Selasa, 11 Februari 2014

Bacaan Sujud Tilawah dan Sujud Sahwi

Apa bacaannya pada saat sujud tilawah atau sujud sahwi?

Jawab:

Adapun sujud tilawah ada dua hadits yang menjelaskannya, tapi keduanya adalah hadits dho’if (lemah).

Satu : Hadits ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِيْ سُجُوْدِ الْقُرْآنِ بِالْلَيْلِ سَجَدَ وَجْهِيْ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعُهُ وَبََصَرُهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ

“Adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam beliau membaca dari sujud Al-Qur’an (sujud tilawah-pent.) pada malam hari : “Telah sujud wajahku kepada Yang Menciptakanku, maka beratlah pendengaran dan penglihatan karena kemampuan dan kekuatan-Nya”. Dan dalam riwayat Hakim ada tambahan : “Maka Maha Berkah Allah sebaik-baik pencipta”. Dan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah : “Beliau mengucapkannya tiga kali“.

sujudHadits ini diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahaway dalam Musnadnya 3/965 no.1679, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf 1/380 no.4372, Ahmad dalam Musnadnya 6/30, Tirmidzy 2/474 no.580 dan 5/456 no.3425, An-Nasai 2/222 no.1129 dan Al-Kubro 1/239 no.714, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashhabul Hadits no.82, 83, Ibnu Khuzaimah 1/382, Hakim 1/341-342, Ad-Daraquthny 1/406, Al-Baihaqy 2/325, Abu Syaikh Al-Ashbahany dalam Ath-Thobaqat 3/513 dan Ath-Thobarany dalam Al-Ausath 4/9 no.4376.

Semua meriwayatkan hadits ini dari jalan Khalid bin Mihran Al-Hadzdza` dari Abul’Aliyah dari’Aisyah.

Cacat yang menyebabkan hadits ini lemah adalah Khalid bin Mihran tidak mendengar dari Abul’Aliyah. Berkata Imam Ahmad : “Khalid tidak mendengar dari Abul’Aliyah“. Baca : Tahdzib At-Tahdzib dan Jami’ At-Tahshil karya Al- ˜Ala`i.

Dan Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya menegaskan bahwa sebenarnya antara Khalid dan Abul’Aliyah ada perantara yaitu seorang rowi mubham (seorang lelaki yang tidak disebut namanya-pen.).

Saya berkata : Apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Khuzaimah ini memang benar karena Khalid bin Mihran dari seluruh referensi yang disebutkan di atas ia meriwayatkan dari Abul’Aliyah dengan lafadz’An (dari) sehingga riwayat Khalid ini dianggap terputus dari Abul’Aliyah apabila telah terbukti ada riwayat lain menyebutkan ada perantara antara Khalid dengan Abul’Aliyah.

Dan ternyata ada riwayat dari jalan’Isma’il bin’Ulayyah dari Khalid bin Mihran dari seorang lelaki dari Abul’Aliyah dari’Aisyah -radhiyallahu’anha-.

Riwayat’Isma’il bin’Ulayyah ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 6/217, Abu Daud 2/60 no.1414, Ibnu Khuzaimah 1/283 dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 1/325 dan As-Sughro 1/509.

Maka bisa disimpulkan bahwa hadits’Aisyah ini adalah hadits yang lemah karena Khalid tidak mendengar dari Abul’Aliyah dan perantara antara keduanya adalah seorang rawi mubham. Karena itulah hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’y -rahimahullahu- dalam Ahadits Mu’allah Zhohiruha Ash-Shihhah hadits no. 395.
Kedua : Hadits Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-
قَرَأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ سَجَدَةً ثُمَّ سَجَدَ فَسَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِيْ بِهَا عِنْدَكَ أَجَرًا وَضَعْ عَنِّيْ بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِيْ عِنْدَكَ ذَخَرًا وَتَقَبَّلْهَا مِنِّيْ كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ

“Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam membaca satu ayat dari ayat-ayat sajadah lalu beliau sujud kemudian beliau membaca doa : “Wahai Allah tulislah untukku dengannya disisiMu sebagai pahala dan letakkanlah dariku dengannya dosa dan jadikanlah untukku disisiMu sebagai modal dan terimalah dariku sebagaimana Engkau menerima dari hambaMu (Nabi) Daud“.

Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzy 2/472 no.549 dan 5/455-456 no.3424, Ibnu Majah 1/334 no.1053, Ibnu Khuzaimah 1/282-283 no.572-573, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 6/473 no.2568 dan Al-Mawarid no.691, Al-Hakim 1/341, Al-Baihaqy 2/320, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashhabul hadits no.84, Ath-Thobarany 11/104 no.11262, Al-'Uqoily dalam Ad-Du’afa` 1/242-243, Al-Khalily dalam Al-Irsyad 1/353-354 dan Al-Mizzy dalam Tahdzib Al-Kamal 6/314.

Semuanya meriwayatkan dari jalan Muhammad bin Yazid bin Hunais dari Hasan bin Muhammad bin’Ubaidillah bin Abi Yazid berkata kepadaku Ibnu Juraij : “Wahai Hasan, kakekmu’Ubaidillah bin Abi Yazid mengabarkan kepadaku dari Ibnu’Abbas”.

Saya berkata : Dalam hadits ini ada dua cacat :

1. Muhammad bin Yazid bin Hunais. Abu Hatim berkomentar tentangnya : “Syaikhun sholihun (Seorang Syaikh yang sholeh)”. Dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqot maka rawi seperti ini tidak dipakai berhujjah kalau bersendirian karena itu Al-Hafidz menyimpulkan dari Taqrib At-Tahdzib : “Maqbul (diterima haditsnya kalau ada pendukungnya, kalau tidak ada pendukungnya ia adalah layyinul hadits (lembek haditsnya)”.

2. Hasan bin Muhammad bin’Ubaidillah. Adz-Dzahaby berkomentar tentangnya : “Berkata Al-‘Uqoily : “laa yutaba’u’alaihi (Ia tidak mempunyai pendukung)” dan berkata yang lainnya : “Padanya (Hasan bin Muhammad) ada Jahalah (tidak dikenal)”. Maka rawi ini juga tidak dipakai berhujjah kalau bersendirian.. Apalagi Imam At-Tirmidzy menganggap bahwa hadits ini adalah hadits ghorib. Dan istilah hadits ghorib menurut Imam At-Tirmidzy adalah hadits lemah. Wallahu A’lam.

Kesimpulan:

Tidak ada hadits yang shohih tentang doa sujud tilawah maka kalau seseorang membaca ayat dari ayat-ayat sajadah dalam sholat kemudian ia sujud maka ia membaca doa seperti yang ia baca dalam sujud sholat. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad sebagaimana dalam Al-Mughny 2/362 dan Masail Imam Ahmad riwayat Ibnu Hany 1/98.

Adapun kalau sujud tilawahnya di luar sholat maka tidak ada syariat membaca doa apapun. Wallahu A’lam.

Adapun doa sujud sahwi kami tidak mengetahui ada doa yang khusus pada sujud sahwi tersebut mungkin karena itu Imam Ibnu Qudamah berkata bahwa yang dibaca dalam sujud sahwi adalah sama dengan apa yang dibaca pada sujud sholat.
Baca SelengkapnyaBacaan Sujud Tilawah dan Sujud Sahwi

Sunnah-Sunnah Ketika Berbuka Puasa

Kurma-RuthabKetika berbuka puasa sebenarnya terdapat berbagai amalan yang membawa kebaikan dan keberkahan. Namun seringkali kita melalaikannya, lebih disibukkan dengan hal lainnya. Hal yang utama yang sering dilupakan adalah do'a. Secara lebih lengkapnya, mari kita lihat tulisan berikut seputar sunnah-sunnah ketika berbuka puasa:
Pertama: Menyegerakan berbuka puasa.
Yang dimaksud menyegerakan berbuka puasa, bukan berarti kita berbuka sebelum waktunya. Namun yang dimaksud adalah ketika matahari telah tenggelam atau ditandai dengan dikumandangkannya adzan Maghrib, maka segeralah berbuka. Dan tidak perlu sampai selesai adzan atau selesai shalat Maghrib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098)
Dalam hadits yang lain disebutkan,
لَا تَزَالُ أُمَّتِى عَلَى سُنَّتِى مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُجُوْمَ
Umatku akan senantiasa berada di atas sunnahku (ajaranku) selama tidak menunggu munculnya bintang untuk berbuka puasa.” (HR. Ibnu Hibban 8/277 dan Ibnu Khuzaimah 3/275, sanad shahih). Inilah yang ditiru oleh Rafidhah (Syi’ah), mereka meniru Yahudi dan Nashrani dalam berbuka puasa. Mereka baru berbuka ketika munculnya bintang. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan mereka. (Lihat Shifat Shoum Nabi, 63)
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum menunaikan shalat Maghrib dan bukanlah menunggu hingga shalat Maghrib selesai dikerjakan. Inilah contoh dan akhlaq dari suri tauladan kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada rothb, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.” (HR. Abu Daud no. 2356 dan Ahmad 3/164, hasan shahih)
Kedua: Berbuka dengan rothb, tamr atau seteguk air.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik di atas, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menyukai berbuka dengan rothb (kurma basah) karena rothb amat enak dinikmati. Namun kita jarang menemukan rothb di negeri kita karena kurma yang sudah sampai ke negeri kita kebanyakan adalah kurma kering (tamr). Jika tidak ada rothb, barulah kita mencari tamr (kurma kering). Jika tidak ada kedua kurma tersebut, maka bisa beralih ke makanan yang manis-manis sebagai pengganti. Kata ulama Syafi'iyah, ketika puasa penglihatan kita biasa berkurang, kurma itulah sebagai pemulihnya dan makanan manis itu semakna dengannya (Kifayatul Akhyar, 289). Jika tidak ada lagi, maka berbukalah dengan seteguk air. Inilah yang diisyaratkan dalam hadits Anas di atas.
Ketiga: Sebelum makan berbuka, ucapkanlah 'bismillah' agar tambah barokah.
Inilah yang dituntunkan dalam Islam agar makan kita menjadi barokah, artinya menuai kebaikan yang banyak.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
"Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta'ala (yaitu membaca 'bismillah'). Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta'ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”." (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858, hasan shahih)
Dari Wahsyi bin Harb dari ayahnya dari kakeknya bahwa para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ. قَالَ « فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ ». قَالُوا نَعَمْ. قَالَ « فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ »
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang?" Beliau bersabda: "Kemungkinan kalian makan sendiri-sendiri." Mereka menjawab, "Ya." Beliau bersabda: "Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya." (HR. Abu Daud no. 3764, hasan). Hadits ini menunjukkan bahwa agar makan penuh keberkahan, maka ucapkanlah bismilah serta keberkahan bisa bertambah dengan makan berjama'ah (bersama-sama).
Keempat: Berdo'a ketika berbuka "Dzahabazh zhoma-u ..."
Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ».
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika telah berbuka mengucapkan: 'Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)'." (HR. Abu Daud no. 2357, hasan). Do'a ini bukan berarti dibaca sebelum berbuka dan bukan berarti puasa itu baru batal ketika membaca do'a di atas. Ketika ingin makan, tetap membaca 'bismillah' sebagaimana dituntunkan dalam penjelasan sebelumnya. Ketika berbuka, mulailah dengan membaca 'bismillah', lalu santaplah beberapa kurma, kemudian ucapkan do'a di atas 'dzahabazh zhoma-u ...'. Karena do'a di atas sebagaimana makna tekstual dari "إِذَا أَفْطَرَ ", berarti ketika setelah berbuka.
Catatan: Adapun do’a berbuka, “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka)” Do’a ini berasal dari hadits hadits dho’if (lemah).  Begitu pula do’a berbuka, “Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka), Mula ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan “wa bika aamantu” adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih. Sehingga cukup do’a shahih yang kami sebutkan di atas (dzahabazh zhomau …) yang hendaknya jadi pegangan dalam amalan.
Kelima: Berdo'a secara umum ketika berbuka.
Ketika berbuka adalah waktu mustajabnya do'a. Jadi janganlah seorang muslim melewatkannya. Manfaatkan moment tersebut untuk berdo'a kepada Allah untuk urusan dunia dan akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terzholimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16/396, shahih). Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7: 194).
Keenam: Memberi makan berbuka.
Jika kita diberi kelebihan rizki oleh Allah, manfaatkan waktu Ramadhan untuk banyak-banyak berderma, di antaranya adalah dengan memberi makan berbuka karena pahalanya yang amat besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5/192, hasan shahih)
Ketujuh: Mendoakan orang yang beri makan berbuka.
Ketika ada yang memberi kebaikan kepada kita, maka balaslah semisal ketika diberi makan berbuka. Jika kita tidak mampu membalas kebaikannya dengan memberi yang semisal, maka doakanlah ia.  Dari 'Abdullah bin 'Umar, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
"Barangsiapa yang memberi kebaikan untukmu, maka balaslah. Jika engkau tidak dapati sesuatu untuk membalas kebaikannya, maka do'akanlah ia sampai engkau yakin engkau telah membalas kebaikannya." (HR. Abu Daud no. 1672 dan Ibnu Hibban 8/199, shahih)
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dan mengucapkan,
اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِى
“Allahumma ath’im man ath’amanii wa asqi man asqoonii” [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku]" (HR. Muslim no. 2055)
Kedelapan: Ketika berbuka puasa di rumah orang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disuguhkan makanan oleh Sa’ad bin ‘Ubadah, beliau mengucapkan,
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ
Afthoro ‘indakumush shoo-imuuna wa akala tho’amakumul abroor wa shollat ‘alaikumul malaa-ikah [Orang-orang yang berpuasa berbuka di tempat kalian, orang-orang yang baik menyantap makanan kalian dan malaikat pun mendo’akan agar kalian mendapat rahmat].” (HR. Abu Daud no. 3854 dan Ibnu Majah no. 1747 dan Ahmad 3/118, shahih)
Kesembilan: Ketika menikmati susu saat berbuka.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَطْعَمَهُ اللَّهُ الطَّعَامَ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيهِ وَأَطْعِمْنَا خَيْرًا مِنْهُ. وَمَنْ سَقَاهُ اللَّهُ لَبَنًا فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيهِ وَزِدْنَا مِنْهُ
"Barang siapa yang Allah beri makan hendaknya ia berdoa: “Allaahumma baarik lanaa fiihi wa ath'imnaa khoiron minhu” (Ya Allah, berkahilah kami padanya dan berilah kami makan yang lebih baik darinya). Barang siapa yang Allah beri minum susu maka hendaknya ia berdoa: “Allaahumma baarik lanaa fiihi wa zidnaa minhu” (Ya Allah, berkahilah kami padanya dan tambahkanlah darinya). Rasulullah shallallahu wa 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada sesuatu yang bisa menggantikan makan dan minum selain susu." (HR. Tirmidzi no. 3455, Abu Daud no. 3730, Ibnu Majah no. 3322, hasan)
Kesepuluh: Minum dengan tiga nafas dan membaca 'bismillah'.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كان يشرب في ثلاثة أنفاس إذا أدنى الإناء إلى فيه سمى الله تعالى وإذا أخره حمد الله تعالى يفعل ذلك ثلاث مرات
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa minum dengan tiga nafas. Jika wadah minuman didekati ke mulut beliau, beliau menyebut nama Allah Ta’ala. Jika selesai satu nafas, beliau bertahmid (memuji) Allah Ta’ala. Beliau lakukan seperti ini tiga kali.” (Shahih, As Silsilah Ash Shohihah no. 1277)
Kesebelas: Berdoa sesudah makan.
Di antara do’a yang shahih yang dapat diamalkan dan memiliki keutamaan luar biasa adalah do’a yang diajarkan dalam hadits berikut. Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ. غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath'amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghairi haulin minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu." (HR. Tirmidzi no. 3458, hasan)
Namun jika mencukupkan dengan ucapan “alhamdulillah” setelah makan juga dibolehkan berdasarkan hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
Sesungguhnya Allah Ta'ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum” (HR. Muslim no. 2734) An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang mencukupkan dengan bacaan “alhamdulillah” saja, maka itu sudah dikatakan menjalankan sunnah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17: 51)
Demikian beberapa amalan ketika berbuka puasa. Moga yang sederhana ini bisa kita amalkan. Dan moga bulan Ramadhan kita penuh dengan kebaikan dan keberkahan. Wallahu waliyyut taufiq.
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.
Baca SelengkapnyaSunnah-Sunnah Ketika Berbuka Puasa

Posisi Duduk dalam Sholat

duduk
Pendapat Pertama: Duduk Dalam sholat Adalah Mutlak Iftirasy, Baik Duduk Diantara Dua Sujud, Tasyahud Awal, Maupun Tasyahud Akhir
Yaitu pendapat Imam Hanafi dan yang sepaham dengannya, bahwa duduk dalam sholat adalah mutlak iftirasy, baik duduk di antara dua sujud, tasyahud awal, maupun tasyahud akhir
Pendapatnya ini berdalil dengan beberapa hadits, diantaranya yaitu:
Perkataan Aisyah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
”Beliau Rasulullah mengucapkan tahiyyat pada setiap dua rekaat/rekaat kedua, saat itu beliau hamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” (Shahih Muslim no. 498).
Perkataan Wail bin Hujr:
”Aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat; beliau hamparkan telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki kanannya.” (Ibnu Khuzaimah no.691, Al-Baihaqi no.72, Ahmad no.316), Al-Thabrani no.33). Dalam riwayat Tirmidzi dengan lafal: ”Tatkala duduk tasyahud beliau hamparkan kaki kirinya dan tangan kirinya diletakan pada pahanya sementara itu kaki kanannya ditegakkannya.” (Sunan Tirmidzi no.292).
Hadit-hadits tersebut, dan hadits lain yang senada, menunjukkan disebutkannya duduk iftirasy baik waktu tasyahud maupun bukan.
Pendapat Kedua: Duduk Dalam Shalat Adalah Tawaruk, Baik Pada Tasyahud Awal, Atau Akhir, Maupun Diantara Dua Sujud
Adalah pendapat Imam Malik, dan yang sepaham dengannya, bahwa duduk dalam shalat adalah tawaruk, baik pada tasyahud awal, atau akhir, maupun di antara dua sujud
Pandangan ini dibangun di atas hadits-hadits berikut:
Perkataan Abdullah Ibnu Umar :
”Bahwasanya sunnah shalat (ketika duduk) adalah engkau tegakkan telapak kaki kananmu dan melipat yang kiri!” (Shahih al-Bukhari no.793, bersama Fatul Bari).
Perkataan Abdullah Ibnu Mas’ud :
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan tasyahud kepadaku dipertengahan shalat dan di akhirnya.”
Katanya lagi,
”Beliau mengucapkan (tasyahud tersebut) jika duduk di pertengahan shalat dan di akhirnya di atas warik (bagian atas paha/pantat)-nya yang kiri…” (Musnad Ahmad 4369)
Hadits-haduts tersebut menyebutkan adanya duduk tawaruk dalam shalat, baik di tengah maupun akhirnya.
Mereka juga mendasarkan pada kiyas, bahwa perbuatan tersebut adalah diulang-ulang dalam shalat, maka sesuatu yang diulang-ulang dalam shalat mestinya mempunyai satu sifat/bentuk. Seperti halnya berdiri dan sujud. (Syarh Muwatha, oleh Qadhi Abul Walid Sulaiman al-Naji)
Pendapat Ketiga: Duduk Akhir Didalam Shalat Yang Memiliki Satu Tasyahud, Yakni Duduk Iftirasy dan Jika Memiliki Dua Tasyahud, Tasyahud Awal Dengan Iftirasy dan Yang Akhir Dengan Tawaruk
Pendapat Imam Ahmad dan yang sepaham. bahwa shalat yang memiliki satu tasyahud dengan yang memiliki dua tasyahud cara duduknya berbeda. Shalat yang memiliki satu tasyahud, duduk akhirnya sama dengan cara duduk di antara dua sujud, yakni iftirasy. Sementara bila shalatnya memiliki dua tasyahud, maka tasyahud awal dengan cara iftirasy, sedangkan yang kedua dengan cara tawaruk. Ini merupakan pendapat yang masyur dari Imam Ahmad. (Fathul Bari, Ibnu Rajab al-Hambali V/164).
Pendapat Hambali. ”Tidak boleh duduk tawaruk kecuali dalam shalat yang mempunyai dua tasyahud, duduk tawaruk dilakukan pada tasyahud yang akhir.” (Zadul Mustaqni’ Ahmad bin Hambal)
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengisahkan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat dengan takbir dan membaca dengan ‘alhamdulillahi rabbil ‘alamin’. Bila beliau rukuk, beliau tidak menegakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya, namun antara keduanya. Bila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau tidak langsung sujud hingga tegak lurus. Apabila beliau bangun dari sujud, beliau tidak langsung sujud lagi hingga duduk sempurna. Serta tiap dua rekaat, beliau mengucapkan tahiyat dan duduk iftirasy.” (HR. Muslim)
Jadi pendapat yang rajih (kuat), wallahu a’lam bish shawab, adalah tahiyat akhir untuk sholat yang memiliki satu tasyahud dilakukan dengan iftirasy.
Pendapat Keempat: Duduk Yang Bukan Duduk Akhir Adalah Iftirasy, Sedangkan Duduk Yang Dilakukan Pada Tasyahud Akhir Dengan Tawaruk
Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa duduk yang bukan duduk akhir adalah iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahud akhir dengan tawaruk. Tidak dibedakan antara shalat yang memiliki dua tasyahud ataupun satu tasyahud.
Syafi’i berpandangan bahwa asal duduk dalam shalat adalah tawaruk. Dikecualikan sebagaimana perkataan Muzani bahwa Syafi’i berkata, ”Duduk pada rekaat kedua di atas kanannya.” (Al-Hawi al-Kabir hal.171).
Ibnu Rusyd mengambarkan pandangan syafi’i, ”Pada tasyahud awal mereka mengikuti madzab Hambali sementara pada tasyahud akhir mengikuti madzab Maliki.” (Bidayatul Mujtahid hal.261).
Hadits dari Muhammad bin Amr bin Ath’.
Ia pernah duduk bersama sepuluh orang sahabat. Kami membincangkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba Abu Humaid al-Sa’idi berkata, ”Dibanding kalian aku lebih hafal tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aku pernah melihat beliau apabila bertakbir dijadikannya kedua tangannya berhadapan dengan kedua pundaknya. Apabila rukuk, beliau letakkan kedua tangannya di kedua lututnya, kemudian beliau meluruskan punggungnya. Bila mengangkat kepalanya (dari ruku), beliau berdiri lurus (i’tidal) sehingga kembali setiap tulang belakang ke tempatnya. Kemudian apabila sujud, beliau letakkan kedua tangannya tanpa menghamparkan maupun menggenggam, sementara ujung-ujung jarinya kedua kakinya dihadapkan ke kiblat. Apabila duduk pada dua rekaat (rekaat kedua), beliau duduk di atas (hamparan) kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). Sementara apabila duduk pada rekaat akhir, beliau majukan kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk di tempatnya (di lantai alias duduk tawaruk).” (Shahih al-Bukhari no.828).
Hadits tersebut ada yang menggunakan lafal lain :
Dalam riwayat Abdul Fadhi Abdul Hamid bin Ja’far al-Anshari al-Ausi disebutkan,
”Hingga pada saat sajdah yang diikuti dengan salam”.
Sementara pada riwayat Ibnu Hibban,
”(Pada rekaat) yang menjadi penutup shalat beliau mengeluarkan kaki kiri dan duduk dengan tawaruk pada sisi kirinya.” (Fathul Bari II/360).
Sementara itu dalam Shahih Ibni Khuzaimah (I/587). Sunan al-Tirmidzi no.304, dan Musnad Ahmad no.23088 hadits tersebut dicatat dengan redaksi:
“Hingga rekaat yang padanya selesailah shalat.”
Lain lagi dalam Sunan al-Nasai no.1262,
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika pada dua rekaat yang padanya berakhirlah shalat.”
Kiranya menurut pendapat keempat ini, yaitu mereka berpandangan bahwa duduk yang bukan duduk akhir adalah iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahud akhir dengan tawaruk. Tidak dibedakan antara shalat yang memiliki dua tasyahud ataupun satu tasyahud. Kesimpulan ini juga pernah diajukan oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat setelah melakukan penelitian yang cukup dalam dan lama. Sebelumnya hal ini sudah ditegaskan oleh Abul Ula Mubarakfuri, ”…Pendapat yang menjadi pandangan Imam Syafi’i dan yang sepaham mempunyai nash yang jelas dan tegas. Inilah madzhab yang kuat.” (Tuhfatul Ahwadzi II/155).
Berbeda dengan pendapat dari pihak yang condong kepada pandangan Hambali. Bahwa menurut mereka, hadits Abu Humaid di atas khusus untuk shalat yang mempunyai dua tasyahud seperti shalat yang empat atau yang tiga rekaat, karena susunan haditsnya memang menunjukkan seperti itu. Susunan ini secara tekstual mengkhususkan bahwa duduk tawaruk hanya ada pada tasyahud yang kedua.
Jawabannya: Sebenarnya yang dipersoalkan adalah shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan masalah empat rekaatnya. Kita coba urutkan hadits Abu Humaid di muka:
Pertama: Berkata Muhammad bin Amr bin Atha’, ”Kami memperbincangkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Ini menunjukkan bahwa para sahabat sebanyak sepuluh orang bersama Muhammad bin Amr bin Atha’ tengah membahas sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Berkata Abu Humaid al-Sa’di mengatakan secara umum kepada sahabat-sahabat lainnya bahwa dia paling tahu tentang sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menjelaskan tanpa ,mengkhusukan shalat yang 2, 3, atau 4 rekaat.
Ketiga: Di antara al-Sa’idi ialah: mengangkat kedua tangan, rukuk, i’tidal, dan sujud. Apakah semua sifat shalat tersebut khusus untuk shalat yang empat rekaat?
Kemudian hadits Abdullah bin Mas’ud yang dicatat oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihahnya no.670 memperkuat hadits Abu Humaid tersebut.
Dipertegas dan diperkuat dengan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ”Jika engkau duduk di pertengahan shalat bersikaplah tentang (thuma’ninah) dan hamparkan paha kirimu (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahud.” (Sunan Abu Dawud no.802, menurut Al-Albani sanadnya hasan, dalam Ashlu Shafatis Shalah, Al-Albani: III/831-832).
Abu Humaid membedakan antara duduk di akhir shalat dengan duduk yang bukan di akhiri shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafal ”Jika duduk pada rekaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy)”. Lafal ini menunjukan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat, bukan akhir shalat. Yang dimaksud ”arrak’atain” bukan ”dua rekaat”, tetapi ”rekaat yang bukan akhir shalat” alias rekaat kedua. Jadi hadits ini menjelaskan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat. Sedangkan lafal hadits Abu Humaid ”dan jika beliau duduk pada rekaat terakhir”, dengan berbagai lafalnya merupakan nash yang bersifat manthuq sharih (penunjukan lafal yang sesuai pada ucapannya); hal ini lebih didahulukan daripada mafhum. Hadits Aisyah, Ibnu Hujr, Ibnu Zubair tentang duduk iftirasy adalah umum sebagaimana hadits Ibnu Umar tentang tawaruk; tidak disebutkan apakah pada pertengahan shalat ataukah diakhirnya. Karena itu hadits yang umum (mutlak) tersebut dibawa kepada yang muqattad (mengikat khusus), pada hadits Abu Humaid dimuka.
Perlu diingat pula bahwa shalat yang dimaksud satu tidak hanya yang dua rekaat, dalam shalat witir ada satu, tiga rekaat. Ada juga empat rekaat dan lima rekaat dengan satu tasyahud. Apakah kiranya ada hadits yang menjelaskan tentang duduk selain dua re kaat? Pemahaman Imam Syafi’i di muka memecahkan masalah ini. Tetapi ada yang menarik dari ungkapan Imam Nawawi, dari madzhab Syafi’i, ”Seandainya seorang ketika pada posisi duduk, kapanpun, dengan iftirasy, tawaruk, bersila, iq’a, atau bahkan selonjor tetaplah sah shalatnya meskipun itu menyelisihi.” (Syarh Shahih Muslim, hal.438). Wallahu a’lam.
Baca SelengkapnyaPosisi Duduk dalam Sholat

Rabu, 05 Februari 2014

Do'a-do'a dari Al-Qur'an

bismillahirrahmanirrahim

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
1. Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Al-A'raf: 23)
رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلاَّ تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن مِّنَ الْخَاسِرِينَ
2. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS: Hud: 47)
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِناً وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
3. Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. (QS. Nuh: 28)
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ. رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
4. Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 127-128)
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء
5. Ya Rabbi, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do'aku. (QS. Ibrahim: 40)
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
6. Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (QS. Ibrahim: 41)
رَبِّ هَبْ لِي حُكْماً وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ. وَاجْعَل لِّي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ. وَاجْعَلْنِي مِن وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ. وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ.
7. Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh keni'matan, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (QS. Asy-Syu'ara: 83-85 dan 87)
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
8. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Ash-Shaffat: 100)
رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
9. Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. (QS. Al-Mumtahanah: 4)
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
10. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Mumtahanah: 5)
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
11. Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni'mat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai. dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh. (QS. An-Naml: 19)
رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاء
12. Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a. (QS. Ali 'Imran: 38)
رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْداً وَأَنتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
13. Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. (QS. Al-Anbiya': 89)
لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
14. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. (QS. Al-Anbiya': 87)
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي. وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي. وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي. يَفْقَهُوا قَوْلِي
15. Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku. (QS. Thaha: 25-28)
رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي
16. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku. (QS. Al-Qashash: 16)
رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنزَلَتْ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
17. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah). (QS. Ali 'Imran: 53)
رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ. وَنَجِّنَا بِرَحْمَتِكَ مِنَ الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ.
18. Ya Tuhan kami. janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang'zalim, dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari (tipu daya) orang-orang yang kafir. (QS. Yunus: 85-86)
ربَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
19. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. (QS. Ali 'Imran: 147)
رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَداً
20. "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." (QS: Al-Kahfi: 10)
رَّبِّ زِدْنِي عِلْماً
21. Ya Tuhanku, tambahkan ilmu kepadaku. (QS. Thaha: 114)
رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ. وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَن يَحْضُرُونِ.
22. Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku. (QS. Al-Mu'minun: 97-98)
رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
23. Ya Tuhanku berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik. (QS. Al-Mu'minun: 118)
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
24. Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Al-Baqarah: 201)
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
25. Kami dengar dan kami ta'at "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali. (QS. Al-Baqarah: 285)
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ
وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
26. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami. ampunilah kami. dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. (QS. Al-Baqarah: 286)
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
27. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau. karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia). (Ali 'Imran: 8)
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا إِنَّكَ مَن تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ.
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ.
رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدتَّنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلاَ تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيعَادَ.
28. Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji. (QS. Ali 'Imran: 191-194)
رَبَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
29. Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik. (QS. Al-Mu'minun: 109)
رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَاماً. إِنَّهَا سَاءتْ مُسْتَقَرّاً وَمُقَاماً.
30. Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (QS. Al-Furqan: 65-66)
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً
31. Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqan: 74)
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
32. Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim). (QS. Al-Ahqaf: 15)
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
33. Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hasyr: 10)
رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
34. Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. At-Tahrim: 8)
رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
35. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali 'Imran: 16)
رَبَّنَا آمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
36. Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur'an dan kenabian Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam). (QS. Al-Mai'dah: 83)
رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
37. Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (QS. Ibrahim: 35)
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
38. Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku. (QS. Al-Qashash: 24)
رَبِّ انصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ
39. Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu. (QS. Al-'Ankabut: 30)
رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
40. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang zalim itu. (QS. Al-A'raf: 47)
حَسْبِيَ اللّهُ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
41. Cukuplah Allah bagiku. tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung. (QS. At-Taubah: 129)
عَسَى رَبِّي أَن يَهْدِيَنِي سَوَاء السَّبِيلِ
42. Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar. (QS. Al-Qashash: 22)
رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
43. Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu. (QS. Al-Qashash: 21)


Disadur dari: Buku karya Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani berjudul Sembuh dan Sehat cara Nabi صلي الله عليه وسلم
Baca SelengkapnyaDo'a-do'a dari Al-Qur'an

Keutamaan Wudlu

sifat-wudhu-nabiTerkait dengan pelaksanaan ibadah, hal sangat mendasar yang paling utama harus diperhatikan dan patut diketahui dan dilaksanakan ialah kebersihan dan kesucian seseorang dalam melaksanakan ibadah, terutama dalam melaksanakan ibadah salat. Anjuran tentang pentingnya pemeliharaan kebersihan dan kesucian banyak terdapat dalam ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw. yang di arahkan bagi kebahagiaan hidup.
Disebutkan dalam hadits ke-25 Riyadhush Shalihin
    وعن أبي مالك الحارث بن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم “الطهورشطر الإيمان, والحمد لله تملأ الميزان, وسبحان الله والحمد لله تملأن أو تملأ ما بين السموات والأرض, والصلاة نور, والصدقة برهان, والصبرضياء, والقران حجة لك أو عليك. كل الناس يغدو فبائع نفسه, فمعتقها أوموبقها”   – رواه مسلم
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari (semoga Allah meridhainya) berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Kesucian adalah setengah daripada iman, dan (ucapan) ‘Alhamdulillah’ (Segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan, dan (ucapan) ‘Subhanallahu wa Alhamdulillah’ (Maha Suci Allah dan Segala Puji bagi Allah) memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi, dan Shalat adalah cahaya, dan Sedekah adalah bukti, dan Kesabaran adalah Pelita, dan Al Qur’an akan menjadi hujjah (argumen) yang membelamu atau yang menuntutmu. Setiap manusia keluar di pagi hari untuk menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya dan ada yang membinasakan dirinya” – Riwayat Muslim
Kesucian adalah sebagian dari Iman. Kata ‘Ath-Thuhur‘ berarti kesucian manusia, dan ‘Syathru al-iman‘ berarti setengah (sebagian) dari iman. Karena keimanan adalah membersihkan dan menghiasai, yaitu membersihkan dari kesyirikan. Hendaknya manusia bersuci secara jasmani, yaitu dari segala bentuk najis, dan secara ruhani, yaitu dari segala bentuk keburukan. Maka dari itu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjadikan kesucian setengah dari iman.
Redaksi ‘Kesucian adalah sebagian dari Iman’ adalah redaksi yang shahih dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan ungkapan ‘Kebersihan adalah bagian dari Iman’ bukanlah hadits yang sah
Thaharah merupakan ciri terpenting dalam Islam yang berarti bersih dan sucinya seseorang secara lahir dan bathin. Dalam kamus bahasa arab, thaharah berasal dari kata طهره , secara bahasa (etimologi) berarti membersikan dan mensucikan.[Kamus Bahasa Arab (Jakarta: PT. Muhammad Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 241.] Sedangkan menurut istilah (terminologi) bermakna menghilangkan hadas dan najis.Thaharah berarti bersih dan terbebas dari kotoran atau noda, baik yang bersifat hissi (terlihat), seperti najis (air seni atau lainnya), atau yang bersifat maknawi, seperti aib atau maksiat. Sedangkan secara istilah adalah menghilangkan hadats dan najis yang menghalangi pelaksanaan shalat dengan menggunakan air atau yang lainnya.
Dengan demikian, thaharah adalah bersih dan suci dari segala hadats dan najis, atau dengan kata lain membersihkan dan mensucikan diri dari segala hadats dan najis yang dapat menghalangi pelaksanakan ibadah seperti shalat atau ibadah lainnya.
A. Keutamaan Wudlu

1. Allah ta'ala mencintai orang-orang yang bersih, sebagaimana firman Allah :
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Seungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersih (Al-Baqoroh :222)
2. Sesungguhnya gurrah dan tahjil (cahaya akibat wudlu yang nampak pada wajah, kaki, dan tangan) merupakan alamat khusus ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُهَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوْءِ
“Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajah-wajah, tangan-tangan dan kaki- kaki mereka karena bekas wudlu” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
3. Wudlu dapat menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ, خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ, حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتَ أَظْفَارِهِ
"Barang siapa yang berwudlu lalu membaguskannya, maka akan keluar kesalahan-kesalahannya dari badannya bahkan sampai keluar dari bawah kuku-kukunya". (Hadits riwayat Muslim no 245)
 4. Wudlu bisa mengangkat derajat, sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَلآ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُوْ اللهُ بِهِ الْخَطَايَا, وَيَرْفَغُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوْا : بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : إِسْبَاغُ الْوُضُوْءَ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةَ بَعْدَ الصَّلاَةِ...
 “Maukah aku tunjukan kepada kalian sesuatu yang dengannya Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat-derajat?” Para sahabat menjawab : “Tentu, Ya Rosulullah”, Beliau berkata : “Sempurnakanlah wudlu pada saat keadaan-keadaan yang dibenci (misalnya pada waktu musim dingin-pent) dan perbanyaklah langkah menuju masjid-masjid dan setelah sholat tunggulah sholat berikutnya …”.(Hadits riwayat Muslim no 251)
5. Dengan wudlu seseorang bisa masuk surga dari pintu-pintu surga yang dia sukai, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ, إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أبْوأبُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
 "Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudlu lalu menyempurnakan wudlunya kemudian berkata : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ   kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja yang dia sukai". (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 96)
B. Hikmah Disyari’atkannya Wudlu
Inti dan ruh dari sholat adalah seorang hamba harus sadar bahwa dia sedang berada di hadapan Allah ta'ala. Agar pikiran bisa siap untuk itu dan bisa terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka diwajibkanlah wudlu sebelum sholat karena wudlu adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan pikiran dari kesibukan-kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan sholat.
Karena seseorang yang pikirannya sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan perdagangan, industri dan sebagainya, jika kita katakan padanya “sholatlah!” maka dia akan merasa sulit dan berat untuk melaksanakannya. Disinilah (nampak jelas) hikmah wudlu karena membantu seseorang meninggalkan pikirannya yang sibuk dengan urusan-urusan duniawi, serta wudlu memberikan waktu yang cukup untuk memulai pikiran pada konsentrasi yang lain (yaitu sholat). (Taudlihul ahkam 1/155)
C. Definisi Wudlu
Secara bahasa wudlu diambil dari kata الْوَضَائَةُ yang maknanya adalah النَّظَافَةُ (kebersihan) dan الْحُسْنُ (baik) (Syarhul Mumti' 1/148)
Sedangkan secara syar'i (terminologi) adalah "Menggunakan air yang thohur (suci dan mensucikan) pada anggota tubuh yang empat (yaitu wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki) dengan cara yang khusus menurut syari'at" (Al-fiqh al-Islami 1/208)

MAROJI’ :
  1. Nailul Author, Asy-Syaukani
  2. Roudlotun Nadliah, Syaikh Sidiq Hasan Khan
  3. Syarhus Sunnah, Imam Al-Bagowi
  4. Irwaul Golil, Syaikh Al-Albani
  5. Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani
  6. Sifat Wudlu Nabi , Fahd bin Abdirrohman Ad-Dausi
  7. Taudlihul Ahkam, Syaikh Ali Bassam
  8. Al-Fiqh al-Islami, DR. Wahb Az-Zuhaili
  9. Thuhurul Muslim, Syaikh Al-Qohtoni
  10. Syarhul Mumti,’ Syaikh Utsaimin
oleh:  Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com


Baca SelengkapnyaKeutamaan Wudlu

Perkara-perkara yang disunnahkan untuk berwudlu

sifat-wudhu-nabiTerkait dengan pelaksanaan ibadah, hal sangat mendasar yang paling utama harus diperhatikan dan patut diketahui dan dilaksanakan ialah kebersihan dan kesucian seseorang dalam melaksanakan ibadah, terutama dalam melaksanakan ibadah salat. Anjuran tentang pentingnya pemeliharaan kebersihan dan kesucian banyak terdapat dalam ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw. yang di arahkan bagi kebahagiaan hidup.
Disebutkan dalam hadits ke-25 Riyadhush Shalihin
    وعن أبي مالك الحارث بن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم “الطهورشطر الإيمان, والحمد لله تملأ الميزان, وسبحان الله والحمد لله تملأن أو تملأ ما بين السموات والأرض, والصلاة نور, والصدقة برهان, والصبرضياء, والقران حجة لك أو عليك. كل الناس يغدو فبائع نفسه, فمعتقها أوموبقها”   – رواه مسلم
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari (semoga Allah meridhainya) berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Kesucian adalah setengah daripada iman, dan (ucapan) ‘Alhamdulillah’ (Segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan, dan (ucapan) ‘Subhanallahu wa Alhamdulillah’ (Maha Suci Allah dan Segala Puji bagi Allah) memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi, dan Shalat adalah cahaya, dan Sedekah adalah bukti, dan Kesabaran adalah Pelita, dan Al Qur’an akan menjadi hujjah (argumen) yang membelamu atau yang menuntutmu. Setiap manusia keluar di pagi hari untuk menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya dan ada yang membinasakan dirinya” – Riwayat Muslim
Kesucian adalah sebagian dari Iman. Kata ‘Ath-Thuhur‘ berarti kesucian manusia, dan ‘Syathru al-iman‘ berarti setengah (sebagian) dari iman. Karena keimanan adalah membersihkan dan menghiasai, yaitu membersihkan dari kesyirikan. Hendaknya manusia bersuci secara jasmani, yaitu dari segala bentuk najis, dan secara ruhani, yaitu dari segala bentuk keburukan. Maka dari itu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjadikan kesucian setengah dari iman.
Redaksi ‘Kesucian adalah sebagian dari Iman’ adalah redaksi yang shahih dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan ungkapan ‘Kebersihan adalah bagian dari Iman’ bukanlah hadits yang sah
Thaharah merupakan ciri terpenting dalam Islam yang berarti bersih dan sucinya seseorang secara lahir dan bathin. Dalam kamus bahasa arab, thaharah berasal dari kata طهره , secara bahasa (etimologi) berarti membersikan dan mensucikan.[Kamus Bahasa Arab (Jakarta: PT. Muhammad Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 241.] Sedangkan menurut istilah (terminologi) bermakna menghilangkan hadas dan najis.Thaharah berarti bersih dan terbebas dari kotoran atau noda, baik yang bersifat hissi (terlihat), seperti najis (air seni atau lainnya), atau yang bersifat maknawi, seperti aib atau maksiat. Sedangkan secara istilah adalah menghilangkan hadats dan najis yang menghalangi pelaksanaan shalat dengan menggunakan air atau yang lainnya.
Dengan demikian, thaharah adalah bersih dan suci dari segala hadats dan najis, atau dengan kata lain membersihkan dan mensucikan diri dari segala hadats dan najis yang dapat menghalangi pelaksanakan ibadah seperti shalat atau ibadah lainnya.
4. Perkara-perkara yang disunnahkan untuk berwudlu (lihat Thuhurul Muslim hal 91-96)
a. Ketika berdzikir dan berdo’a kepada Allah ta’ala
Dalilnya : Hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khobarnya (pesannya) Abu Amir bahwasanya beliau (Abu Amir) berkata kepada dia (Abu Musa) :
أَقْرِئِ النَّبِيَّ مِنِّي السَّلاَمَ وَ قُلْ لَهُ اِسْتَغْفِرْ لِي
 Sampaikan pada Nabi salam dariku, dan katakanlah padanya “Mohon ampunlah (kepada Allah) untukku”.
 Ketika dia (Abu Musa) mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air kemudian berwudlu dengan air tersebut kemudian mengangkat kedua tangannya lalu berkata ; “Ya Allah berilah ampunan bagi hambamu Abu Amir…(Riwayat Bukhori, lihat al-fath 8/41 dan Muslim 4/1944)
b. Ketika akan tidur
Sesuai dengan hadits Baro’ bin Azib t, beliau berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ الأَيْمَنِ
Jika engkau mendatangi tempat berbaringmu maka berwudlulah seperti wudlumu ketika (akan) sholat kemudian berbaringlah di atas sisi (tubuh)mu yang kanan. (Riwayat Bukhori)
c. Setiap kali berhadats
Sesuai dengan hadits Buraidah t, beliau berkata :
أَصْبَح رَسُوْلُ اللهَِ يَوْمًا، فَدَعَا بِلاَلاً فَقَالَ :" يَا بِلاَلُ بِمَا سَبَقَتْنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ إِنَّنِي دَخَلْتُ الْجَنَّةَ الْبَارِحَةَ فَسَمِعْتُ خَشْخَشْتَكَ أَمَامِي؟" فَقَالَ بِلاَلٌ : "مَا أَذَّنْتُ قَطٌّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْغَتَيْنِ، وَلاَ أَصَابَنِي حَدَثٌ قَطٌّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati pagi pada suatu hari, maka Beliau memanggil Bilal dan berkata :”Wahai Bilal dengan apa engkau mendahului aku ke surga?, sesungguhnya aku memasuki surga tadi malam maka aku mendengar suara langkah engkau di depanku”, maka Bilal menjawab :”Tidaklah sama sekali aku beradzan kecuali aku sholat dua rakaat dan tidak pernah sama sekali aku berhadats kecuali aku berwudlu” (Riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohih at-Targib no 95)
d. Setiap akan sholat (walaupun belum batal wudlunya)
Sesuai dengan hadits Abu Huroiroh t, beliau berkata : Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ، وَمَعَ كُلِّ وُضُوءٍ بِسِوَاكٍ
Kalaulah tidak memberatkan umatku akan aku perintah mereka untuk berwudlu setiap sholat dan untuk bersiwak setiap berwudlu. (Riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohih at-Targib no 95)
e. Ketika mengangkat mayat
ٍSesuai dengan hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
مَنْ غَسَلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَ مَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan mayat maka mandilah dan barangsiapa yang mengangat mayat maka berwudlulah. (Riwayat Abu Dawud, dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwaul Golil no 144 sehingga ini merupakan pendapat syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah, namun hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Bin Baz sehingga beliau menganggap tidak disunnahkannya berwudlu karena mengangkat mayat, adapun berwudlu karena memandikan mayat adalah sunnah sesuai dengan hadits Aisyah dan Asma’, akan datang penjelasannya pada bab mandi insya Allah U)
f. Setelah muntah
Sesuai dengan hadits Ma’dan dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muntah lalu beliau berbuka kemudian berwudlu. (Riwayat Tirmidzi dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Irwaul Golil no 111)
g. Karena memakan makanan yang tersentuh api (dibakar)
Sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
 Berwudlulah karena memakan makanan yang tersentuh api. (Riwayat Muslim 1/272)
Kemudian telah tsabit dari hadits Ibnu Abbas dan Amr bin Umayyah dan Abu Rofi’ tbahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam makan daging yang tersentuh api kemudian beliau berdiri dan sholat dan tidak berwudlu. (Riwayat Bukhori no 5408 dan Muslim 1/273). Hal ini menunjukan bahwa disunnahkannya wudlu setelah memakan daging yang tersentuh api.
h. Orang yang junub ketika akan makan
Sesuai dengan hadits Aisyah, beliau berkata :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إذَا كَانَ جُنُبًا فَأََرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلضَّلاَةِ
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau junub kemudian ingin makan atau tidur maka beliau berwudlu sebagaimana wudlu (untuk) sholat. (Riwayat Muslim 1/248 no 305)
i. Karena ingin mengulangi jimak
Sesuai dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Jika salah seorang dari kalian mendatangi (menjimaki) istrinya, kemudian dia ingin mengulanginya maka hendaklah dia berwudlu. (Riwayat Muslim no 308. Berkata Syaikh Bin Baz dalam syarah bulugul maram :”Dzohirnya perintah untuk wajib”.)
Adapun mandi maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengelilingi istri-istrinya dengan sekali mandi. (Riwayat Muslim no 309)
j. Ketika orang yang junub ingin tidur namun tidak mandi junub
Sesuai dengan hadits Aisyah ketika beliau ditanya : “Apakah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur dan dia dalam keadaan junub?”, maka Aisyah menjawab : “Benar, dan dia berwudlu” (Riwayat Bukhori no 286 dan Muslim no 305)
Dab juga hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu meminta fatwa (bertanya) kepada Nabi r, maka dia (Umar t) berkata :”Apakah salah seorang dari kami tidur dan dia dalam keadaan junub?”, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
لِيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَنَمْ حَتَّى يَغْتَسِلَ إِذأ شَاءَ
 “Hendaknya dia berwudlu kemudian hendaklah dia tidur hinga dia mandi jika dia kehendaki” (Riwayat Bukhori no 287 dan Muslim no 306)
 Berkata Syaikh Bin Baz :”Dan telah datang (riwayat) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya terkadang beliau mandi sebelum beliau tidur. Maka keadaannya ada tiga :
  • Seseorang tidur tanpa wudlu dan tanpa mandi, maka ini makruh dan menyelisihi sunnah
  • Seseorang beristinja dan berwudlu sebagaimana wudlunya sholat (kemudian tidur), maka ini tidak mengapa
  • Seseorang berwudlu dan mandi (kemudian tidur) maka ini adalah yang sempurna.
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Baca SelengkapnyaPerkara-perkara yang disunnahkan untuk berwudlu

Wajibnya wudlu jika ingin menyentuh mushaf

sifat-wudhu-nabiTerkait dengan pelaksanaan ibadah, hal sangat mendasar yang paling utama harus diperhatikan dan patut diketahui dan dilaksanakan ialah kebersihan dan kesucian seseorang dalam melaksanakan ibadah, terutama dalam melaksanakan ibadah salat. Anjuran tentang pentingnya pemeliharaan kebersihan dan kesucian banyak terdapat dalam ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw. yang di arahkan bagi kebahagiaan hidup.
Disebutkan dalam hadits ke-25 Riyadhush Shalihin
    وعن أبي مالك الحارث بن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم “الطهورشطر الإيمان, والحمد لله تملأ الميزان, وسبحان الله والحمد لله تملأن أو تملأ ما بين السموات والأرض, والصلاة نور, والصدقة برهان, والصبرضياء, والقران حجة لك أو عليك. كل الناس يغدو فبائع نفسه, فمعتقها أوموبقها”   – رواه مسلم
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari (semoga Allah meridhainya) berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Kesucian adalah setengah daripada iman, dan (ucapan) ‘Alhamdulillah’ (Segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan, dan (ucapan) ‘Subhanallahu wa Alhamdulillah’ (Maha Suci Allah dan Segala Puji bagi Allah) memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi, dan Shalat adalah cahaya, dan Sedekah adalah bukti, dan Kesabaran adalah Pelita, dan Al Qur’an akan menjadi hujjah (argumen) yang membelamu atau yang menuntutmu. Setiap manusia keluar di pagi hari untuk menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya dan ada yang membinasakan dirinya” – Riwayat Muslim
Kesucian adalah sebagian dari Iman. Kata ‘Ath-Thuhur‘ berarti kesucian manusia, dan ‘Syathru al-iman‘ berarti setengah (sebagian) dari iman. Karena keimanan adalah membersihkan dan menghiasai, yaitu membersihkan dari kesyirikan. Hendaknya manusia bersuci secara jasmani, yaitu dari segala bentuk najis, dan secara ruhani, yaitu dari segala bentuk keburukan. Maka dari itu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjadikan kesucian setengah dari iman.
Redaksi ‘Kesucian adalah sebagian dari Iman’ adalah redaksi yang shahih dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan ungkapan ‘Kebersihan adalah bagian dari Iman’ bukanlah hadits yang sah
Thaharah merupakan ciri terpenting dalam Islam yang berarti bersih dan sucinya seseorang secara lahir dan bathin. Dalam kamus bahasa arab, thaharah berasal dari kata طهره , secara bahasa (etimologi) berarti membersikan dan mensucikan.[Kamus Bahasa Arab (Jakarta: PT. Muhammad Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 241.] Sedangkan menurut istilah (terminologi) bermakna menghilangkan hadas dan najis.Thaharah berarti bersih dan terbebas dari kotoran atau noda, baik yang bersifat hissi (terlihat), seperti najis (air seni atau lainnya), atau yang bersifat maknawi, seperti aib atau maksiat. Sedangkan secara istilah adalah menghilangkan hadats dan najis yang menghalangi pelaksanaan shalat dengan menggunakan air atau yang lainnya.
Dengan demikian, thaharah adalah bersih dan suci dari segala hadats dan najis, atau dengan kata lain membersihkan dan mensucikan diri dari segala hadats dan najis yang dapat menghalangi pelaksanakan ibadah seperti shalat atau ibadah lainnya.
Wajibnya wudlu jika ingin menyentuh mushaf
 Khilaf diantara para ulama,
 Pendapat pertama (ini merupakan pendapat jumhur): Wajib berwudlu jika menyentuh mushaf, dalilnya :
  • Sesuai firman Allah لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْنَ (Tidak menyentuhnya kecuali yang disucikan), karena dhomir (هُ) kembali kepada Al-Qur’an sesuai dengan awal ayat tersebut تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (Yang diturunkan dari Robbul alamin). Sedangkan yang dimaksud الْمُطَّهَّرُوْنَ adalah orang yang berwudlu dan mandi dari janabah sesuai dengan firman Allah وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ (melainkan untuk mensucikan kalian). Dan walaupun ayat ini adalah khobar bukan perintah (sebab kalau perintah dia mestinya majzum لاَ يَمَسَّهُ karena لاَ adalah nahiyah), namun dia adalah khobar yang bermakna perintah. Dan yang seperti ini lebih mengena dalam amr.
  • Sesuai dengan hadits :
أَبُو بَكْرٍ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنِ عَمْرٍو بْنِ حَزْم عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ ٍ أَنَّ النَّبِيَّ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا وَفِيْهِ "لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِر"ٌ
Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya :(Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuliskan kepada penduduk Yaman sebuah kitab yang padanya (ada tulisan) “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” (Hadits shohih, irwaul golil no 122)
Syaikh Utsaimin pada mulanya condong kependapat Daud Adz-Dzohiri (akan disampaikan setelah ini), namun setelah beliau memperhatikan hadits لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ maka beliau berpendapat dengan pendapat jumhur, karena bermakna suci dari hadats besar atau hadats kecil, sesuai dengan firman Allah وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ (melainkan untuk mensucikan kalian). Dan bukanlah termasuk kebiasaan Nabi mengungkapkan mukmin dengan tohir karena menggunakan mukmin lebih mengena daripada tohir. (Syarhul Mumti’ 1/265)
Dan ini adalah pendapat imam Ahmad, sebagaimana yang dikataka oleh Ishaq al-Mawarzi :
Aku bertanya (kepada Imam Ahmad) :”Apakah seorang laki-laki (boleh) membaca Al-Qur’an tanpa wudlu?”,beliau menjawab : “Ya, tetapi janganlah dia membaca dengan (menyentuh) mushaf selama dia belum berwudlu.”
Ishaq berkata :”(Hukumnya) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad karena telah shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”, dan demikianlah praktek para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabiin”.
Berkata Syaikh Al-Albani : “Dan yang shohih dari para sahabat yaitu yang diriwayatkan oleh Mus’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos bahwasanya dia berkata : “Aku memegang mushaf dihadapan Sa’ad bin Abi Waqos, lalu aku menggaruk, maka berkata Sa’ad :”Mungkin engkau menyentuh kemaluanmu?”, aku berkata :”Ya”, maka dia berkata :”Berdirilah dan berwudlulah”, maka akupun berdiri dan berwudlu kemudian aku kembali”. Diriwayatkan oleh Malik dan Baihaqi darinya dengan sanad yang shohih. (Irwaul golil 1/161)
Adapun kitab-kitab tafsir, maka boleh menyentuhnya tanpa wudlu sebab jumlah tafsirnya lebih banyak dibandingkan jumlah Al-Qur’annya. Dan demikan pula dengan kitab-kitab yang lain yang terdapat ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya namun jumlahnya sedikit. Dalilnya bahwasanya Nabi menulis kitab kepada orang-orang kafir dan dalam kitab tersebut ada ayat-ayat Al-Qur’an (Syarhul Mumti’ 1/267)
Pendapat kedua (ini adalah pendapat Dawud Adz-Dzohiri) : Tidak wajib berwudlu bila menyentuh mushaf, dalilnya :
  •  Al-Qur’an adalah dzikir, dan telah shohih dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir dalam seluruh keadaan (suci maupun tidak).
كَانَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
 Adalah Nabi berdzikir kepada Allah dalam seriap keadaan. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
  • Yang asal adalah seseorang tidak dikenai kewajiban, maka tidak boleh kita menyatakan seseorang berdosa tanpa bersandar kepada nash.
  • Adapun makna طَاهِرٌ yang ada dalam hadits (kalau haditsnya shohih) memiliki banyak kemungkinan, yaitu :
a. Bermakna orang mukmin, sebagaimana firman Allah ta’ala
إِنَّمَا الْمُشْرِكِيْنَ نَجْسٌ , dan hadits إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ jadi maksudnya suci secara maknawi (suci aqidah)
b. Bermakna suci dari najis haqiqi (‘aini/dzati) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kucing إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ
c. Bermakna suci dari janabah, sebagaimana firman Allah : إِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا
d. Bermakna suci dari hadats kecil, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: دَعْهُمَا فَإِنِّيْ أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ (Nailul Author 1/206, Taudlihul ahkam 1/248)
Dan jika terdapat dua kemungkinan makna pada suatu dalil maka tidak dapat dijadikan hujjah, bagaimana pula jika terdapat empat kemungkinan.
  • Adapun dhomir (هُ) yang terdapat ayat kembalinya pada فِي كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ yang kemungkinan maksudnya adalah lauhul mahfuz atau kitab yang berada di tangan para malaikat bukan Al-Qur’an, karena dhomir kembali kepada yang paling terdekat (sehingga tidak kembali ke تَنْزِيْلٌ نِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ yang lebih jauh). Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam ayat (عَبَسَ) ayat 11-16 yaitu فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ sama dengan فِي كِتَابٍ مَكْنُوْن dan بِأَيْدِي سَفَرَةٍ sama dengan لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَّهَّرُوْن , dan Al-Qur’an saling menafsirkan antara ayat yang satu dengan yang lainnya.
  • Dan dalam ayat الْمُطَّهَّرُوْنَ menggunakan wazan isim maf’ul bukan isim fa’il. Kalau maknanya orang yang bersuci mestinya menggunakan wazan isim fa’il. Sehingga maksudnya adalah para malaikat bukan manusia (Nailul Author 1/206)
  • Adapun anggapan bahwa ayat adalah khobar bermakna perintah, ini memang bisa demikian namun harus ada korinah yang menunjukan akan hal itu. Jika tidak terdapat korinah maka kita kembali pada asal yaitu khobar tetap bermakna khobar.
  • Adanya hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam نَهَى عَنِ السَّفَرِ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ (melarang bersafar dengan (membawa) Al-Qur’an ke negeri musuh, Muttafaqun alaih). Hal ini dikhawatirkan karena orang kafir yang najis hatinya akhirnya menyentuh Al-Qur’an tersebut. (Tamamul Minnah hal 107).
  • Adapun riwayat dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos, kalaupun seandainya shohih maka mungkin saja perintah Sa’ad bin Abi Waqos kepada Mush’ab hanyalah karena mustahab.
  • Asalnya adalah boleh bagi seseorang memegang mushaf untuk membaca Al-Qur’an. Dan tidak boleh bagi seorangpun mengharamkannya kecuali dengan hadits yang shohih dan shorih.
Baca SelengkapnyaWajibnya wudlu jika ingin menyentuh mushaf