Rabu, 05 Februari 2014

Perkara-perkara yang disunnahkan untuk berwudlu

sifat-wudhu-nabiTerkait dengan pelaksanaan ibadah, hal sangat mendasar yang paling utama harus diperhatikan dan patut diketahui dan dilaksanakan ialah kebersihan dan kesucian seseorang dalam melaksanakan ibadah, terutama dalam melaksanakan ibadah salat. Anjuran tentang pentingnya pemeliharaan kebersihan dan kesucian banyak terdapat dalam ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw. yang di arahkan bagi kebahagiaan hidup.
Disebutkan dalam hadits ke-25 Riyadhush Shalihin
    وعن أبي مالك الحارث بن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم “الطهورشطر الإيمان, والحمد لله تملأ الميزان, وسبحان الله والحمد لله تملأن أو تملأ ما بين السموات والأرض, والصلاة نور, والصدقة برهان, والصبرضياء, والقران حجة لك أو عليك. كل الناس يغدو فبائع نفسه, فمعتقها أوموبقها”   – رواه مسلم
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari (semoga Allah meridhainya) berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Kesucian adalah setengah daripada iman, dan (ucapan) ‘Alhamdulillah’ (Segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan, dan (ucapan) ‘Subhanallahu wa Alhamdulillah’ (Maha Suci Allah dan Segala Puji bagi Allah) memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi, dan Shalat adalah cahaya, dan Sedekah adalah bukti, dan Kesabaran adalah Pelita, dan Al Qur’an akan menjadi hujjah (argumen) yang membelamu atau yang menuntutmu. Setiap manusia keluar di pagi hari untuk menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya dan ada yang membinasakan dirinya” – Riwayat Muslim
Kesucian adalah sebagian dari Iman. Kata ‘Ath-Thuhur‘ berarti kesucian manusia, dan ‘Syathru al-iman‘ berarti setengah (sebagian) dari iman. Karena keimanan adalah membersihkan dan menghiasai, yaitu membersihkan dari kesyirikan. Hendaknya manusia bersuci secara jasmani, yaitu dari segala bentuk najis, dan secara ruhani, yaitu dari segala bentuk keburukan. Maka dari itu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjadikan kesucian setengah dari iman.
Redaksi ‘Kesucian adalah sebagian dari Iman’ adalah redaksi yang shahih dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan ungkapan ‘Kebersihan adalah bagian dari Iman’ bukanlah hadits yang sah
Thaharah merupakan ciri terpenting dalam Islam yang berarti bersih dan sucinya seseorang secara lahir dan bathin. Dalam kamus bahasa arab, thaharah berasal dari kata طهره , secara bahasa (etimologi) berarti membersikan dan mensucikan.[Kamus Bahasa Arab (Jakarta: PT. Muhammad Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 241.] Sedangkan menurut istilah (terminologi) bermakna menghilangkan hadas dan najis.Thaharah berarti bersih dan terbebas dari kotoran atau noda, baik yang bersifat hissi (terlihat), seperti najis (air seni atau lainnya), atau yang bersifat maknawi, seperti aib atau maksiat. Sedangkan secara istilah adalah menghilangkan hadats dan najis yang menghalangi pelaksanaan shalat dengan menggunakan air atau yang lainnya.
Dengan demikian, thaharah adalah bersih dan suci dari segala hadats dan najis, atau dengan kata lain membersihkan dan mensucikan diri dari segala hadats dan najis yang dapat menghalangi pelaksanakan ibadah seperti shalat atau ibadah lainnya.
4. Perkara-perkara yang disunnahkan untuk berwudlu (lihat Thuhurul Muslim hal 91-96)
a. Ketika berdzikir dan berdo’a kepada Allah ta’ala
Dalilnya : Hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khobarnya (pesannya) Abu Amir bahwasanya beliau (Abu Amir) berkata kepada dia (Abu Musa) :
أَقْرِئِ النَّبِيَّ مِنِّي السَّلاَمَ وَ قُلْ لَهُ اِسْتَغْفِرْ لِي
 Sampaikan pada Nabi salam dariku, dan katakanlah padanya “Mohon ampunlah (kepada Allah) untukku”.
 Ketika dia (Abu Musa) mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air kemudian berwudlu dengan air tersebut kemudian mengangkat kedua tangannya lalu berkata ; “Ya Allah berilah ampunan bagi hambamu Abu Amir…(Riwayat Bukhori, lihat al-fath 8/41 dan Muslim 4/1944)
b. Ketika akan tidur
Sesuai dengan hadits Baro’ bin Azib t, beliau berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ الأَيْمَنِ
Jika engkau mendatangi tempat berbaringmu maka berwudlulah seperti wudlumu ketika (akan) sholat kemudian berbaringlah di atas sisi (tubuh)mu yang kanan. (Riwayat Bukhori)
c. Setiap kali berhadats
Sesuai dengan hadits Buraidah t, beliau berkata :
أَصْبَح رَسُوْلُ اللهَِ يَوْمًا، فَدَعَا بِلاَلاً فَقَالَ :" يَا بِلاَلُ بِمَا سَبَقَتْنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ إِنَّنِي دَخَلْتُ الْجَنَّةَ الْبَارِحَةَ فَسَمِعْتُ خَشْخَشْتَكَ أَمَامِي؟" فَقَالَ بِلاَلٌ : "مَا أَذَّنْتُ قَطٌّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْغَتَيْنِ، وَلاَ أَصَابَنِي حَدَثٌ قَطٌّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati pagi pada suatu hari, maka Beliau memanggil Bilal dan berkata :”Wahai Bilal dengan apa engkau mendahului aku ke surga?, sesungguhnya aku memasuki surga tadi malam maka aku mendengar suara langkah engkau di depanku”, maka Bilal menjawab :”Tidaklah sama sekali aku beradzan kecuali aku sholat dua rakaat dan tidak pernah sama sekali aku berhadats kecuali aku berwudlu” (Riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohih at-Targib no 95)
d. Setiap akan sholat (walaupun belum batal wudlunya)
Sesuai dengan hadits Abu Huroiroh t, beliau berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ، وَمَعَ كُلِّ وُضُوءٍ بِسِوَاكٍ
Kalaulah tidak memberatkan umatku akan aku perintah mereka untuk berwudlu setiap sholat dan untuk bersiwak setiap berwudlu. (Riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohih at-Targib no 95)
e. Ketika mengangkat mayat
ٍSesuai dengan hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
مَنْ غَسَلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَ مَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan mayat maka mandilah dan barangsiapa yang mengangat mayat maka berwudlulah. (Riwayat Abu Dawud, dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwaul Golil no 144 sehingga ini merupakan pendapat syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah, namun hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Bin Baz sehingga beliau menganggap tidak disunnahkannya berwudlu karena mengangkat mayat, adapun berwudlu karena memandikan mayat adalah sunnah sesuai dengan hadits Aisyah dan Asma’, akan datang penjelasannya pada bab mandi insya Allah U)
f. Setelah muntah
Sesuai dengan hadits Ma’dan dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muntah lalu beliau berbuka kemudian berwudlu. (Riwayat Tirmidzi dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwaul Golil no 111)
g. Karena memakan makanan yang tersentuh api (dibakar)
Sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
 Berwudlulah karena memakan makanan yang tersentuh api. (Riwayat Muslim 1/272)
Kemudian telah tsabit dari hadits Ibnu Abbas dan Amr bin Umayyah dan Abu Rofi’ tbahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam makan daging yang tersentuh api kemudian beliau berdiri dan sholat dan tidak berwudlu. (Riwayat Bukhori no 5408 dan Muslim 1/273). Hal ini menunjukan bahwa disunnahkannya wudlu setelah memakan daging yang tersentuh api.
h. Orang yang junub ketika akan makan
Sesuai dengan hadits Aisyah, beliau berkata :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إذَا كَانَ جُنُبًا فَأََرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلضَّلاَةِ
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau junub kemudian ingin makan atau tidur maka beliau berwudlu sebagaimana wudlu (untuk) sholat. (Riwayat Muslim 1/248 no 305)
i. Karena ingin mengulangi jimak
Sesuai dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Jika salah seorang dari kalian mendatangi (menjimaki) istrinya, kemudian dia ingin mengulanginya maka hendaklah dia berwudlu. (Riwayat Muslim no 308. Berkata Syaikh Bin Baz dalam syarah bulugul maram :”Dzohirnya perintah untuk wajib”.)
Adapun mandi maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengelilingi istri-istrinya dengan sekali mandi. (Riwayat Muslim no 309)
j. Ketika orang yang junub ingin tidur namun tidak mandi junub
Sesuai dengan hadits Aisyah ketika beliau ditanya : “Apakah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur dan dia dalam keadaan junub?”, maka Aisyah menjawab : “Benar, dan dia berwudlu” (Riwayat Bukhori no 286 dan Muslim no 305)
Dab juga hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu meminta fatwa (bertanya) kepada Nabi r, maka dia (Umar t) berkata :”Apakah salah seorang dari kami tidur dan dia dalam keadaan junub?”, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
لِيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَنَمْ حَتَّى يَغْتَسِلَ إِذأ شَاءَ
 “Hendaknya dia berwudlu kemudian hendaklah dia tidur hinga dia mandi jika dia kehendaki” (Riwayat Bukhori no 287 dan Muslim no 306)
 Berkata Syaikh Bin Baz :”Dan telah datang (riwayat) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya terkadang beliau mandi sebelum beliau tidur. Maka keadaannya ada tiga :
  • Seseorang tidur tanpa wudlu dan tanpa mandi, maka ini makruh dan menyelisihi sunnah
  • Seseorang beristinja dan berwudlu sebagaimana wudlunya sholat (kemudian tidur), maka ini tidak mengapa
  • Seseorang berwudlu dan mandi (kemudian tidur) maka ini adalah yang sempurna.
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar