir
adalah iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahud akhir
dengan tawaruk. Tidak dibedakan antara shalat yang memiliki dua tasyahud
ataupun satu tasyahud.
Syafi’i berpandangan bahwa asal duduk
dalam shalat adalah tawaruk. Dikecualikan sebagaimana perkataan Muzani
bahwa Syafi’i berkata, ”Duduk pada rekaat kedua di atas kanannya.”
(Al-Hawi al-Kabir hal.171).
Ibnu Rusyd mengambarkan pandangan
syafi’i, ”Pada tasyahud awal mereka mengikuti madzab Hambali sementara
pada tasyahud akhir mengikuti madzab Maliki.” (Bidayatul Mujtahid
hal.261).
Hadits dari Muhammad bin Amr bin Ath’.
Ia pernah duduk bersama sepuluh orang
sahabat. Kami membincangkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tiba-tiba Abu Humaid al-Sa’idi berkata, ”Dibanding kalian aku lebih
hafal tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aku
pernah melihat beliau apabila bertakbir dijadikannya kedua tangannya
berhadapan dengan kedua pundaknya. Apabila rukuk, beliau letakkan kedua
tangannya di kedua lututnya, kemudian beliau meluruskan punggungnya.
Bila mengangkat kepalanya (dari ruku), beliau berdiri lurus (i’tidal)
sehingga kembali setiap tulang belakang ke tempatnya. Kemudian apabila
sujud, beliau letakkan kedua tangannya tanpa menghamparkan maupun
menggenggam, sementara ujung-ujung jarinya kedua kakinya dihadapkan ke
kiblat. Apabila duduk pada dua rekaat (rekaat kedua), beliau duduk di
atas (hamparan) kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya (duduk
iftirasy). Sementara apabila duduk pada rekaat akhir, beliau majukan
kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk di
tempatnya (di lantai alias duduk tawaruk).” (Shahih al-Bukhari no.828).
Hadits tersebut ada yang menggunakan lafal lain :
Dalam riwayat Abdul Fadhi Abdul Hamid bin Ja’far al-Anshari al-Ausi disebutkan,
”Hingga pada saat sajdah yang diikuti dengan salam”.
Sementara pada riwayat Ibnu Hibban,
”(Pada rekaat) yang menjadi penutup
shalat beliau mengeluarkan kaki kiri dan duduk dengan tawaruk pada sisi
kirinya.” (Fathul Bari II/360).
Sementara itu dalam Shahih Ibni
Khuzaimah (I/587). Sunan al-Tirmidzi no.304, dan Musnad Ahmad no.23088
hadits tersebut dicatat dengan redaksi:
“Hingga rekaat yang padanya selesailah shalat.”
Lain lagi dalam Sunan al-Nasai no.1262,
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika pada dua rekaat yang padanya berakhirlah shalat.”
Kiranya menurut pendapat keempat ini,
yaitu mereka berpandangan bahwa duduk yang bukan duduk akhir adalah
iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahud akhir dengan
tawaruk. Tidak dibedakan antara shalat yang memiliki dua tasyahud
ataupun satu tasyahud. Kesimpulan ini juga pernah diajukan oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat setelah melakukan penelitian yang
cukup dalam dan lama. Sebelumnya hal ini sudah ditegaskan oleh Abul Ula
Mubarakfuri, ”…Pendapat yang menjadi pandangan Imam Syafi’i dan yang
sepaham mempunyai nash yang jelas dan tegas. Inilah madzhab yang kuat.”
(Tuhfatul Ahwadzi II/155).
Berbeda dengan pendapat dari pihak yang
condong kepada pandangan Hambali. Bahwa menurut mereka, hadits Abu
Humaid di atas khusus untuk shalat yang mempunyai dua tasyahud seperti
shalat yang empat atau yang tiga rekaat, karena susunan haditsnya memang
menunjukkan seperti itu. Susunan ini secara tekstual mengkhususkan
bahwa duduk tawaruk hanya ada pada tasyahud yang kedua.
Jawabannya: Sebenarnya yang dipersoalkan adalah shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan masalah empat rekaatnya. Kita coba urutkan hadits Abu Humaid di muka:
Pertama: Berkata Muhammad bin Amr bin Atha’, ”Kami memperbincangkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Ini menunjukkan bahwa para sahabat sebanyak sepuluh orang bersama
Muhammad bin Amr bin Atha’ tengah membahas sifat shalat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kedua: Berkata Abu
Humaid al-Sa’di mengatakan secara umum kepada sahabat-sahabat lainnya
bahwa dia paling tahu tentang sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kemudian menjelaskan tanpa ,mengkhusukan shalat yang 2, 3, atau 4
rekaat.
Ketiga: Di antara
al-Sa’idi ialah: mengangkat kedua tangan, rukuk, i’tidal, dan sujud.
Apakah semua sifat shalat tersebut khusus untuk shalat yang empat
rekaat?
Kemudian hadits Abdullah bin Mas’ud yang
dicatat oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihahnya no.670 memperkuat hadits
Abu Humaid tersebut.
Dipertegas dan diperkuat dengan hadits
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ”Jika
engkau duduk di pertengahan shalat bersikaplah tentang (thuma’ninah) dan
hamparkan paha kirimu (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahud.”
(Sunan Abu Dawud no.802, menurut Al-Albani sanadnya hasan, dalam Ashlu
Shafatis Shalah, Al-Albani: III/831-832).
Abu Humaid membedakan antara duduk di
akhir shalat dengan duduk yang bukan di akhiri shalat. Tatkala beliau
menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya
dengan lafal ”Jika duduk pada rekaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy)”. Lafal ini menunjukan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat, bukan akhir shalat. Yang dimaksud ”arrak’atain” bukan ”dua rekaat”, tetapi ”rekaat yang bukan akhir shalat”
alias rekaat kedua. Jadi hadits ini menjelaskan bahwa duduk iftirasy
dilakukan dipertengahan shalat. Sedangkan lafal hadits Abu Humaid ”dan jika beliau duduk pada rekaat terakhir”,
dengan berbagai lafalnya merupakan nash yang bersifat manthuq sharih
(penunjukan lafal yang sesuai pada ucapannya); hal ini lebih didahulukan
daripada mafhum. Hadits Aisyah, Ibnu Hujr, Ibnu Zubair tentang duduk
iftirasy adalah umum sebagaimana hadits Ibnu Umar tentang tawaruk; tidak
disebutkan apakah pada pertengahan shalat ataukah diakhirnya. Karena
itu hadits yang umum (mutlak) tersebut dibawa kepada yang muqattad
(mengikat khusus), pada hadits Abu Humaid dimuka.
Perlu diingat pula bahwa shalat yang
dimaksud satu tidak hanya yang dua rekaat, dalam shalat witir ada satu,
tiga rekaat. Ada juga empat rekaat dan lima rekaat dengan satu tasyahud.
Apakah kiranya ada hadits yang menjelaskan tentang duduk selain dua re
kaat? Pemahaman Imam Syafi’i di muka memecahkan masalah ini. Tetapi ada
yang menarik dari ungkapan Imam Nawawi, dari madzhab Syafi’i, ”Seandainya
seorang ketika pada posisi duduk, kapanpun, dengan iftirasy, tawaruk,
bersila, iq’a, atau bahkan selonjor tetaplah sah shalatnya meskipun itu
menyelisihi.” (Syarh Shahih Muslim, hal.438). Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar