Kamis, 30 Januari 2014

Sumber Pengambilan Ahli Bid’ah Dalam Berdalil

Setiap orang yang keluar dari Sunnah —dari orang-orang yang mengaku mengikutinya dan yang mengaku sebagai ahlinya— pasti berlebih-lebihan dalam mengemukakan dalil-dalil yang digunakan untuk mendasari perkara-perkara yang khusus bagi mereka. Jika tidak maka pasti terdapat kedustaan pada pengakuan yang mereka lontarkan. Bahkan semua pelaku bid’ah dari umat ini mengaku bahwa dirinya adalah pengikut Sunnah yang bukan termasuk orang yang menyelisihinya dari kelompok lain, sehingga tidak mungkin baginya untuk menarik ucapannya agar dapat berpegang teguh pada perkara yang mirip dengan Sunnah.
Jika ia berbalik kepadanya, maka wajib baginya untuk berdalil dengan sumber dalil orang yang berhak atasnya, yaitu orang-orang yang lebih mengetahui perkataan orang-orang Arab dan hukum-hukum syariat secara umum serta tujuan-tujuannya, seperti yang dijalankan oleh para ulama salaf terdahulu yang menjadikannya sebagai dalil. Akan tetapi, mereka —sebagaimana diketahui setelahnya— belum sampai pada derajat orang-orang yang pantas mengambil kesimpulan hukum secara mutlak dalam perkara tersebut. Mungkin karena mereka kurang dapat memahami percakapan orang Arab, atau mungkin kurang dapat memahami kaidah-kaidah ilmu ushul fikih yang dijadikan sebagai sumber pengambilan intisari hukum-hukum syariat, atau mungkin karena ketiadaan dua perkara tersebut secara bersamaan.
Jika hal ini telah diketahui dengan jelas, maka sudah selayaknya untuk memberikan peringatan atas pengambilan-pengambilan sumber dalil tersebut, agar dapat dihindari dan berhati-hati. Oleh karena itu, kami katakan:
Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari penakwilannya.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 7). Hal itu disebabkan ayat ini mencakup dua bagian yang keduanya menjadi sumber untuk berjalan di atas jalan yang benar atau berjalan di atas jalan yang salah.
Bagian Pertama: Orang-orang yang mendalam ilmunya. Yaitu orang-orang yang tegak pendiriannya dalam ilmu syariat. Ketika perkara tersebut hanya bisa dapatkan oleh orang yang telah mencapai dua perkara yang telah disebutkan tadi dan tidak mungkin mengetahui kedua perkara tersebut secara bersamaan sesuai dengan kekuatan yang diberikan pada kemampuan manusia secara umum, maka pada saat itu dinisbatkan kepadanya sebutan (orang-orang yang mendalam ilmunya). Kandungan ayat secara keseluruhan juga memenuhinya, maka ia memang orang yang berhak memberi petunjuk dan menentukan hukum.
Ketika dikhususkan bagi orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kecondongan terhadap kesesatan dengan mengikuti perkara yang mutasyabihat, maka pengkhususan tersebut menjadi dalil bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya tidak mengikutinya karena mereka hanya mengikuti ayat-ayat yang muhkam, yaitu ummul kitab dan kandungannya.
Jadi, setiap dalil khusus atau dalil umum yang telah dipersaksikan baginya oleh sebagian besar hukum syariat, pasti dalil yang benar, dan selain dalil itu adalah dalil yang salah. Sebab antara dalil yang benar dengan dalil yang salah tidak terdapat perantara dalil lain yang dapat dijadikan sandaran, karena jika disana terdapat dalil yang ketiga maka pasti akan dijelaskan dengan nash ayat Al Qur’an.
Tatkala orang-orang yang condong kepada kesesatan dikhususkan sebagai orang-orang yang selalu mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat, maka dapat diketahui bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya tidak mungkin mengikutinya. Jadi, semua penakwilan mereka dikembalikan kepada ayat-ayat yang muhkam (jika dapat dimasukkan ke dalam perkara yang muhkam), sesuai dengan aturan serta kaidahnya, dan ini dalam perkara mutasyabih idhafi (tambdhan) bukan hakiki (sesungguhnya). Di dalam ayat tersebut tidak terdapat nash (dalil) tentang ketentuan hukumnya menurut orang-orang yang mendalam ilmunya, maka menurut mereka selayaknya dikembalikan kepada ayat-ayat yang muhkam, yaitu pokok-pokok isi Al Qur’an. Sedangkan yang tidak ditakwilkan oleh mereka atas dasar bahwa ia adalah perkara yang mutasyabih hakiki, maka mereka menghadapinya dengan penyerahan diri dan dengan ucapan, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (Qs. Aali ‘Imraan (3): 7) Mereka itulah orang-orang yang berakal.
Telah disebutkan pula tentang orang-orang yang condong kepada kesesatan. Merekalah orang yang mengikuti mutasyabih guna mencari-cari hukum dengan nafsu mereka demi menimbulkan fitnah, sehingga mereka memandang hukum di bawah hawa nafsu, lalu mendatangkan dalil sebagai persaksian atas tindakannya. Hal itu berbeda sekali dengan orang yang mendalam ilmunya, karena mereka akan menundukkan hawa nafsunya di bawah ketentuan hukum. Mereka (yang mendalami ilmunya) adalah orang-orang yang berseberangan dengan mereka yang condong kepada kesesatan tatkala mereka menghadapi perkara yang mutasyabih, karena mereka tidak mencari-cari hukumnya dan tidak memakainya sebagai hukum kecuali dengan sikap pasrah. Pengertian ini hanya khusus bagi orang yang mencari kebenaran dari dalil-dalil, bukan untuk orang mencari dalam dalil terhadap apa yang disahkan oleh nafsunya.
Bagian Kedua: Orang-orang yang tidak mendalam ilmunya. Yaitu orang yang condong kepada kesesatan. Ada dua penyifatan untuk mereka dari ayat tersebut:
1. Penyifatan sesuai nash, yaitu condong pada kesesatan, dengan dalil dari firman Allah Ta’ala, “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kecondongan kepada kesesatan” Arti kata az-zaigh yaitu keluar dari jalan yang lurus. la berfungsi sebagai celaan bagi mereka.
2. Penyifatan sesuai pengertian yang diberikan oleh pembagian tersebut, yaitu tidak memiliki ilmu yang mendalam. Setiap orang yang tidak memiliki ilmu yang mendalam, maka kecenderungannya hanya pada kebodohan, yang dapat mengakibatkan kecondongan terhadap kesesatan (az-zaigh). Sebab, orang yang tidak boleh menyimpulkan hukum dan mengikuti dalil dari sebagian orang bodoh, pasti tidak dibolehkan untuk mencari-cari hukum yang muhkam dan yang mutasyabih. Jika mengharuskan dirinya mengikuti hukum yang muhkam, maka sikapnya itu akan tidak memberikan faidah pada hukum yang ia buat, karena secara nyata ia pasti mengikutinya dari segi yang batil atau mutasyabih. Bagaimana Pendapatmu menurut jika ia mengikuti hukum yang mutasyabih?
Sikap mengikuti hukum yang mutasyabih —meski dari segi mencari petunjuk dan bukan untuk membuat fitnah— bagaimana pun juga tidak mungkin akan mencapai tujuan. Bagaimana pendapatmu jika ia mengikutinya demi membuat fitnah? Begitu pula hukum yang muhkam, jika ia mengikutinya untuk membuat fitnah. Jadi, kamu akan selalu mendapatkan orang-orang bodoh berhujjah untuk dirinya sendiri dengan dalil-dalil yang rusak dan dalil-dalil yang benar, namun sebatas melihat dalil tertentu, serta tidak memperhatikan dalil-dalil lain (dari dalil-dalil ushul dan furu ‘ilmu fikih) yang bertentangan dengan pendapatnya atau yang berseberangan dengannya.
Orang-orang yang mengaku memiliki ilmu (padahal sebenamya bodoh) biasanya menjadikan jalan ini sebagai pijakannya dan mungkin juga ia telah berfatwa dengan kandungannya dan mengerjakan sesuai aturan-aturannya apabila ia memiliki tujuan tertentu, atau membuang tujuannya demi menyebarkan fitnah. Seperti dibolehkannya seorang imam untuk membagikan semua harta yang mereka dapatkan dari harta rampasan perang kepada seluruh pasukan perang, “Barangsiapa berkuasa dapat mengambil dengan paksa “bukan dengan cara yang telah ditentukan syariat, tetapi atas dasar periwayatan sebagian ulama, “Dibolehkan untuk mewakilkan (membagikan) pasukan kecil atas semua harta rampasan perangnya.” Kemudian pendapat itu dinisbatkan —ia adalah pengikut Imam Malik— kepada Malik, yang berkata dari perkataan yang telah diriwayatkan darinya: Harta rampasan perang yang dibagikan oleh seorang imam maka diperbolehkan.
Mereka (orang-orang yang condong kepada kesesatan) menjadikan perkataan ini sebagai dalil nash atas diperbolehkannya seorang imam untuk membagikan semua harta rampasan perang bagi pasukan, tanpa dipahami secara saksama, bahwa (dalam pembagian tersebut) maksudnya adalah pasukan kecil yang hanya bagian dari pasukan perang yang masuk ke daerah musuh untuk mengacaukan situasi musuh lalu kembali lagi ke dalam pasukan. Jadi, maksudnya pasukan kecil bukanlah pasukan perang yang sesungguhnya. Juga tidak melihat bahwa yang dibolehkan Malik dalam pembagian harta rampasan perang oleh imam adalah seperlimanya (tidak terdapat perselisihan dalam perkara tersebut dari orang-orang yang lebih mengetahui darinya serta dari para sahabatnya). Sesungguhnya harta yang telah dibagikan dari harta rampasan perang oleh imam dari seperlimanya itu diperbolehkan, karena hukum ini diambil dari hasil ijtihad.
Begitulah selamanya di dalam semua perkara dengan mendahului hawa nafsu, kemudian mencari jalan keluar dari perkataan para ulama atau dari dalil-dalil syariat serta perkataan orang Arab, karena keluasan dan kemungkinannya banyak. Akan tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya telah mengetahui tujuannya dari pertama sampai akhir, maka mereka membiarkannya atau menjelaskan kedudukannya atau mencarikan perbandingan hukum yang sepadan dengannya. Jadi, orang yang tidak mengakui kebenarannya dari awal sampai akhir dan hanya mengakui semua pendapat yang dibangunnya, pasti akan tergelincir di dalam pemahamannya sendiri. Kondisi ini adalah kondisi seseorang yang mengambil dalil-dalil dari sebagian ungkapan syariat dengan tidak melihat semua ungkapannya antara satu dengan yang lain, tergelincir. Kondisi seperti ini bukanlah kondisi orang-orang yang mendalam ilmunya, akan tetapi kondisi orang-orang yang terburu-buru mencari jalan keluar demi sebuah pengakuannya.
Telah dipahami dari ayat tersebut bahwa kecondongan terhadap kesesatan tidak berada di atas jalan orang yang mendalam ilmunya tanpa harus ada hukum kesepakatan, dan sesungguhnya orang yang mendalam ilmunya sama sekali tidak condong kepada kesesatan.
Sesungguhnya orang-orang yang mendalam ilmunya memiliki jalan yang dilaluinya dalam mengikuti kebenaran, dan orang-orang yang condong kepada kesesatan berada di jalan yang bukan jalan mereka. Oleh karena itu, kita membutuhkan penjelasan tentang jalan yang mereka tempuh agar kita dapat menjauhinya, sebagaimana kita akan menjelaskan jalan orang-orang yang mendalam ilmunya agar kita dapat mengikutinya.
Para pakar ilmu ushul fikih telah menjelaskan dan menerangkan secara panjang lebar tentang jalan orang-orang yang mendalam ilmunya, namun mereka tidak menerangkan tentang jalan orang-orang yang condong kepada kesesatan. Apakah memungkinkan untuk membatasi sumber pengambilan hukumnya terlebih dahulu? Sesungguhnya kami telah mendapatkannya di dalam ayat lain yang berkaitan dengan orang-orang yang condong kepada kesesatan dan orang-orang yang mendalam ilmunya, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Qs. Al An’aam [6]: 153). Ayat ini telah memberi penjelasan bahwa jalan kebenaran itu satu dan jalan kebatilan itu beraneka ragam, sementara ragamnya tidak ditentukan dengan hitungan khusus. Hadits yang telah menafsirkan ayat tersebut berasal dari periwayatan Ibnu Mas’ud RA, ia berkata: Rasulullah Shalallah ‘alahi wassalam membuat garis lurus untuk kami dan berkata,
“Ini adalah jalan Allah yang lurus.”
Beliau kemudian membuat garis-garis pada sisi kanan dan kiri garis tersebut, lalu berkata,
“Ini adalah jalan-jalan yang lain dan diatas setiap jalan tersebut terdapat syetan yang mengajak kepada jalannya.”
Beliau lalu membaca ayat tadi (Al An’aam ayat [53]).
Di dalam hadits dijelaskan bahwa jalan-jalan tersebut sangat banyak dan tidak dibatasi jumlahnya, maka kita tidak memiliki jalan untuk membatasi jumlahnya dari segi dalil naqli dan dalil aqli (akal) serta penelitian.
Adapun akal, sesungguhnya ia tidak memutuskan jumlah tertentu, karena perkara tersebut tidak dapat dikembalikan kepada perkara yang tertentu hitungannya; bukankah kamu tahu bahwa kecondongan terhadap kesesatan kembali pada perkara kebodohan, sedangkan segi-segi kebodohan tidak terbatas jumlahnya? Oleh karena itu, berusaha menetapkan jumlahnya adalah usaha keras yang sia-sia.
Adapun penelitian, tidak berarti di dalam pencarian tersebut, sebab tatkala kita memperhatikan jalan-jalan bid’ah mulai tumbuh, maka kita akan mendapatkannya semakin bertambah pada setiap pergantian hari, serta tidak ada satu masa melainkan kejanggalan dari kejanggalan-kejanggalan pengambilan hukum terjadi sampai zaman kita sekarang.
Apabila demikian kondisinya, maka setelah zaman kita ini akan terjadi penggunaan dalil-dalil lain yang tidak kita jumped keberadaannya sebelumnya, apalagi tatkala semakin banyaknya kebodohan dan sedikitnya ilmu serta jauhnya para peneliti dari derajat ijtihad, sehingga tidak mungkin menentukan jumlahnya dari segi penelitian ini dan tidak dapat dikatakan, “Sesungguhnya perkara tersebut kembali pada penyelisihan terhadap jalan kebenaran.” Segi-segi penentangan pun tidak dapat dibatasi.
Jadi, jelas bahwa terus-menerus menekuni segi pembatasan ini adalah beban yang memberatkan. Akan tetapi kami akan menyebutkan segi pembatasannya secara umum dari perkara-perkara tersebut, yang dapat diqiyaskan terhadap segi-segi lainnya pada poin-poin berikut ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar