- Dipublikasikan: 05 January 2013
- Dibaca: 1895 kali.
Terkait
dengan pelaksanaan ibadah, hal sangat mendasar yang paling utama harus
diperhatikan dan patut diketahui dan dilaksanakan ialah kebersihan dan
kesucian seseorang dalam melaksanakan ibadah, terutama dalam
melaksanakan ibadah salat. Anjuran tentang pentingnya pemeliharaan
kebersihan dan kesucian banyak terdapat dalam ayat al-Qur’an dan hadis
Nabi saw. yang di arahkan bagi kebahagiaan hidup.
Disebutkan dalam hadits ke-25 Riyadhush Shalihin
وعن
أبي مالك الحارث بن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال: قا ل رسول الله صلى
الله عليه وسلم “الطهورشطر الإيمان, والحمد لله تملأ الميزان, وسبحان الله
والحمد لله تملأن أو تملأ ما بين السموات والأرض, والصلاة نور, والصدقة
برهان, والصبرضياء, والقران حجة لك أو عليك. كل الناس يغدو فبائع نفسه,
فمعتقها أوموبقها” – رواه مسلم
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim
Al-Asy’ari (semoga Allah meridhainya) berkata: Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Kesucian adalah setengah daripada
iman, dan (ucapan) ‘Alhamdulillah’ (Segala puji bagi Allah) memenuhi
timbangan, dan (ucapan) ‘Subhanallahu wa Alhamdulillah’ (Maha Suci Allah
dan Segala Puji bagi Allah) memenuhi apa yang ada diantara langit dan
bumi, dan Shalat adalah cahaya, dan Sedekah adalah bukti, dan Kesabaran
adalah Pelita, dan Al Qur’an akan menjadi hujjah (argumen) yang
membelamu atau yang menuntutmu. Setiap manusia keluar di pagi hari untuk
menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya dan ada yang membinasakan
dirinya” – Riwayat Muslim
Kesucian adalah sebagian dari Iman. Kata
‘Ath-Thuhur‘ berarti kesucian manusia, dan ‘Syathru al-iman‘ berarti
setengah (sebagian) dari iman. Karena keimanan adalah membersihkan dan
menghiasai, yaitu membersihkan dari kesyirikan. Hendaknya manusia
bersuci secara jasmani, yaitu dari segala bentuk najis, dan secara
ruhani, yaitu dari segala bentuk keburukan. Maka dari itu Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam menjadikan kesucian setengah dari iman.
Redaksi ‘Kesucian adalah sebagian dari
Iman’ adalah redaksi yang shahih dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, sedangkan ungkapan ‘Kebersihan adalah bagian dari Iman’
bukanlah hadits yang sah
Thaharah merupakan ciri terpenting dalam
Islam yang berarti bersih dan sucinya seseorang secara lahir dan
bathin. Dalam kamus bahasa arab, thaharah berasal dari kata طهره ,
secara bahasa (etimologi) berarti membersikan dan mensucikan.[Kamus
Bahasa Arab (Jakarta: PT. Muhammad Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 241.]
Sedangkan menurut istilah (terminologi) bermakna menghilangkan hadas dan
najis.Thaharah berarti bersih dan terbebas dari kotoran atau noda, baik
yang bersifat hissi (terlihat), seperti najis (air seni atau lainnya),
atau yang bersifat maknawi, seperti aib atau maksiat. Sedangkan secara
istilah adalah menghilangkan hadats dan najis yang menghalangi
pelaksanaan shalat dengan menggunakan air atau yang lainnya.
Dengan demikian, thaharah adalah bersih
dan suci dari segala hadats dan najis, atau dengan kata lain
membersihkan dan mensucikan diri dari segala hadats dan najis yang dapat
menghalangi pelaksanakan ibadah seperti shalat atau ibadah lainnya.
D. Sifat Wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah ta'ala berfirman :
Sesuai dengan sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Abu Huroiroh:
Khilaf diantara para Ulama :
Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Daruqutni dari hadits Laqith bin Sopoh, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Dan setelah beristinsyaq hendaknya beristintsar (menghembuskan air yang ada di hidung)
5. Mencuci wajah
Dan juga hadits Anas:
Menyela-nyela jenggot ada dua hukum :
Dicuci dari ujung-ujung jari hingga ke siku Tangan kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru tangan kiri.
Apakah siku ikut dicuci atau tidak ?. Allah ta'ala berfirman :
Namun ada hadits yang lain yaitu hadits Abu Huroiroh
Namun ini tidaklah benar karena namanya perhiasan hanyalah dipakai di lengan bawah bukan di lengan atas.
Dari hadits ini bisa ada 2 kemungkinan :
Mengusap kedua telinga
Dan dalam mengusap kepala disertai dengan mengusap kedua telinga. Sesuai dengan hadits.
Yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :
Dan juga tambahan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :
Sebagian ulama menganggap tambahan ini dhoif karena idtirob sanadnya, namun yang benar tambahan ini adalah shohih menurut Syaikh Al-Albani (Tamamul Minnah hal 96).
Disunnahkan pula untuk berkata setelah wudlu :
Allah ta'ala berfirman :
يأيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا إذَا قُمْتْمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسلُوْا
وُجُوْهَكُمْ وَأَيْديَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا
بِرُؤُوْسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الِكَعْبَيْنِ
Wahai orang-orang yang beriman jika
kalian berdiri untuk (mendirikan) sholat maka cucilah wajah-wajah kalian
dan tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku dan basuhlah kepala-kepala
kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian hingga kedua mata kaki.
(Al-Maidah : 6)
Hadits Rosulllah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ
عَمْرٍو بْنِ يَحْيَى المَازِنِيِّ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : شَهِدْتُ
عَمْرَو بْنَ أَبِيْ الْحَسَنِ سَأَلَ عَبْدَ اللهِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ
وُضُوْءِ النَّبِيِّ ، فَدَعَا بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ فَتَوَضَّأَ لَهُمْ
وُضُوْءَ النَّبِيِّ . فَأَكْفَأَ عَلَى يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرِ فَغَسَلَ
يَدَيْهِ ثَلاَثًا، ثُمَّ أَدَْخَلَ يَدَهُ فِى التَّوْرِ فَمَضْمَضَ و
اسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا بثَلاَثِ غُرْفَاتٍ، ثُمَّ أَدَْخَلَ
يَدَهُ فِى التَّوْرِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، ثُمَّ أَدَْخَلَ
يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ أَدَْخَلَ
يَدَيْهِ فَمَسَحَ بِهِمَا رَأْسَهُ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ
مَرَّةً وَاحِدَةً، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ.
وَ
فِيْ رِوَايَةٍ : بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذهَبَ بِهِمَا إِلَي
قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ
مِنْهُ.
Dari Amr bin Yahya Al-Maziniyyi dari
bapaknya berkata : "Aku telah menyaksikan 'Amr bin Abil Hasan bertanya
kepada Abdullah bin Zaid tentang wudlunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka Abdullah bin Zaid meminta tempayan kecil yang berisikaan
air lalu dia berwdlu sebagaimana wudlunya Nabi. Maka beliau pun
memiringkan tempayan tersebut dan mengalirkan air kepada kedua tangannya
lalu mencuci kedua tangannya itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan
(satu) tangannya kedalam tempayan lalu berkumur-kumur dan beristinsyaq
(memasukkan air kedalam lubang hidung dengan menghirupnya-pent) dan
beristintsar (menghembuskan air yang ada dalam lubang hidung-pent) tiga
kali dengan tiga kali cidukan tangan. Kemudian beliau memasukkan (satu)
tangannya dalam tempayan lalu mencuci wajahnya tiga kali, kemudian
memasukkan kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya tersebut dua
kali hingga kedua sikunya. Kemudian beliau memasukkan kedua tangannya
dan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya itu (yaitu) membawa kedua
tangannya itu ke depan dan kebelakang satu kali. Kemudian mencuci kedua
kakinya.
Dalam riwayat yang lain : Beliau
memulai dengan (mengusap) bagian depan kepalanya hingga kebagian tengkuk
lalu mengembalikan kedua tangannya tersebut hingga kembali ke tempat
dimana beliau mulai (mengusap).
Dari ayat dan hadits di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa sifat wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah :
1. Berniat.
Sebagaimana telah dibahas bahwa niat
adalah tempatnya di hati dan melafalkan niat adalah bid'ah. Dan niat
adalah syarat wudlu (dan ini adalah pendapat jumhur ulama), sehingga
barang siapa yang berwudlu dengan niat bukan untuk bertaqorrub kepada
Allah ta'ala tetapi untuk mendinginkan badan atau untuk kebersihan maka
wudlunya tidak sah, karena Rosululah sholallohu'alaihi wasallam bersabda
"Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya". Namun Menurut
madzhab Hanafiyah, hukum niat ketika akan berthoharoh (termasuk juga
ketika akan wudlu) adalah hanya sunnah, sehingga seseorang berwudlu
tanpa niat bertaqorrub pun sudah sah wudlunya. Dan yang benar adalah
pendapat jumhur ulama. (Al-fiqh al-islami 1/225)
2. Membaca "Bismilah"Sesuai dengan sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Abu Huroiroh:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
"Tidak ada sholat bagi orang yang tidak
berwudlu dan tidak ada wudlu bagi orang yang tidak menyebutkan nama
Allah atasnya". (Hadits Hasan, berkata Syaikh Al-Albani : "…Hadits ini
memiliki syawahid yang banyak…", lihat irwaul golil no 81)
Hadits ini secara dhohir menunjukan
bahwa membaca "bismillah" adalah syarat sah wudlu. Namun yang benar
bahwa yang dinafikan dalam hadits di atas adalah kesempurnaan wudlu.
Terjadi khilaf diantara para ulama.
Imam Ahmad dan pengikutnya berpendapat akan wajibnya mengucapkan
"bismilah" ketika akan berwudlu Mereka berdalil dengan hadits ini
Sedangkan jumhur ulama (Imam Malik,
Imam Syafi'i, dan Imam Abu Hanifah, serta satu riwayat dari Imam Ahmad)
bahwa membaca "bismillah" ketika akan berwudlu hukumnya hanyalah
mustahab, tidak wajib. (Taudihul Ahkam 1/193). Dalil mereka :
- Perkataan Imam Ahmad sendiri : "Tidak ada satu haditspun yang tsabit dalam bab ini"
- Dan kebanyakan sahabat yang mensifatkan wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan "bismillah" (syarhul mumti' 1/130)
Syaikh Al-Albani berkata : "…Tidak ada
dalil yang mengharuskan keluar dari dhohir hadits ini (yaitu wajibnya
mengucapkan bismillah-pent) ke pendapat bahwa perintah pada hadits ini
hanyalah untuk mustahab. Telah tsabit (akan) wajibnya, dan ini adalah
pendapat Ad-Dzohiriyah, Ishaq, satu dari dua riwayat Imam Ahmad, dan
merupakan pendapat yang dipilih oleh Sidiq Hasan Khon, Syaukani, dan
inilah (pendapat) yang benar Insya Allah" (Tamamul Minnah hal 89)
Dan ada juga hadits yang lain yaitu :
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ : طَلَبَ بَعْضُ أَصْحَاب النَّبِيِّ وُضُوْءً فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ : هَلْ مَعَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مَاءٌ ؟ فَوَضَعَ يَدَهُ فِيْ
الْمَاءِ وَ يَقُوْلُ : تَوَضَّؤُوْا بِاسْمِ اللهِ, فَرَأَيْتُ الْمَاءَ
يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ حَتَّى تَوَضَّؤُوْا مِنْ عِنْدِ
آخِرِهِمْ . قَالَ ثَابِتٌ : قُلْتُ لأَنَسٍ : كَمْ تَرأهُمْ ؟ قَالَ :
نَحْوٌ مِنْ سَبْعِيْنَ
Dari Anas berkata : Sebagian sahabat
Nabi mencari air, maka Rosulullah berkata : “Apakah ada air pada salah
seorang dari kalian?”. Maka Nabi meletakkan tangannya ke dalam air
(tersebut) dan berkata :“Berwudlulah (dengan membaca) bismillah”.. Maka
aku melihat air keluar dari sela-sela jari-jari tangan beliau hingga
para sahabat seluruhnya berwudlu hingga yang paling akhir daari mereka.
Berkata Tsabit :”Aku bertanya kepada Anas, Berapa jumlah mereka yang
engkau lihat ?, Beliau berkata : Sekitar tujuh puluh orang”. (Hadits
riwayat Bukhori no 69 dan Muslim no 2279).
Hadits ini menunjukan akan wajibnya membaca bismillah karena Rosulullah menggunakan fiil amr (kata kerja perintah).
Kalau memang wajib, lantas bagaimana
jika seseorang lupa mengucapkannya ketika akan berwudlu dan dia baru
ingat di tengah dia berwudlu atau bagaimana jika dia baru ingat setelah
berwudlu. Jawabnya :
Jika dia ingat di tengah berwudlu, maka
dia tidak perlu mengulangi wudlunya tapi terus melanjutkan wudlunya
karena membaca "bismillah" bukan merupakan syarat wudlu. Dan jika dia
mengingatnya setelah selesai berwudlu maka wudlunya sah, karena Allah
tidak membebani apa yang tidak disanggupi oleh umatnya.
3. Mencuci tangan tiga kali hingga ke pergelangan tangan
Berkata Syaikh Ali Bassam :
"Disunnahkan mencuci dua tangan tiga kali hingga ke pergelangan tangan
sebelum memasukkan kedua tangan tersebut ke dalam air tempat wudlu, dan
ini merupakan sunnah menurut ijma'. Dan dalil bahwa mencuci kedua tangan
hanyalah sunnah bahwasanya tidaklah datang penyebutan mencuci kedua
tangan di dalam ayat-ayat (Al-Qur'an). Dan sekedar perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidaklah menunjukan akan wajib,
hanyalah menunjukan kemustahabannya. Dan ini adalah qoidah usuliah".
(Taudihul Ahkam 1/161).
4. Berkumur-kumur (tamadlmudl) dan beristinsyaq
Imam yang tiga (Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, dan Imam Syafi'i) dan Sufyan At-Tsauri dan yang lainnya
berpendapat tidak wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq tetapi hanya
sunnah. Dalil mereka yaitu hadits tentang عشر من سنن المرسلين (sepuluh
dari sunnah para nabi), diantaranya yaitu beristinsyaq. Dan sunnah
bukanlah wajib
Namun pendalilan ini sangat lemah. Yang
dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut adalah "toriqoh" bukan
sunnah menurut istilah fiqh (sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan
pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa), karena istilah ini adalah
istilah yang baru.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat akan
wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq, dan ini juga pendapat Ibnu Abi
Laila dan Ishaq. Dalil-dalil mereka :
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan keduanya dan tidak pernah meninggalkan keduanya, kalau memang hanya sunnah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan meninggalkan keduanya walau hanya sekali untuk menunjukkan akan bolehnya.
- Allah ta'ala berfirman (Dan cucilah wajah-wajah kalian), sedangkan mulut dan hidung termasuk wajah jadi termasuk dalam keumuman perintah Allah ta'ala.
- Adanya hadits-hadits yang menunjukan akan wajibnya. Diantaranya hadits Abu Huroiroh yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْشِقْ
"Barangsiapa yang berwudlu hendaklah dia beristinsyaq"Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Daruqutni dari hadits Laqith bin Sopoh, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ
"Jika engkau berwudlu maka berkumur-kumurlah" (Taudihul ahkam 1/173)Dan setelah beristinsyaq hendaknya beristintsar (menghembuskan air yang ada di hidung)
5. Mencuci wajah
Hukumnya adalah wajib. Dan definisi
wajah secara syar'i tidak dijelaskan oleh Syari'at oleh karena itu kita
kembalikan kepada maknanya secara bahasa. Wajah adalah apa yang
dengannya timbul muwajahah/muqobalah (saling berhadapan). Dan batasannya
adalah dari tempat biasanya tumbuh rambut kepala hingga ke ujung bawah
dagu (secara vertikal), dan dari telinga ke telinga (secara horizontal).
(Taudihul Ahkam 1/170)
Bagi yang punya jenggot ?
Hadits Rosulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ عُثْمَان t قّالَ : إِنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ فِيْ الْوُضُوْءِ
Dari
Utsman berkata : "Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyela-nyela jenggotnya ketika berwudlu. (Hadits shohih, riwayat
Tirmidzi)Dan juga hadits Anas:
أَنَّ
النَّبِيَّ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ
تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا أَمَرَنِيْ
رَبِّي عَزَّ وَ جَلَّ
Bahwasanya Nabi jika berwudlu beliau mengambil segenggam air (dengan
tangannya-pent) lalu beliau memasukkannya di bawah mulutnya kemudian
beliau menyela-nyela jenggot dengannya. Dan beliau berkata :"Demikianlah
Robku عَزَّ وَ جَلَّ memerintah aku". (Irwaul golil no 92)Menyela-nyela jenggot ada dua hukum :
- Jika jenggot tersebut tipis sehingga kelihatan kulit wajah (dagu), maka hukumnya wajib menyela-nyela jenggot hingga mencuci kulit wajah yang nampak tersebut dan juga mencuci pangkal jenggot.
- Jika jenggot tersebut tebal sehingga tidak nampak kulit wajah (dagu), maka hukum menyela-nyela janggut bagian dalam (pangkal jenggot) dan mencuci kulit wajah adalah sunnah tidak wajib. Karena termasuk hukum bagian dalam yang tersembunyi. Adapun bagian luar jenggot maka wajib dicuci karena dia merupakan perpanjangan wajah (Tadihul Ahkam 1/177 dan Syarhul Mumti' 1/140 )
Dicuci dari ujung-ujung jari hingga ke siku Tangan kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru tangan kiri.
Apakah siku ikut dicuci atau tidak ?. Allah ta'ala berfirman :
وَأَيْديَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
(Dan cucilah) tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku
Sebab إِلَى menurut para ahli nahwu bisa berarti akhir dari puncak, baik untuk waktu maupun tempat. Misalnya untuk waktu ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الليْلِ (Lalu sempurnakanlah puasa hingga malam) dan untuk tempat misalnya مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى (Dari masjidil Harom hingga ke masjidi Aqso).
Adapun yang datang setelah إِلَى maka
boleh masuk kepada yang sebelum إِلَى (sehingga ketika itu إِلَى
bermakna مَعَ sebagaimana firman Allah ta'ala وَلاَتَأْكُلُوْا
أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَلِكُمْ ) dan bisa juga tidak masuk kepada apa
yang sebelum إِلَى , dan ini semua diketahui dengan qorinah (indikasi)
(Taudihul Ahkam 1/160). Adapun dalam permasalahan ini yang benar
bahwasanya siku masuk dalam daerah cucian dengan adanya qorinah dari
hadits yang menunjukan akan hal itu. Diantaranya :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ إِذَا تَوَضَّأَ أَدَارَ الْمَاءَ عَلَى مِرْفَقَيْهِ
Dari Jabir berkata :"Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika
berwudlu, beliau memutar air ke kedua sikunya" (Diriwayatkan oleh
Darqutni dengan sanad yang dho'if) Tapi haditsnya dhoif (Taudihul Ahkam
1/191)Namun ada hadits yang lain yaitu hadits Abu Huroiroh
أَنَّ
أَبَا هُرَيْرَةَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ
العَضُدِ، وَرِجْلَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ :
هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ يَتَوَضَّأُ
Abu
Huroiroh berwudlu maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas
dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata :
"Demikianlah aku melihat Rosulullah berwudlu" (Hadits shohih riwayat
Muslim, Irwaul Golil no 94)
Apakah disunnahkan mencuci tangan hingga
ke lengan atas dan mencuci kaki hingga ke betis sebagaimana yang
dilakukan oleh Abu Huroiroh ?
Untuk masalah ini (memanjangkan daerah
wudlu hingga ke lengan atas dan betis demikian juga ke leher ketika
mencuci wajah) ada khilaf dikalangan para ulama. Jumhur ulama (Imam
Syafi'i dan Imam Abu Hanifah) berpendapat bahwa hal ini disunnahkan.
Imam Nawawi berkata : "Telah bersepakat para sahabat kami atas mencuci
apa yang di atas kedua siku dan kedua mata kaki" Namun mereka berbeda
pendapat tentang batasan panjangnya tersebut. Mereka berdalil dengan
hadits Abu Huroiroh t dalam riwayat yang lain :
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : سَمِعْت رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ
أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُهَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِ
الْوُضُوْءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غُرَّتَهُ
وَتَحْجِيْلَهُ فَلْيَفْعَلْ
Dari Abu Huroiroh t berkata : Aku
mendengar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya
wajah-wajah, tangan-tangan dan kaki- kaki mereka karena bekas wudlu,
maka barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan gurrohnya dan tahjilnya
maka lakukanlah" (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)
Sedangkan Imam Malik berpendapat tidak
disunnahkannya hal ini (memanjangkan wudlu melewati tempat yang
diwajibkan). Dan ini merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qoyyim dan juga dipilih oleh ulama sekarang seperti Syaikh
Adurrohman As-Sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan Syaikh
Al-Albani.
Dalil mereka (Taudihul Ahkam 1/182) :- Seluruh sahabat yang mensifatkan wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kecuali hanya sampai kedua siku dan kedua mata kaki
- Dalam ayat (Al-Maidah :6) tempat anggota wudlu hanya dibatasi pada siku dan dua mata kaki
Adapun perkataan :"Barang siapa yang
mampu untuk memanjangkan, dst…..", ini bukanlah perkataan Rosululah r
tetapi merupakan mudroj (tambahan perkataan) dari Abu Huroiroh t. Dalam
musnad Imam Ahmad, Nu'aim Al-Mujmiri perowi hadits ini berkata : "Aku
tidak tahu perkataan ("Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan
gurrohnya hendaklah dia melakukannya") merupakan perkataan Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perkataan Abu Huroiroh". Berkata
Ibnul Qoyyim :"Tambahan ini adalah mudroj dari perkataan Abu Huroiroh t
bukan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini telah
dijelaskan oleh banyak Hafiz". Bahkan dalam suatu hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim(no 250) dari Abi Hazim, beliau berkata :
"Aku dibelakang Abu Huroiroh t dan dia sedang berwudlu untuk sholat, dan
dia mencuci tangannya hingga ke ketiaknya. Maka aku berkata kepadanya
:"Wahai Abu Huroiroh, wudlu apa ini?", maka beliau berkata :"Wahai Bani
Farrukh, apakah engkau disini?, Kalau aku tahu engkau di sini maka aku
tidak akan berwudlu seperti ini. Aku telah mendengar kekasihku (yaitu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda : Panjangnya perhiasan
seorang mukmin tergantung panjangnya wudlu". Hadits ini jelas menunjukan
bahwa wudlu yang dilakukan oleh Abu Huroiroh t hanyalah ijtihad beliau t
saja.
- Kalau kita terima hadits ini, maka kita harus mencuci wajah hingga ke rambut. Dan ini tidak lagi disebut gurroh. Karena yang namanya gurroh hanyalah di wajah saja. (Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim dalam Irwaul Golil 1/133). Demikian juga kita harus mencuci tangan kita hingga ke lengan atas. Orang yang membolehkan hal ini berdalil dengan hadits Abu Huroiroh bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوُضُوْءُ
(Panjangnya) perhiasan seorang mukmin tergantung (panjang) wudlunya. (Riwayat Muslim)Namun ini tidaklah benar karena namanya perhiasan hanyalah dipakai di lengan bawah bukan di lengan atas.
7. Membasahi kedua tangan lalu membasuh kepala dan kedua telinga.
Caranya sebagaimana disebutkan dalam
hadits Abdullah bin Zaid. Dan cukup diusap tidak boleh dicuci. Barang
siapa yang mencucinya maka dia telah menyelisihi perintah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah mewajibkan kita untuk mengusap
bukan mencuci karena mencuci kepala bisa memberatkan kaum muslimin,
terutama ketika musim dingin. Selain itu jika kepala sering dalam
keadaan basah maka bisa menimbulkan penyakit. Dan perbedaan antara
mengusap dan mencuci yaitu mencuci membutuhkan aliran air sedangkan
mengusap tidak.(Syarhul Mumti' 1/150)
Dan disunnahkan mengusap kepala hanya
sekali, namun boleh terkadang juga tiga kali, sebagaimana telah shohih
dari Utsman t bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengusap kepalanya tiga kali. (Shohih Sunan Abu Dawud no 95, lihat
Tamamul Minnah hal 91).
Para ulama berselisih tentang wajibnya
mengusap seluruh kepala. Abu Hanifah dan As-Syafi'i berpendapat akan
bolehnya mengusap sebagian kepala, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah hanya mengusap ubun-ubun beliau ketika berwudlu. Selain
itu huruf ب yang terdapat dalam ayat (بِرُؤُوْسِكُمْ) bisa bermakna
"sebagian".
Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad akan
wajibnya mengusap seluruh kepala karena demikianlah yang ada dalam
hadits-hadits yang shohih dan hasan. Syaikhul Islam berkata : "Tidak
dinukil dari seorang sahabatpun bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mencukupkan membasuh sebagian kepala" Berkata Ibnul Qoyyim
;"Tidak ada sama sekali satu haditspun yang shohih bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencukupkan membasuh sebagian
kepala" (Taudihul Ahkam 1/169). Dan inilah pendapat yang rojih karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubunnya ketika dia
memakai sorban, sebagaimana dalam hadits:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ t أَنَّ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَ عَلَى الْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ
Dari Mugiroh bin Syu'bah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudlu' lalu beliau mengusap ubun-ubunnya dan atas sorbannya
dan kedua khufnya. (Riwayat Muslim)Dari hadits ini bisa ada 2 kemungkinan :
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hanya mengusap sorbannya dan pernah hanya mengusap kepalanya dimulai dari ubun-bunnya. (Taudihul Ahkam 1/187)
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubunnya lalu melanjutkan mengusap sorbannya. (Dan semua kemungkinan ini dibolehkan oleh Sidiq Hasan Khon dalam Ar-roudlotun Nadiah)
Dan dalam mengusap kepala disertai dengan mengusap kedua telinga. Sesuai dengan hadits.
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، فِيْ صِفَةِ الْوُضُوْءِ قَالَ : ثُمَّ
مَسَحَ بِرَأْسِهِ، وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَاحَتَيْنِ فِيْ
أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ
Dari Abdillah bin 'Amr tentang sifat
wudlu, berkata : "Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuknya kedalam kedua telinganya
dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan kedua ibu jarinya"
(Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i dan dishohihkan
oleh Ibnu Khuzaimah).(Taudihul Ahkam 1/166)
Dan juga hadits Ibnu Abbas :
أَنَّ النَّبِيَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ أُذُنَيْهِ ظَاهِرَُمَا وَ بَاطِنَهُمَا
"Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya
dan kedua telinganya baik bagian luar maupun yang bagian dalam" (Hadits
shohih, dishohihkan oleh Tirmidzi, Irwaul Golil no 90)
Dan ketika mengusapnya tidak perlu air
yang baru. Berkata Ibnul Qoyyim :"Tidak ada riwayat yang tsabit dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau mengambil air yang
baru untuk mengusap kedua telinganya". Sedangkan hadits yang
diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengambil air yang baru bukan dari air bekas mengusap kepalanya adalah
dlo'if. Yang shohih yaitu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa (untuk mencuci) kedua
tangannya. (Taudlihul Ahkam 1/180).
Hukum mengusap kedua telinga adalah wajib karena (Taudlihul Ahkam 1/168) :
- Termasuk dari keumuman perintah dalam ayat (وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ), dan telinga termasuk kepala (baik menurut bahasa, 'urf, mapun syar'i), sebagaimana hadits : الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ (kedua telinga itu termasuk kepala, lihat As-Shohihah no 36, dan pendapat akan sunnahnya (tidak wajib) timbul karena menganggap hadits ini lemah).
- Hikmah diusapnya telinga selain untuk sempurnanya kebersihan telinga baik yang luar maupun yang dalam, juga membersihkan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh telinga.
Mencuci kedua kaki hukumnya adalah
wajib, sesuai perintah Allah ta'ala وَأَرْجَلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
(…Dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki). Dan cara mencucinya yaitu
mencuci dari ujung-ujung jari kaki hingga (bersama) mata kaki
sebagaimana disebutkan dalam ayat. Dan ini telah disepakati oleh
Ahlus-Sunnah wal jama'ah. Berbeda halnya dengan Syi'ah. Mereka
beranggapan bahwa mengusap kaki sudahlah cukup dan tidak usah sampai ke
mata kaki tapi cukup ke punggung kaki. Dalil mereka yaitu :
- Adanya qiroat lain dalam ayat (وَأَرْجَلِكُمْ) yaitu dengan dikasrohkan huruf ل tidak di fathah sehingga atofnya kepada kepala bukan pada wajah. Ini menunjukkan bahwa hukum kaki sama dengan hukum kepala (sama-sama diusap).
- Ka'ab yang disebutkan dalam ayat datang dalam bentuk mutsanna (yang menunjukan dua), padahal jumlah ka'ab untuk dua kaki adalah empat. Sehingga makna ka'ab dalam ayat bukanlah mata kaki tetapi punggung kaki. (Syarhul mumti' 1/153)
Namun pendapat mereka ini adalah salah. Bantahannya :
- Qiro'ah yang tujuh adalah dengan memfathahkan huruf ل . Dan qiro'ah ini jelas menunjukan akan wajibnya. Adapun riwayat yang dikasrohkan ل, walaupun shohih namun tidak merubah hukum. Dan hal ini boleh dalam bahasa arab yaitu أَرْجُلِ dikasrohkan karena mujawaroh (bertetangga) dengan بِرُؤُوْسِ . Sebagaimana dalam firman Allah ta'ala dalam surat Hud ayat 26 (عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيْمٍ). أَلِيْمٍ merupakan sifat dari عَذَابَ tetapi dia majrur karena bertetangga dengan يَوْمٍ .(Syarhus Sunnah 1/430)
- Kalaupun qiro'ah yang dikasroh merubah hukum maka bisa dibawakan bagi hukum mengusap kaki ketika memakai khuf. (Syarhul mumti' 1/176)
- Kalau boleh membasuh kaki maka bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : تَخَلَّفَ عَنَّا رَسُوْلُ اللهِ فِيْ
سَفَرٍ سَفَرْنَاهُ، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ،
صَلاَةُ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى
أَرْجُلِنَا، فَنَادَاناَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ :" وَيْلُ لِلأَعْقَابِ مِنَ
النَّارِ"
Dari Abdullah bin Amr berkata :
"Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketinggalan dari kami dalam
suatu safar yang kami bersafar bersama beliau, lalu (setelah menyusul
kami-pent) beliau mendapati kami - (dan ketika itu) telah datang waktu
sholat yaitu sholat asar- kami sedang berwudlu, maka kami mengusap
kaki-kaki kami. Lalu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berteriak
kepada kami dengan suaranya yang keras :"Celakalah tumit-tumit (yang
tidak terkena air wudlu) dengan api" (Hadits shohih riwayat Bukhori dan
Muslim)
Kalau memang mengusap kaki boleh tentu tidak mengapa tumit tidak terkena air.- Mencuci kaki harus sampai mata kaki, sebagaimana dijelaskan oleh hadits Abu Huroiroh
أَنَّ
أَبَا هُرَيْرَةَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ
العَضُدِ، وَرِجْلَهُ حَتَّى أَشْرَعَ فِيْ السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ :
هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ يَتَوَضَّأُ
Abu Huroiroh berwudlu maka dia mencuci
tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci kakinya hingga naik
ke betisnya, lalu dia berkata : "Demikianlah aku melihat Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudlu" (Hadits shohih riwayat Muuslim,
irwaul golil no 94)
Dan tidak mungkin mencuci betis kecuali
juga mencuci mata kaki. Dan kalau cuma diusap sampai punggung kaki maka
tumit boleh tidak terkena air. Dan ini bertentangan dengan hadits
Abdullah bin Amr di atas.
Perlu diingat ketika mencuci kaki
disunnahkan untuk menyela jari-jari kaki dan juga jari-jari tangan
(Taudihul Ahkam 1/175), sebagaimana hadits :
عَنْ
لَقِيْط بْن صَبْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَسْبِغِ
الْوُضُوْءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِيْ
الإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
Dari Laqith bin Sopoh berkata :
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :"Sempurnahkanlah
wudlu dan sela-selalah jari-jari dan bersungguh-sungguhlah ketika
beristinsyaq kecuali engkau sedang berpuasa" (Hadits shohih, dishohihkan
oleh Ibnu Khuzaimah).
Adapun menyela jari-jari kaki dengan
jari tangan yang kelingking, maka ini hanyalah istihsan dari para ulama
dan tidak bisa dikatakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berkata Ibnul Qoyyim dalam zadul ma'ad :"…Dalam (kitab) sunan dari
Mustaurid bin Syadad berkata : "Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudlu dan dia menggosok jari-jari kakinya dengan jari tangan
kelingkingnya" Kalau riwayat ini benar [1]¨) maka sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melakukannya sekali-kali. Oleh
karena itu sifat seperti tidak diriwayatkan oleh para sahabat yang
memperhatikan wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Utsman,
Abdullah bin Zaid dan selain keduanya. Lagipula dalam riwayat tersebut
ada Abdullah bin Lahiah." (Syarhul Mumti' 1/143).
9. Membaca doa setelah wudlu
مَا
مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ :
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ, إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ
أبْوأبُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
"Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudlu lalu menyempurnakan wudlunya kemudian berkata :
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ
kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia
masuk dari pintu mana saja yang dia sukai". (Hadits riwayat Muslim,
irwaul golil no 96)Dan juga tambahan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :
أللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersih.Sebagian ulama menganggap tambahan ini dhoif karena idtirob sanadnya, namun yang benar tambahan ini adalah shohih menurut Syaikh Al-Albani (Tamamul Minnah hal 96).
Disunnahkan pula untuk berkata setelah wudlu :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلهَ إلاَّ أَنْتَ ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
(Dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri, lihat Irwaul golil 1/135 dan 2/94)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar